Apa yang kita tahu tentang Knowledge Management ?

Binatang apa knowledge management itu? Satu hal yang pasti. KM menarik, menyenangkan, berbagi dan paling penting, memberikan nilai tambah.

Apa yang paling penting di organisasi?

Jika kita terlibat di organisasi, apa aset yang paling penting? Fasilitas, komputer, meja atau orang-orang yang berkompetensi di bidangnya? Temukan jawabannya disini

Apakah yang diatas selalu paling hebat?

Dalam organisasi formal yang terdapat atasan, rekan, dan bawahan, terkadang ada beberapa orang yang lebih banyak disukai dan dicari dibandingkan orang lain. Anehnya, orang itu tidak selalu atasan. Terkadang, dia hanya orang biasa. Network Analysis membantu kita mengidentifikasi mereka

Butuh referensi tentang Knowledge Management?

"Ilmu itu hanya milik Tuhan", kata seorang bijak. Jadi, kenapa harus menyimpannya untuk diri sendiri ? Lets share !

About Me

Ok, this section is not important. Tapi jika anda punya semangat dan ketertarikan yang besar dibidang KM, maka kita bisa lebih mengenal.

Wednesday, May 30, 2012

Social Networking in Plain English



Apa itu social networks ? Banyak definisi yang menjelaskan pertanyaan tersebut. Kali ini saya akan sedikit share tentang salah satu definisi dan penjelasan singkat tentang social networks analysis yang dibuat oleh commoncraft.com.

Secara singkat dijelaskan definisi networks (jaringan) yaitu tahapan bagaimana kita mencapai satu titik ke titik lainnya. Contoh yang digunakan dalam video ini ialah ketika kita akan menuju kota Santa Fe dari kota Chicago maka yang kita harus melalui kota St. Louis dan Dallas. Hal yang sama terjadi ketika kita berkenalan dengan seseorang dimana seringkali kita menggunakan orang lain untuk mencapai orang yang kita tuju. Tahapan antara kita dengan orang yang ingin kita tuju itulah yang disebut social networks.

Permasalahannya ialah social networks dalam kenyataannya seringkali tidak terlihat. Kita hanya melihat seseorang yang kita kenal dan tidak bisa memanfaatkan jaringan dari kenalan kita. Kita seringkali tidak bisa memanfaaatkan social networks. Padahal ada kemungkinan dengan memaksimalkan social networks, kita bisa mendapatkan pekerjaan, kesempatan, bahkan pasangan :).

Yang menarik ialah bahwa orang yang kita kenal sama pentingnya dengan kemampuan kita melihat jaringan dari orang yang kita kenal tersebut. Bagaimana aplikasinya dalam dunia maya ? Video ini menjelaskan bagaimana social network cites membantu kita mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang jaringan kita dan jaringan orang yang kita kenal.    


Tuesday, May 29, 2012

Structural Network vs Social Network

Menurut Anda, Apa yang pasti ada di semua organisasi formal maupun informal di seluruh dunia ?

Jawabannya adalah struktur organisasi. Minimal setiap organisasi pasti memiliki peran-peran yang berkaitan dengan tanggung jawab. Entah itu ketua, sekretaris, atau bahkan anggota. Mudahnya ialah kita lihat Negara. Ada presiden, wakil presiden, menteri, dan pejabat-pejabat lainnya. Bahkan di bentuk paling sederhana, keluarga misalnya. Ada ayah, ibu, anak. Semua peran tersebut memiliki tanggung jawabnya masing-masing dan pastinya setiap tanggung jawab memiliki kekuasaan dan kekuatan.

Ketika kita berbicara tentang kekuasaan di organisasi, biasanya orang yang memiliki tanggung jawab dan kekuasaan paling besar ialah orang yang paling kompeten dan mampu di organisasi tersebut. Sebagai orang paling kompeten, maka seharusnya orang tersebut yang paling banyak dicari dan dibutuhkan oleh anggota organisasi lainnya. Contohnya di tempat kerja. Ketika mengerjakan tugas, orang yang paling kita harapkan ada untuk membantu pekerjaan ialah atasan kita karena dengan adanya atasan pekerjaan akan cepat selesai. Biasanya karena keputusan harus ada di tangan atasan atau memang atasan tersebut yang memiliki kompetensi paling baik. Sekali lagi, itulah yang seharusnya terjadi. Ada tingkatan-tingkatan yang secara normal harus kita lalui ketika menyelesaikan pekerjaan atau tugas. Struktur dan tingkatan tersebut yang kita kenal sebagai structural network atau organization structure

Disini mulai menjadi menarik. Structural network seringkali tidak terjadi di organisasi. Terkadang ketika menyelesaikan pekerjaan atau melakukan sesuatu di organisasi, kita tidak berkomunikasi dengan atasan tersebut. Kita cenderung mencari orang lain yang menurut kita lebih nyaman dalam bekerjasama, berdiskusi, atau sekedar suka membantu. Mengapa ini bisa terjadi ? Jawabannya mudah, karena bukan seperti itulah cara kita berinteraksi dengan orang lain. Untuk hal tertentu memang kita membutuhkan atasan yang memiliki kekuasaan lebih besar, tetapi kita juga kadang memilih untuk diskusi dengan orang lain karena kita nyaman. Bisa saja karena atasan sibuk, bahasanya terlalu sulit dimengerti, atau bahkan hingga hal sepele seperti, atasan galak :). Inilah yang kerapkali terjadi di organisasi, khususnya di kantor. Ada beberapa orang yang sebenarnya sangat pintar tetapi karena menurut kita dia bukan orang yang enak diajak diskusi atau telalu sulit bahasanya sehingga kita lebih suka diskusi dengan orang lain yang kemampuannya biasa-biasa saja tapi bisa menjelaskan dengan lebih mudah. Kasus lainnya ialah ketika ada seorang yang entah karena alasan apa (biasanya karena terlalu sibuk atau kita sungkan karena perbedaan jenjang jabatan yang terlalu tinggi) kita ragu untuk bekerja dengannya. Padahal kita butuh bantuan orang tersebut dan pekerjaan tidak bisa selesai tanpa dia. Bagaimana penyelesaiannya ? Akhirnya kita mencari orang yang kira-kira bisa membantu kita untuk bertemu atau bekerja dengan orang penting itu.

Dua contoh kasus diatas memberikan gambaran lebih jelas bahwa ternyata dalam pelaksanaanya, struktur organisasi yang bertingkat berdasarkan peran itu tidak begitu saja menggambarkan bagaimana interaksi terjadi di organisasi. Ada banyak orang yang mungkin saja tidak memiliki jabatan tetapi sangat penting karena dia memiliki akses ke orang lain. Pada akhirnya penjelasan diatas memberikan kita definisi tentang apa yang kita kenal dengan social network.

Secara singkat, penjelasan tadi digambarkan sebagai berikut :

Dari gambar diatas kita bisa melihat bahwa organisasi yang awalnya sangat terstruktur, kaku, ada garis perintah dan koordinasi ternyata jika disajikan dalam bentuk social network akan terlihat seperti sebuah jaring acak yang menghubungkan satu sama lain. Jika sedikit lebih jeli, kita juga akan melihat bahwa ada beberapa orang yang diakses lebih banyak dari orang lain. Yang menarik pula ialah bahwa orang paling banyak diakses bukan hanya Senior Executive yang menempati tingkat paling tinggi, tetapi Sekretaris yang biasanya tidak terlalu dipandang perannya.

Dalam hal ini yang menjadi penting dalam organisasi, terlepas dari informal atau formal, bukan lagi kekuasaan, jabatan, atau kepintaran seseorang tetapi kemampuan melakukan akses dan diakses oleh orang lain. Its not “what you can control” but “what you can acces”. Social Network memfokuskan pembahasannya pada interaksi sosial antara anggota organisasi dan bagaimana proses interaksi terjadi. Itulah mengapa social network kerapkali disebut sebagai “organizational x-ray”. Pada aplikasinya, social networks digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti :
  • siapa pemimpin yang sebenarnya dalam organisasi ?
  • siapa yang memilliki akses ke orang-orang penting?
  • dimana terjadi penyempitan informasi ?
  • bagaimana jika orang penting tidak ada ?
  • bagaimana memaksimalkan pemimpin dalam social networks ?
  • bagaimana agar orang penting bisa lebih banyak diakses ?
  • bagaimana menghilangkan penyempitan informasi ?
  • bagaimana menghilangkan grup yang terisolasi ? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Social Network bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut salah satunya dengan memberikan gambaran visual social network yang terjadi dan serangkaian teknik analisis lainnya. Bidang yang membahas social network dan aplikasinya dalam organisasi kerap disebut Organizational Network Analysis (ONA). Kita akan membahas banyak contoh kasus dan aplikasi ONA di pembahasan selanjutnya.



Saturday, May 26, 2012

KM Online Library


"Ilmu itu hanya milik Tuhan". Kalimat itulah yang mendasari saya untuk berbagi beberapa referensi tentang Knowledge Management. Online library ini dibangun menggunakan Calibre Ebook Management untuk ebook management, Calibre OPDS untuk online catalogue dan Dropbox untuk cloud storage. Seluruh program dan cloud storage yang digunakan FREE alias GRATIS (yes,, i see your grinn there :) ). Tertarik membangun online library milik anda sendiri? Berikut Guidenya.    

Jika anda memiliki koleksi ebook tentang Knowledge Management yang ingin di share, silahkan menghubungi saya via email.

Harap dicatat bahwa referensi yang saya cantumkan di sini sebagian memiliki Hak Cipta yang berarti termasuk dalam kategori illegal jika digunakan untuk kepentingan komersil. Untuk itu saya harap anda dapat menggunakannya hanya untuk kebutuhan pribadi dan tidak menyebarluaskannya secara masif. 

Klik di sini untuk menuju ke KM Online Library



Pengetahuan, Informasi dan Data


Apa yang kita tahu tentang pengetahuan? Terkadang banyak dari kita salah mempersepsikan pengetahuan sebagai sebuah informasi atau malah data. Banyak yang menganggap bahwa ketika kita sudah banyak membaca atau lulus dari pasca sarjana maka kita sudah memilki pengetahuan. Sesungguhnya anggapan itu tidak sebenarnya salah dan tidak sepenuhnya benar. Membaca buku, mengikuti perkuliahan, dan tahapan pendidikan lainnya adalah sebuah pembelajaran, sebuah proses untuk mendapatkan informasi. Tetapi apakah informasi tersebut dapat diubah menjadi pengetahuan adalah hal yang berbeda.

Proses pengubahan informasi menjadi pengetahuan itulah yang sesungguhnya disebut dengan belajar. Yang kita lakukan tanpa disadari seringkali ialah hanya mengetahui informasi. Membaca buku, menghapalkan teori, mengerjakan soal ujian atau proses di dunia pendidikan lainnya banyak yang difokuskan untuk menumpuk informasi setinggi tingginya. Yang terjadi ialah kita kelebihan informasi dan tidak tahu mana prioritas informasi yang penting bagi diri sendiri. Pada akhirnya kita tenggelam dalam lautan informasi (information over flow)

Kenapa proses pendidikan yang selama ini kita lalui hanyalah menumpuk informasi? Kenapa kita bisa kelebihan informasi? Untuk menjawab itu, ada baiknya kita melihat definisi dari data, informasi dan pengetahuan. Menurut APQC, penjelasan data, informasi dan pengetahuan ialah data adalah gambaran apa yang terjadi bisa berupa deretan angka, gambar, grafik, atau foto. Informasi adalah data yang memiliki makna dan arti. Sedangkan pengetahuan ialah informasi yang dilakukan dan dipraktekkan sehingga memberikan nilai tambah pada pelakunya. Definisi menarik lainnya dikemukakan oleh Einstein. Knowledge is action, other than that is just information. As simple as it is.

Kata kunci yang membedakan antara informasi dan pengetahuan adalah action (tindakan). Analogi mudah untuk menggambarkan hal tersebut ialah memasak pasta. Sebagai seorang mahasiswa sekolah masak, kita dibekali dengan buku pintar memasak pasta setebal 5000 halaman. Bayangkan dengan buku setebal itu, kita akan mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan untuk memasak pasta. Empat tahun kita habiskan membaca buku tersebut. Hingga tiap bagian dihapal dan buku pintar itu hampir rusak karena seringnya kita bolak balik. Pada saat kelulusan dan bekerja di restoran Italia, sous chef (asisten chef kepala) menugaskan kita membuat pasta untuk pertama kalinya. Dilain pihak, seorang tukang cuci di restoran yang sama, dengan pendidikan seadanya juga diperintahkan membuat pasta. Tukang cuci itu hanya punya satu buku masak kecil dari perpustakaan daerah tetapi dengan bantuan chef lainnya, dia belajar membuat pasta ketika dapur restoran sudah kosong. Manakah pasta yang paling enak ? Mahasiswa dengan pengalaman 4 tahun membaca buku pintar 5000 halaman tentang pasta atau tukang cuci dengan background seadanya yang membaca buku resep sederhana dan mencobanya setiap malam ?

Banyak dari kita yang akan dengan cepat berkata bahwa tukang cuci yang mempraktekkan resep pasta sederhana yang akan membuat masakan lebih enak. Itulah esensi utama dari pengetahuan. Intinya adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan informasi dan data yang tersedia menjadi suatu nilai tambah dengan menerapkannya dalam bentuk tindakan (action). Bukan menumpuk atau menghapalkan informasi. Kalau begitu buat apa kita sekolah dan membaca buku? Pertanyaan klasik yang sering muncul ketika kita bertemu kasus seperti ini.

Jawabannya ada pada definsi informasi dan pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan adalah informasi yang dipraktekkan dan dilakukan sehingga memiliki nilai tambah. Apakah kita bisa menambah pengetahuan jika kita tidak memiliki informasi ? Tentu saja tidak bisa karena informasi adalah syarat dasar mendapatkan pengetahuan. Bahkan tukang cuci yang pandai masak itupun butuh buku resep untuk memulai memasak pasta. Jadi, proses kuliah dan membaca yang kita lakukan bukan lah sia-sia. Kesalahan sebenarnya bukan pada informasi yang menumpuk di otak tetapi pada kelalaian mengubahnya menjadi pengetahuan dengan mempraktekkan dan mengembangkannya menjadi nilai tambah. Melakukan tindakan ialah kata kunci utama dari mendapatkan pengetahuan. Tanpa tindakan untuk mendalami informasi dari buku, sekolah, kuliah dan tahapan pendidikan lainnya, kita hanya akan bergerak di lautan informasi tanpa bisa mendapatkan apa-apa kecuali mengetahui dan bukan memahami pengetahuan.

Bukan informasi yang membuat perbedaan antara Negara maju dan Negara berkembang atau Negara miskin. Penguasaan dan proses transformasi informasi menjadi pengetahuan lah yang membuat nilai tambah. Informasi bisa didapatkan oleh semua orang, tetapi mengolah dan mensintesisnya menjadi suatu pengetahuan adalah asset sesungguhnya dari sebuah organisasi dan pribadi. Jadi, apa yang kita inginkan, data, informasi atau pengetahuan? Jika ingin data dan informasi silahkan menginap di perpustakan terbaik dunia atau ikut dalam kelas kuliah membahas teori di universitas terkemuka. Tetapi  jika menginginkan pengetahuan maka mulailah melakukan dan menerapkan informasi yang kita miliki. Karena sesungguhnya, pengetahuan adalah tindakan, dan itulah satu-satunya yang membedakan antara informasi dan pengetahuan.
  

Knowledge Management dan Intangible Asset

Pertama kali saya bersinggungan dengan Knowledge Management (KM) ialah ketika bekerja di salah satu BUMN yang bergerak di bidang survey dan verifikasi. Ketika itu, saya dipanggil oleh bagian Risk Management untuk sharing tentang salah satu project yang sedang dikerjakan. Tim yang terdiri dari 4 orang senior, meminta saya untuk menerangkan garis besar project dalam suasana diskusi yang santai dan terbuka. Tidak mirip sama sekali dengan proses assessment risk management yang biasanya kaku dan tegang. Itulah Community of Practice (CoP) pertama saya. Dari sanalah saya mengenal istilah Knowledge Management. Tapi saat itu tujuan utama Knowledge Management belum banyak saya ketahui. Lewat bangku kuliah magister, saya baru mengerti tujuan utama Knowledge Management yaitu untuk peningkatan bisnis melalui pengelolaan pengetahuan yang sebagian besar ada di kepala pegawai menjadi pengetahuan milik perusahaan. Salah satunya melalui penyajian dalam bentuk dokumen (tacit to explicit) dan sharing antar Subject Matter Expert (tacit to tacit).

Jujur saja, ketika itu skeptisme langsung menyebar di kepala. Budaya perusahaan di Indonesia yang masih ortodoks, senioritas, serta menganggap pengetahuan sebagai power adalah salah satunya. Itupun yang terjadi ketika beberapa rekan kerja di kantor menolak memberikan detail project karena alasan takut ilmunya diambil dan akhirnya kehilangan posisi atau jabatan. Perasaan itulah yang terjadi di sebagian besar organisasi saat ini. Pengetahuan masih dianggap benda keramat yang harus dijaga sebaik mungkin. Budaya yang salah itu pun terbentuk akibat kondisi yang juga mendukung. Perusahaan sebagai wadah pegawai bersikap tidak bersahabat terhadap pengelolaan pengetahuan. Intangible asset masih belum dianggap hal yang penting untuk dipelihara. Keahlian pegawai belum dianggap sebagai nilai tambah yang perlu dilindungi dan dikembangkan. Kebanyakan organisasi lebih mementingkan nilai buku dan  tangible asset sebagai pertimbangan.

Pemikiran itu sebenarnya tidaklah salah. Bagaimanapun juga, bisnis bukan lembaga amal dimana uang adalah hal yang dapat dihamburkan begitu saja. Saya setuju dengan pendapat bahwa setiap uang yang dikeluarkan oleh perusahaan harus memberikan timbal balik dan diukur nilai kontribusinya. “There’s no such things called free lunch”.

Knowledge Management dengan pengelolaan intangible asset sayangnya kerap menjadi tersangka utama dalam proses menghamburkan uang tersebut. Alasannya simple, yaitu intangible asset sebagai objek utama Knowledge Management tidak bisa dihitung sebagai layaknya bangunan, laba rugi ataupun nilai buku lainnya (walaupun, sebenarnya ada metode pengukuran Return of Investment (ROI) dari Knowledge Management, tapi kita tidak akan membahas itu ditulisan ini. Anda bisa membaca tentang ROI Knowledge Management di sini).

Pertanyaannya apakah memang intangible asset tidak dibutuhkan untuk perusahaan ? Toh pada akhirnya tidak bisa dihitung dan dipertanggung jawabkan? Pendapat ini pun tidak bisa dibenarkan. Jika melihat lebih dalam, perusahaan sebagai unit bisnis bukan dihitung berapa besar bangunannya, berapa banyak mobil yang terparkir di garasinya atau seberapa luas pabriknya. Perusahaan akan dihitung besar jika neraca keuangannya positif. Pertanyaannya apakah neraca keuangan positif dihasilkan oleh gedung atau pabrik yang besar? Tentu saja bukan, karena gedung dan fasilitas merupakan komponen negatif di neraca. Perusahaan dianggap besar karena ada kontribusi positif dari sumberdaya yang ada di perusahaan tersebut. Perusahaan akan besar jika ada image yang baik akibat usaha yang secara terus menerus oleh karyawannya. Juga karena penjualan yang terus meningkat akibat dari inovasi yang sekali lagi dihasilkan oleh karyawan di perusahaan tersebut.

Contoh mudahnya ialah sebuah ruko berlantai 3. Jika ruko tersebut dijadikan toko kelontong, beberapa orang mungkin akan sekedar lewat karena tidak tertarik. Besaran uang yang berputar pun akan berkisar maksimal 300-500 juta perbulan. Tetapi jika ruko tiga lantai tersebut digunakan sebagai kantor sebuah bank terbesar di Indonesia lengkap dengan karyawannya yang memiliki kompetensi tinggi maka tiba-tiba saja ruko tersebut menjadi sorotan publik. Uang yang beredar di sana pun akan jauh melebihi angka ratusan juta. Miliar bahkan Triliun adalah jumlah yang sangat mungkin.

Inilah sisi lain intangible asset yang kerap terlupakan oleh perusahaan. Ruko tersebut menjadi berharga karena ada image dan karyawan berkompetensi yang selalu menjaga reputasi bank dengan sepenuh hati. Tanpa hal tersebut, maka ruko itu hanyalah bangunan kosong yang paling tinggi berharga ratusan juta rupiah. Sangat mudah melihat kontribusi intangible asset dalam perhitungan sederhana, khususnya bagi perusahaan yang sudah go public. Cukup kurangkan nilai buku perusahaan (fasilitas, asset nyata dan lainnya) dengan nilai saham di pasar. Berikut beberapa perusahaan yang saya sampaikan sebagai bahan pertimbangan :



Dari data tersebut, kontribusi intangible asset yang dimiliki oleh perusahaan bernilai hingga 5 kali nilai tangible asset nya. Beberapa perusahaan bahkan punya nilai intangible asset mencapai 10 kali lipat. Contoh yang paling menarik lainnya ialah penjualan Facebook baru-baru ini. Menurut data terakhir, nilai Facebook setara US$104 milyar. Jika diasumsikan dengan US$1 sebesar 10 ribu rupiah, maka Facebook akan seharga kira-kira Rp. 10.400 triliyun ! Jumlah yang sangat signifikan untuk sebuah perusahaan yang baru berdiri kurang dari 10 tahun. Jika melihat ke dalam negeri, fenomena tingginya intangible asset juga terjadi pada pembelian sebagian saham Kaskus, situs komunitas terbesar di Indonesia oleh anak perusahaan grup Djarum sebesar Rp. 1 triliun. Apakah yang dibeli oleh Djarum ialah kantor Kaskus yang hanya kontrakan atau servernya yang menampung data perbincangan penggunanya atau asset kaskus lainnya?? Bukan, yang dibeli oleh Djarum ialah sistem pengelolaan, penggunanya yang fanatik, reputasinya yang dikenal di seluruh Indonesia serta karyawannya yang bekerja dengan sepenuh hati untuk menjadikan Kaskus sebagai komunitas online paling besar di Indonesia.

Pada akhirnya, entah apapun posisi kita dan dimana pun kita berada, sudah seharusnya menaruh perhatian yang lebih besar pada intangible asset. Jika dikelola dengan baik maka intangible asset adalah titik kunci yang akan mengantarkan organisasi menjadi unggul di bidangnya. Pertanyaannya kini berubah menjadi bagaimana cara menggunakan intangible asset menjadi daya saing bagi perusahaan. Walaupun topic yang saya tulis ini tidak lagi baru bagi sebagian orang, tetapi sebagian besar organisasi yang berusaha mengelola intangible asset menjadi nilai tambah ternyata mengalami kegagalan. Disinilah, Knowledge Management mengambil peranan. Kesalahan sebenarnya bukan pada Knowledge Management atau intangible asset,  tetapi pada cara pandang dan aplikasinya. Knowledge Management dan bisnis seringkali dipandang sebagai dua mahluk yang berbeda, padahal Knowledge Management ada karena kebutuhan bisnis dan begitupun sebaliknya.

Kita akan banyak berdiskusi tentang ini ditulisan selanjutnya.

Tuesday, May 15, 2012

Knowledge Management : Sebuah sharing


Binatang apa Knowledge Management itu ? Hal tersebut yang mungkin anda pikirkan ketika mendengar tentang Knowledge Management (KM). Well, you are not the one who mistaken with that. KM memang belum banyak dikenal di Indonesia. Walau di dunia internasional, pendekatan KM sudah banyak digunakan dan lebih penting lagi, dibuktikan kemampuannya. KM lebih banyak digunakan oleh perusahaan untuk mengelola pengetahuan yang ada di organisasinya. Walau pendekatan KM juga banyak digunakan pada Universitas sebagai media pembelajaran yang efektif. Pengelolaan pengetahuan menjadi penting karena perusahaan sebagai sebuah organisasi sudah banyak menginvestasikan uang bagi karyawan, baik itu training, perjalanan dinas, bahkan berupa pengalaman kerja. Tentu saja, sebagai organisasi yang menekankan pada laba, mereka tidak mau investasi itu hilang begitu saja ketika karyawan tersebut tidak bisa menjalankan tugasnya. Bisa jadi karena dipindahkan ke biro lain, sedang sakit, naik jabatan atau yang paling sering terjadi ialah keluar dari perusahaan.

Tak kenal maka tak sayang. Maka sebagai awalan, mari kita bahas sedikit binatang yang bernama Knowledge Management ini :). Sebagai tambahan, Anda juga bisa mendapatkan pemahaman tentang sejarah singkat KM di sini


Let's begin. 

Banyak orang mensalah artikan KM sebagai sebuah ilmu yang kaku dan terstruktur, lengkap dengan hipotesis, metode, tools dan inisiatif yang sudah baku. Mereka terpaku pada kenyataan bahwa KM ialah pengelolaan pengetahuan dan mengelola pengetahuan berarti mengelola dokumen, melakukan analisis kebutuhan training, membuat sistem informasi kompleks untuk menyimpan pengetahuan, hingga membuat serangkaian prosedur dan form penyimpanan pengetahuan. Dan itu tidak salah, karena itulah KM 1.0.

Di awal 80, ketika KM pertama kali mulai diaplikasikan oleh perusahaan, mereka memfokuskan pada penyimpanan dokumen, yang sekali lagi diasosiasikan dengan pengetahuan. Maka perusahaan IT adalah pihak yang menuai keuntungan paling besar. Bermacam-macam sistem informasi dibuat dan dipatenkan serta diaplikasikan di perusahaan-perusahaan dunia.  Saya punya cerita menarik tentang KM 1.0 ini.

Salah seorang principal consultant di perusahaan tempat saya bekerja, pernah bekerja di Oracle sebagai IT help desk. Suatu ketika, beliau mendapat complain oleh kliennya yang marah-marah karena program IT yang dibeli dari perusahaan tidak bisa berjalan dengan baik. Pagi itu, 3 jam sebelum meeting dengan klien, beliau masuk ke ruang server dan memeriksa log program, kabel-kabel, server, bahkan suhu ruangan untuk mengetahui kesalahan apa yang mungkin terjadi. Beliau tidak menemukan apapun. Ketika meeting, permasalahannya baru diketahui. Menurut klien, IT system yang dibeli dengan harga mahal itu tidak berfungsi karena tidak ada isinya dan tidak ada karyawan yang mau menggunakannya.

Itulah yang terjadi ketika anda memperlakukan pengetahuan sama seperti anda memperlakukan dokumen, notulen, data perusahaan, risalah rapat, atau prosedur kerja. Pengetahuan bukan benda yang bisa kita sentuh dan lihat. Pengetahuan bukan sesuatu yang bisa anda paksa dan buat. Knowledge is action. Itu kata Einstein. Dokumen, notulen bahkan buku sekalipun, bukan pengetahuan dalam arti yang sebenarnya. Ketika kita berbicara tentang pengetahuan di perusahaan, maka yang menjadi titik sentralnya bukan apa yang ada di dokumen, tetapi apa yang ada di kepala masing-masing karyawan. Dalam bahasa ilmiah, mereka menyebutnya sebagai tacit knowledge. Dokumen, buku dan notulen ialah explicit knowledge. Secara mudah, explicit knowledge adalah tacit knowledge yang sudah dibuat dalam bentuk tertulis atau bisa digunakan siapa saja. Tapi yang menarik ialah bahwa sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa explicit knowledge maksimal hanya bisa merangkum 30 % dari tacit knowledge. Lalu sisanya? Its reside in peoples head as experience, wisdom, best practice, lesson learnt and so on.

Itulah mengapa KM 1.0 gagal dan menjadi tidak menarik lagi. Mereka memfokuskan pada explicit knowledge, sesuatu yang hanya men-capture 30 % dari kemampuan seseorang. Dan apa yang bisa anda lakukan dengan 30 %?? Dengan hitungan kasar, perusahaan hanya mendapatkan 30% dari apa yang sudah dinvestasikan pada karyawan. Itupun dengan asumsi, 100% pelatihan, masa kerja, pengalaman dan lainnya yang sudah perusahaan invenstasikan bisa diserap. Bagaimana kalau hanya bisa diserap 50% nya saja? Well, we all could count how much wasted it is.

Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana mengambil pengetahuan yang ada di kepala karyawan tersebut? Membedah otaknya? Mengambil memorinya? (Ok that’s joke. No one ever do that to your workers !). Jawabannya ialah KM 2.0. Ketika para ahli IT menyadari bahwa program dan rangkaian kode kebanggaan mereka tidak berhasil maka mereka mulai mencari pendekatan lainnya. Itulah ketika beberapa orang pioneer KM 1.0 menyampaikan ide tentang knowledge sharing yang kemudian menjadi dasar dari KM 2.0.

KM 2.0 merubah secara drastis ide tentang KM 1.0. Mereka tidak lagi menganggap pengetahuan sebagai benda mati yang hanya mengisi database perusahaan. KM 2.0 melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang terikat dengan pemiliknya, yaitu manusia. Maka pendekatannya bukan lagi mengatur dan menyimpan data tetapi mengajak manusia, sebagai pemilik pengetahuan untuk mengalirkan pengetahuan tersebut. Ya, mengalirkan. Kata yang paling tepat rasanya untuk KM. Pengetahuan, sama seperti air, dia akan mengikuti bentuk dan tempat yang disediakan. Jika kita membentuk tempat berupa dokumen dan tulisan maka pengetahuan akan menyesuaikan dengan bentuk tersebut, tetapi jika pengetahuan dialirkan dalam bentuk sharing, maka pengetahuan akan berjalan dan bertambah seiring dengan menyatunya pengetahuan lainnya. Jika kita membatasi pada database, tulisan, file, prosedur atau form maka hanya sebesar itulah pengetahuan tersebut akan tersimpan. Tetapi jika pengetahuan tersebut mengalir, maka akan ada pengetahuan-pengetahuan lain yang menyatu dan mencari tempat yang jauh lebih besar. Tempatnya bisa berupa budaya perusahaan, peningkatan kemampuan karyawan, penurunan kebutuhan traning hingga tujuan utama dari KM sejak awal, yaitu peningkatan bisnis.

Inisiatif sharing atau berbagi ini yang pada akhirnya membuat saya jatuh cinta dengan KM. Manusia adalah makhluk social yang membutuhkan interaksi. Hal yang menarik ialah kita punya gen berbagi di dalam diri kita. Lihat saja sekeliling, pasti anda akan melihat satu kegiatan yang paling popular di negeri, bahkan dunia ini, yaitu mengobrol. Ya, dengan mengobrol kita sebenarnya telah berbagi pengetahuan dengan orang lain. Walau pada perspektif KM, sharing pengetahuan juga perlu diarahkan karena jika sekali lagi kita analogikan pengetahuan ialah air, maka air akan mengalir dan mengalirnya bisa mencapai laut atau saluran pembuangan air. Jika tidak diarahkan, pengetahuan sebagus apapun bisa menjadi tidak berguna malah bisa berakibat buruk bagi orang lain dan perusahaan. Itulah fungsi KM sesungguhnya, yaitu mengalirkan pengetahuan menuju muara yang berguna bagi pribadi dan organisasinya .  

Sharing ialah alasan utama saya mencintai KM. Alasannya simple karena dengan sharing kita bisa mendapatkan pengetahuan baru sekaligus meningkatkan pemahaman atas pengetahuan yang sudah dimiliki. Walt Disney yang terkenal dengan Storyboard dan metode berceritanya telah memanfaatkan sharing sebagai tools utama. Dengan metode bercerita, Disney mengembangkan pelatihan dan transfer pengetahuan kepada cast member, sebutan bagi karyawan Disney Company, untuk memastikan standard dan budaya hospitality tetap terjaga di seluruh atraksi dan produknya. Disney menerapkan pendekatan pada setiap pelatihan dan pengembangan karyawan baru harus selalu diikuti dengan keterlibatan cast member yang sudah berpengalaman. Tiap cast member akan bercerita tentang pemahaman dan pengalamannya dalam menghadapi pelanggan. Melalui metode ini, Disney mendapatkan dua keuntungan, satu tetap terjaganya standar dan budaya yang sudah dikembangkan pada cast member dan kedua yaitu mempercepat kesiapan calon cast member melalui kasus-kasus aplikatif di lapangan.

Contoh yang terkenal lainnya ialah ketika Harvard University menawarkan metode baru percepatan masa sekolah dengan mempersingkat waktu kuliah untuk mendapat master degree dari 5 tahun (3 tahun untuk bachelor degree dan 2 tahun untuk master degree) menjadi 3 tahun (2 tahun untuk bachelor degree dan 1 tahun untuk master degree). Ide yang awalnya tidak diminati karena jika gagal dalam ujian akhir, peserta harus mengulang kembali dari tahun ajaran awal di bachelor degree. Metode belajar konvensional kemudian diubah dan prinsip sharing diperkenalkan. Tiap peserta yang mengikuti program tersebut selain mengikuti kuliah normal di kelas juga diberi tugas tambahan, yaitu sharing kepada siapa pun tentang apa yang dipelajarinya di kelas selama 30 menit. Tiap mahasiswa diberi satu form yang harus diisi dengan tanda tangan dari orang yang menjadi “korban” sharing nya. Pada akhir program, 100 % mahasiwa lulus dengan predikat diatas rata-rata.

Saya selalu ingat kata-kata seorang senior di tempat kerja. “I hear and I forget, I share and I remember, I do and I understand” Prinsip dan budaya sharing, selain selalu kami perkenalkan pada seluruh klien, juga menjadi dasar di perusahaan tempat saya bekerja. Dengan sharing, harus diakui saya tidak mungkin bertahan dalam masa probation. FYI, perusahaan tempat saya bekerja sangat terkenal dengan “kuburan” bagi para professional yang sudah terbukti kemampuannya. Sebut saja salah seorang mantan eksekutif di Bank Internasional yang baru-baru ini dicekal karena kasus penipuan nasabah. Dia gagal dalam 3 bulan pertamanya. Atau mahasiswa salah satu PTN dengan master degree, lengkap dengan cum laude nya. Juga gagal melalui 2 bulan pertamanya serta sederet professional berkompeten di bidangnya. Maka ketika dikenalkan pada budaya sharing, saya pun tidak melewatkan kesempatan ini. Salah seorang rekan kerja yang berumur tidak jauh berbeda, hampir setiap malam dalam 2 bulan pertama, saya “culik” ke Seven Eleven. Tujuannya satu, sharing pengetahuan dan pengalaman. Dengan sharing yang intens itu, 3 bulan pertama yang paling menakutkan bagi kehidupan professional saya, berhasil dilalui.


Maka tulisan serta blog ini kemudian didedikasikan bagi SIAPA SAJA yang tertarik dengan Knowledge Management, sharing pengetahuan, pengembangan kompetensi pribadi, dan pada tahapan yang lebih luas, bagi siapa saja yang ingin terus belajar dan berbagi pengetahuan. Pada akhirnya, saya sangat yakin dan percaya pada kata-kata Ralph Waldo Emerson. “There is no knowledge not a power”. Tidak ada pengetahuan yang tidak memiliki kekuatan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...