Apa yang kita tahu tentang Knowledge Management ?

Binatang apa knowledge management itu? Satu hal yang pasti. KM menarik, menyenangkan, berbagi dan paling penting, memberikan nilai tambah.

Apa yang paling penting di organisasi?

Jika kita terlibat di organisasi, apa aset yang paling penting? Fasilitas, komputer, meja atau orang-orang yang berkompetensi di bidangnya? Temukan jawabannya disini

Apakah yang diatas selalu paling hebat?

Dalam organisasi formal yang terdapat atasan, rekan, dan bawahan, terkadang ada beberapa orang yang lebih banyak disukai dan dicari dibandingkan orang lain. Anehnya, orang itu tidak selalu atasan. Terkadang, dia hanya orang biasa. Network Analysis membantu kita mengidentifikasi mereka

Butuh referensi tentang Knowledge Management?

"Ilmu itu hanya milik Tuhan", kata seorang bijak. Jadi, kenapa harus menyimpannya untuk diri sendiri ? Lets share !

About Me

Ok, this section is not important. Tapi jika anda punya semangat dan ketertarikan yang besar dibidang KM, maka kita bisa lebih mengenal.

Friday, June 29, 2012

Perusahaan dan Kemampuan Belajar


The only sustainable competitive advantage is to learn faster than your competitor

Saya akan bercerita sedikit tentang kata-kata dari Peter Senge, pengarang buku New York Best Seller of All Times, The Fifth Discipline. Tahun 1945, Amerika yang berhasil memenangkan perang Asia Pasifik melawan Jepang mengalami euphoria yang sangat besar. Semua orang bangga dan meyakini bahwa mereka adalah negara terhebat, polisi dunia, pahlawan kedamaian dan sebagainya. Tidak hanya itu, kemenangan perang juga membawa dampak hebat bagi dunia bisnis Amerika. Perusahaan-perusahaan Amerika mendominasi kekuatan ekonomi Internasional menggunakan teknologi selama perang untuk menciptakan inovasi dan produk baru. Industri otomotif berhasil menciptakan mobil secara massal; industry penerbangan dan elektronik meningkat secara tajam, aliran modal mengalir deras.  Industri otomotif Amerika menguasai dunia. Sebut saja General Motor, Boieng, Harley Davidson dan sederet perusahaan lainnya. Bukti keberhasilan itu dapat terlihat pada peningkatan Gross National Product (GNP). Tercatat GNP Amerika tahun 1940 hanya US$ 200.000. Angka tersebut meningkat secara cepat menjadi US$ 300.000 pada tahun 1950 dan mencapai US$ 500.000 pada tahun 1960. Masa itu adalah babak baru dalam ekonomi internasional, bahkan hingga kini dikenal sebagai The Golden Age of Capitalism.

Dilain pihak, Jepang yang kalah perang mengalami krisis ekonomi yang parah. Pengangguran tingkat tinggi, inflasi mencapai dua digit, industry vital hancur, bahkan industry agrikultur Jepang tidak bisa memenuhi syarat minimal keamanan pangan. Saat itu, Jepang adalah negara tertinggal dan Amerika menikmati masa keemasannya. Kala itu, tidak ada yang percaya bahwa Jepang mampu menang perang dari Amerika, bahkan hingga 100 tahun dari sekarang. Tapi saya punya gambar menarik dari cover majalah TIME, Mei 1971.



“Bagaimana mengatasi invasi bisnis jepang ?” Ya, Jepang memang kalah perang tetapi Jepang berhasil menang perang dalam bisnis. Isi artikel tersebut diantaranya tentang industry dan produk Jepang yang membanjiri Amerika. Akio Morita, CEO Sony “menginvasi” America dengan produk elektroniknya yang terkenal, Walkman. Industry otomotif Jepang seperti Honda, Toyota dan Suzuki juga sukses menggusur pasar General Motor dan Harley Davidson. Saya masih ingat iklan fenomenal Honda yang menggambarkan sekelompok preman mengendarai motor besar yang berisik, mengganggu dan terlihat sebagai penjahat yang kemudian dilanjutkan dengan seorang pemuda berpenampilan rapi, terpelajar, sopan dengan potongan rambut belah samping sedang mengendarai motor Honda yang ringkas, dan pastinya tidak berisik. Iklan ini begitu berhasil sehingga membuat Harley Davidson yang terkenal dengan motor besarnya hampir bangkrut.

Bagaimana Jepang bisa mengalahkan dunia bisnis Amerika hanya dalam waktu kurang dari 30 tahun? Jawabannya ialah kata-kata Peter Senge yang disampaikan di atas. Jepang belajar lebih cepat dari Amerika. Semudah itu. Bukan modal yang berlimpah, teknologi, atau bahkan pengalaman yang membuat Amerika kalah tetapi karena Amerika tidak bisa mengalahkan kemampuan Jepang belajar dan menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Hukum itu akan terus berlaku, bahkan untuk Jepang sekalipun. Jika anda melihat harga saham Toyota saat ini, akan banyak warna merah dan tanda negatif disana. Toyota dalam beberapa tahun belakangan mengalami kerugian. Siapa sekarang yang menjadi sorotan karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi ? Asia, khususnya China dan Korea Selatan. Lihat saja bagaimana cepatnya Asia menjadi raksasa ekonomi baru. Samsung misalnya. Perusahaan yang mulai dari produsen alat listrik tersebut kini salah satu pesaing terbesar Apple dalam bisnis handheld dan tab. Atau BYD, produsen otomotif yang tiba-tiba muncul dalam 10 Most Innovative Company tahun 2010 dengan mobil elektriknya.

Siapa yang kenal BYD hingga beberapa tahun lalu ? Hanya segelintir orang. Bahkan hingga kini pun di Indonesia, BYD masih belum banyak dikenal. Sebagian besar klien kami, umumnya bertanya-tanya perusahaan apa BYD itu dan heran mengapa mereka bisa begitu fenomenal sehingga masuk dalam kategori 10 Most Innovative Company tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Business Week. Seingat saya, hanya petinggi Djarum yang tahu secara jelas siapa itu BYD, bahkan mereka sudah pernah datang ke pabriknya langsung di China. Sejarah BYD dimulai dari sebuah perusahaan kecil yang mengerjakan baterai untuk pabrik besar lainnya seperti Samsung dan Nokia. Baterai yang dibuat oleh BYD begitu efisien sehingga pesanan meningkat dengan pesat. Keberhasilan ini membuat BYD memutuskan untuk mengembangkan bisnis yang berfokus pada baterai dan mulai mensuplai baterai untuk peralatan dengan kapasitas yang lebih besar seperti server dan mobil elektrik. Merasa yakin dengan kemampuannya, BYD menjelma menjadi perusahaan yang tidak hanya memproduksi baterai tetapi memproduksi mobil menggunakan baterai mereka sendiri.

Ok, mobil elektrik mungkin belum fenomenal bagi anda. Banyak yang sudah memproduksinya. Apa kelebihan mobil BYD ? Berikut video ketika BYD E6 diperkenalkan di Detroit Auto Show tahun 2009.


Kehadiran BYD di Detroit sendiri sudah merupakan kesuksesan. Ditempatkan di main floor, BYD menggusur tempat yang biasanya disediakan bagi produsen mobil ternama seperti Ferrari. Fakta menarik lainnya menurut sumber di video tersebut ialah efisiensi BYD. Dengan hanya sekali charge selama 10 menit, E6 bisa menempuh jarak 250 mile. Anda tahu seberapa jauh 250 mile itu ? 400 km atau setara jarak antara Jakarta ke Semarang ! Dilain pihak saingannya General Motor “hanya” sanggup menempuh  40 mile (70 km) untuk sekali charge. Itupun dengan waktu charge selama 45 menit. Belum lagi akselerasinya. Klaim yang disebutkan di webnya menyatakan bahwa E6 mampu mencapai 100 km/jam hanya dalam 8 detik !

Perusahaan-perusahaan tersebut menjadi pemenang karena mereka berhasil beradaptasi dengan kebutuhan pasar dan sekali lagi, karena mereka belajar lebih cepat dari pesaingnya. Jika kita berbicara tentang kemampuan belajar perusahaan, maka sesungguhnya kita harus menyoroti manusia (people) sebagai komponen utamanya. Tanpa SDM yang berkualitas, proses belajar bagi perusahaan hanya akan slogan dan inisiatif belaka. Mengelola proses belajar pun bukan hal yang mudah. Banyak perusahaan yang terlalu berfokus pada peningkatan kemampuan SDM dengan melakukan training, baik inhouse maupun external training. Pendekatan ini tidak salah, tetapi tidak cukup untuk memenangkan persaingan karena perusahaan tentu memiliki keterbatasan untuk melakukan training. Fokus sebaiknya tidak hanya ditujukan pada akusisi pengetahuan tetapi juga menggunakan secara maksimal pengetahuan yang sudah ada. Saya menulis artikel tersendiri tentang ini disini.

Perusahaan perlu memberikan perhatian pada penciptaan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Inisiatif ini memiliki dampak yang luas. DImulai dari mengumpulkan dan mengembangkan talent yang memiliki passion untuk terus belajar (people), menyediakan sistem yang memungkinkan komunitas pembelajar tumbuh dan berkembang (process), menggunakan teknologi sebagai media percepatan inovasi (technology), menyaring dan memfokuskan inovasi yang dihasilkan oleh komunitas untuk kemudian menindaklanjuti inovasi menjadi nilai tambah bagi perusahaan. Inilah framework sederhana penciptaan organisasi pembelajar (learning organization). Saya bisa menerangkan framework dengan sederet konsep dan gambar rumit lainnya, tetapi komponen utama yang harus menjadi fokus ketika membangun organisasi pembelajar sesungguhnya hanya tiga, yaitu people, process, technology. Sisanya adalah turunan dari ketiga komponen tersebut.

Framework ini pula yang menjadi panduan kami di KMPlus ketika membantu banyak perusahaan untuk mentransformasikan dirinya menjadi organisasi pembelajar. Tentu saja framework yang digunakan pada aplikasinya tidak sesederhana itu. Simplifikasi komponen ini kami lakukan mengingat sebagian perusahaan sudah menerapkan banyak metode dan pendekatan sehingga memberikan metode yang sama sekali baru adalah hal tabu bagi kami. Tujuan utamanya ialah untuk membantu perusahaan, bukan memberikan kerumitan baru bagi mereka dengan membuat tools baru yang membutuhkan adaptasi lagi. Fokus kami ialah menggunakan sumberdaya yang sudah tersedia di perusahaan (maximazing available resources), menselaraskan kembali dengan tujuan dan kebutuhan bisnis (aligning and sharpening with business needs) serta melakukan penciptaan dan peningkatan nilai tambah (creating and leveraging value).    


Di artikel lainnya kita akan “bermain” lebih banyak dengan tiga komponen ini, membahas aplikasi dan penggunaannya serta paling penting, memberikan nilai tambah.

Tuesday, June 19, 2012

Lebih dalam dengan SECI : Starbucks dan VIA


Ketika berbicara tentang aliran pengetahuan (knowledge flow), maka kita tidak bisa melewatkan SECI. Istilah yang dikenalkan oleh Nonaka dan Takeuchi dalam bukunya “The Knowledge Creating Company : How Japanesse Company Creating The Dynamic of Innovation” adalah salah satu cara paling mudah untuk menjelaskan bagaimana pengetahuan mengalir dan lebih penting, bagaimana inovasi terjadi. SECI adalah singkatan dari Socialization Externalization Combination Internalization. Secara singkat pengetahuan dikategorikan menjadi dua, yaitu pengetahuan yang ada di kepala manusia (tacit) dan pengetahuan yang sudah di dokumentasikan (explicit). Aliran pengetahuan digambarkan bermula dari tacit yang disebarkan dari satu orang ke orang lain (Socialization) kemudian tacit yang sudah berpindah ke orang lain dituangkan dalam bentuk dokumen menjadi explicit (Externalization). Dokumen-dokumen pengetahuan dalam bentuk explicit tersebut kemudian dikumpulkan dan dikelola agar mudah diakses dan digunakan (Combination). Dokumen yang telah dikelola tersebut kemudian digunakan untuk menghasilkan pengetahuan baru dan inovasi bagi perusahaan (Internalization).
Penjelasan SECI yang paling sering digunakan ialah pada proses penciptaan alat pembuat roti dari Matsushita Electrical Industrial. Tim Research and Development (RnD) Matsushita dalam proses desain alat pembuat roti itu melakukan magang di Hotel Osaka, salah satu hotel di Jepang yang terkenal dengan rotinya. Setelah mempelajari bagaimana adonan roti dibuat dari Chef-nya langsung, tim RnD kemudian membuat alat yang dapat meniru cara pengadukan adonan roti Hotel Osaka. Setelah serangkaian kegagalan (as usual :) ), Matsushita berhasil menciptakan alat yang dapat meniru persis proses pengadonan roti Hotel Osaka. Dilengkapi dengan buku resep yang sudah disempurnakan, alat pembuat roti Matsushita menciptakan rekor baru dalam sejarah penjualan perusahaan. Ini adalah cerita yang paling sering kita dengar. Tapi saya ingin menjelaskan bagaimana SECI digunakan dalam studi kasus lainnya, yaitu pada Starbucks Coffee Company.

Tidak seperti yang banyak kita tahu, Starbucks pernah mengalami masa-masa terburuk dalam sejarahnya. November 2007, Starbucks mengeluarkan laporan keuangan tahunannya. Hasilnya menggembirakan. Pemasukan US$ 9,4 milyar, naik 21 persen dari tahun lalu dan pendapatan bersih hampir US$700 juta. Dari perspektif manapun, performa Starbucks fantastis. Tapi ada beberapa hal yang tidak terlihat di laporan keuangan tersebut seperti kunjungan pelanggan yang menurun, tergerusnya pangsa pasar oleh pesaing serta marjin laba yang menyusut. Indikasi-indikasi yang berhasil dilihat oleh Wall Street dan dinyatakan dalam salah satu artikelnya : “At Starbucks, Too Many, Too Quick ?”. Keadaan ini sebenarnya merupakan akibat dari beberapa keputusan strategis Starbucks yang terlalu cepat dan tidak fokus. Dengan mengedepankan pertumbuhan gerai, kualitas kopi dan Starbucks Experience semakin dilupakan. Lini bisnis yang semakin melebar hingga masuk ke dunia rekaman dan perfilman juga dianggap biang keladi dari kemunduran Starbucks.

Sebelum semua terlambat, owner sekaligus mantan ceo Starbucks, Howard Schultz, memutuskan kembali menjabat. Langkah yang didukung oleh sebagian besar pemegang saham ini, tetap tidak dapat menghindari efek domino dari manajemen sebelumnya. Saham Starbucks turun 42 persen di tahun 2007, angka comps (perbandingan penjualan hari itu  dengan hari yang sama tahun sebelumnya) pertama kali muncul negatif, pendapatan turun 28 persen pada pertengahan 2008, penutupan hampir 600 gerai, serta yang paling menyakitkan, pemecatan 12.000 karyawan Starbucks di seluruh dunia.  

Manajemen Starbucks dibawah pimpinan Howard Schultz tentu tidak diam begitu saja. Mereka menciptakan banyak efisiensi dan inovasi untuk mendukung kebangkitan Starbucks. Mulai dari fokus membenahi Starbucks Experience, melatih ulang seluruh barista dalam membuat espresso, menerapkan lean, hingga meluncurkan produk baru. Salah satu inovasi yang menarik ialah VIA. Kopi instan ala Starbucks. Mengapa VIA menjadi menarik ? Jawabannya adalah kata instan itu sendiri. Bagi perusahaan sekelas Starbucks yang menjual kualitas kopi terbaik, instan adalah kata-kata yang menakutkan. FYI, tidak seperti kita yang sudah terbiasa meminum kopi instan, pecinta kopi menganggap kopi instan adalah bentuk paling buruk dalam sejarah panjang kopi. Bahan baku yang menggunakan biji kopi kualitas rendah serta proses pengolahan ekstraksi air dan pengeringan secara cepat menghilangkan sebagian besar cita rasa, senyawa aromatik, dan kandungan lainnya yang membuat kopi menjadi unik. Membandingkan kopi Starbucks dengan kopi instan sama saja dengan membandingkan Wine Italia dengan Bir. Ferrari dengan mobil Cina. Ducati dengan motor bebek. Hotel bintang lima dengan kamar kelas melati. No offense here. Tapi itulah kenyataannya. Dan ide gila itu pun tidak akan pernah terlintas di kepala Howard Schultz hingga seorang pakar biologi sel yang suka naik gunung mencobanya.   

Tahun 1989. Saat itu, Starbucks baru merintis karier sebagai jaringan kopi yang kelak akan dikenal dengan Starbucks Experience-nya. Kopi terbaik yang dikumpulkan dari seluruh dunia, dipilih dengan cermat untuk mendapatkan konsistensi kualitas, dipanggang dengan kecermatan hingga hitungan detik, disajikan dalam keadaan segar; keramahan serta customer engagement yang kental menghasilkan secangkir kopi dalam bentuk yang sempurna.

Don Valencia, seorang Amerika keturunan Italia membawa kopi segar Starbucks yang diolah dalam bentuk serbuk ke gerai pertama Starbucks di Pike Place. Cukup ditambahkan air panas dan siap disajikan. Itulah prototype kopi instan pertama Starbucks. Keberhasilan Don Valencia dalam menyajikan kopi Starbucks dalam bentuk instan kemudian menjadi pengetahuan yang diberikan kepada barista di gerai Pike Place. Pengetahuan tersebut kemudian berpindah ke Dave Olsen, salah seorang senior manager dan secara cepat mengalir lagi ke ceo sekaligus owner Starbucks saat itu, Howard Schultz. Inilah bentuk Socialization awal dari kopi instan ala Starbucks.

Ide “gila” ini kemudian ditindaklanjuti oleh Howard Schultz. Don Valencia secara resmi bergabung dengan Starbucks pada tahun 1993 dan secara fokus menangani pengembangan kopi instan ala Starbucks ini. Metode yang diperkenalkan oleh Don Valencia berbeda dari proses pembuatan kopi instan pada umumnya. Dia menggunakan penelitiannya di bidang sel manusia untuk mengikat senyawa dan kandungan kopi hingga dapat mempertahankan keunikannya. Beberapa tahun kemudian, Don Valencia mengajak salah seorang koleganya, Urano “Uri” Robinson, seorang ahli farmasi. Bersama Uri, Don Valencia fokus pada standardisasi prosedur, metode pemilihan kopi, dan desain alat. Inilah tahapan kedua, Externalization.

Walaupun kopi yang dibuat dengan metode Don Valencia sudah jauh lebih baik dari metode kopi instan lainnya, tetapi kualitasnya belum layak untuk disajikan dalam lini produk Starbucks. Tim RnD yang dipimpin langsung oleh Don Valencia pun mulai melakukan serangkaian tes dengan berbagai parameter. Biji kopi, cara pemanggangan, lama proses pembuatan serbuk, coating, desain alat, hingga pengetesan rasa oleh coffee master Starbucks. Data hasil percobaan itu dikumpulkan, dianalisa, dicari kekurangan, dan di uji coba lagi. Analisis trial inilah bentuk proses Combination.

Pada akhirnya, setelah serangkaian uji coba dan analisis data, didapatkanlah kopi instan ala Starbucks. Kopi instan sempurna yang bahkan tidak dapat dibedakan dengan kopi segar Starbucks lainnya. Kopi yang dapat dengan tepat menggabungkan kompleksitas cita rasa dan kemudahan kehidupan modern. Kopi ini dinamakan VIA, yang artinya jalan dalam bahasa Italia dan singkatan dari Valencia untuk menghormati Don Valencia yang meninggal sebelum kopi instan itu sempurna. VIA adalah bentuk akhir dari Internalization.

Apa yang menarik dari sebuah kopi instan bernama VIA ? Menurut saya bukan hanya dari cerita keberhasilan inovasi Starbucks yang mirip dengan alat pembuat roti Matsushita, tetapi juga proses dan pencapaian selama penciptaan inovasi tersebut. Fakta menarik pertama ialah bagaimana proses SECI dapat membantu konsistensi penciptaan inovasi. Dengan eksternalisasi yang dilakukan secara konsisten, pengembangan VIA dapat terus berjalan walaupun orang-orang pentingnya sudah tidak ada. Don Valencia pensiun dari Starbucks pada tahun 1999 dan pengembangan JAWS, nama sandi awal VIA, tetap berjalan. Uri dan timnya tetap dapat melanjutkan visi awal Don Valencia. Jika saja tim RnD Statbucks hanya berfokus pada pencapaian inovasi dan tidak berfokus pada eksternalisasi pengetahuan, maka pengembangan VIA pun akan berjalan ditempat, bahkan terhenti ketika pencetus idenya pensiun.

Fakta menarik kedua adalah inovasi-inovasi yang dihasilkan dari prototype awal VIA. Nama sandi awal VIA adalah JAWS yang merupakan singkatan dari Just Add Water and Stir (cukup tambahkan air dan aduk). JAWS adalah komponen utama dalam produk fenomenal Starbucks, Frappucino. Sebagai sebuah produk, Frappucino memiliki semua kategori produk sukses. Idenya yang sama sekali baru, rasa yang disukai, bahan baku yang murah serta waktu penyiapan yang cepat menjadikan Frappucino sebagai minuman es paling disukai oleh pelanggan Starbucks dan tentunya menguntungkan. Hal ini menunjukkan bahwa SECI bukanlah proses kaku yang harus mengikuti alur proses sederhana. Justru pada aplikasinya sangat dinamis dan bisa berubah-ubah tergantung kebutuhan bisnis. Perubahan fokus dari JAWS menjadi BBCB (nama resmi bahan utama Frappucino) adalah buktinya.     

Pada akhirnya, VIA dan Starbucks telah mengajarkan kita bahwa SECI dan inovasi tidak terjadi dalam satu malam. Tahun peluncuran VIA adalah 2009. Hampir 20 tahun sejak ide gila itu dicoba oleh Don Valencia ! Waktu yang sangat lama untuk sebuah kopi instan. Jika Howard memutuskan pengembangan kopi instan ala Starbucks dihentikan ditengah jalan, maka VIA tidak akan pernah ada. Pelajaran paling berharga dari Starbucks, Matsushita dan perusahaan besar lainnya adalah SECI dan inovasi merupakan sebuah hasil dari proses yang konsisten, fokus dan terstruktur. Tanpa itu semua, inovasi hanya akan berujung pada “good idea”. A little more persistence, a little more effort, and what seemed hopeless failure may turn to glorious success.



Note : Data dan cerita didapatkan buku fenomenal Howard Schultz, Onward : Bagaimana Starbucks Bertahan Hidup dan Bangkit Kembali tanpa Kehilangan Jiwanya. Salah satu buku yang jadi favorit saya. Buku tersedia di Gramedia (semoga ada karyawan Gramedia yang mau memberikan kupon buat saya untuk promosi ini :) )

Sunday, June 17, 2012

Kapan kita butuh Knowledge Management ?



Mungkin salah satu pertanyaan yang paling menarik untuk dibahas seputar Knowledge Management ialah judul artikel ini. Kapan kita butuh Knowledge Management ? Pertanyaan ini menjadi penting bagi perusahaan atau organisasi yang baru mengenal Knowledge Management dan sedang berfikir untuk menerapkan Knowledge Management. Jawaban saya singkat saja. Anda membutuhkan Knowledge Management ketika organisasi atau perusahaan anda ingin berkembang, tidak melakukan hal yang itu-itu saja, membutuhkan profit tambahan atau sekedar bertahan dari serangan bisnis pesaing yang terus menggerogoti pangsa pasar. Ok, saya tahu ini tidak masuk akal. Semua organisasi dan perusahaan pasti menginginkan hal tersebut. Siapa yang tidak mau eksis di bidangnya ? siapa yang mau neraca laba rugi menjadi minus ? siapa yang ingin mengubur bisnis yang sudah dipertahankan bertahun-tahun lamanya. Tidak ada rasanya. Jadi pertanyaannya bukan kapan kita butuh Knowledge Management tapi kenapa kita belum melakukannya ? :)

Akan tetapi banyak perusahaan menginginkan jawaban yang lebih “membumi”. Berikut beberapa alasan mendasar mengapa kita memang butuh Knowledge Management.

1. Ketika banyak terjadi reinventing the wheel.
Istilah reinventing the wheel sudah menjadi kalimat yang sering didengar, khususnya di dunia konsultan. Bahkan untuk konsultan sekelas McKinsey Consulting dan Boston Consulting Group, reinventing the wheel adalah masalah serius. Reinventing the wheel secara singkat mengacu pada keadaaan dimana kita melakukan sesuatu yang sudah pernah kita lakukan. Kita dalam perspektif ini bisa pribadi, kelompok atau perusahaan. Saya sudah menceritakan sedikit pengalaman tentang reinventing the wheel di sini.

Ketika kita melakukan pekerjaan atau project maka yang seringkali dilakukan adalah mencari keluar organisasi atau perusahaan terkait pengalaman atau sumber acuan.  Alasannya simple saja. Dengan era keterbukaan seperti sekarang, maka Google adalah tools yang paling powerfull untuk mendapatkan informasi. Sayangnya, kita tidak sadar bahwa pengetahuan yang kita butuhkan mungkin saja ada di dalam organisasi atau perusahaan kita sendiri. Dalam bukunya, The McKinsey Mind (buku tersedia di KM Online Library), Ethan M Rasiel dan Paul N. Friga menyebutkan langkah pertama yang harus dilakukan oleh konsultan McKinsey adalah mencari tahu apakah project yang sedang dikerjakan sudah pernah dikerjakan oleh konsultan McKinsey lainnya karena kita tidak pernah tahu kemungkinan entah kapan atau dibagian mana dari organisasi kita yang pernah atau bahkan saat ini sedang mengerjakan hal serupa. Reinventing the wheel juga berlaku bagi kesalahan dan kegagalan. Pepatah mengatakan bahkan keledai pun tidak akan jatuh dua kali pada lubang yang sama.   

Untuk kasus ini, peranan Knowledge Management adalah membantu perusahaan dan organisasi untuk mengetahui apa yang sebenarnya mereka ketahui. Dengan tidak mengulang pekerjaan serta menghindari kesalahan dari pengalaman maka organisasi akan belajar dan beradaptasi jauh lebih cepat dari pesaingnya.  Don't reinvent the wheel, just realign it. Reinventing the wheel adalah fenomena pasti dalam suatu bisnis. Kita tidak bisa menghindarinya tetapi kita bisa mengurangi kemungkinan terulang secara terus menerus.

Bagaimana Knowledge Management bisa membantu kita mengatasi reinventing the wheel ? Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan menghubungkan pengetahuan dan manusia yang memiliki pengetahuan tersebut dengan seluruh lini organisasi yang membutuhkan. Secara aplikatif bisa dimulai dengan membangun budaya untuk memberikan tanggapan secara cepat jika ada anggota yang membutuhkan, mengidentifikasi orang-orang yang memiliki pengetahuan melalui Experience Locator, membangun komunitas yang secara aktif saling membantu melalui Community of Practice atau meningkatkan akses pada individu yang berpengalaman dan dokumen yang sudah ada dengan membangun repository dan forum maya.

McKinsey adalah salah satu perusahaan yang dikenal berhasil dalam menangani reinventing the wheel. Mereka memiliki sistem yang memastikan seluruh project yang pernah dikerjakan tersimpan dengan rapi. Dokumen ini adalah dokumen yang telah “dibersihkan” (cleansed document) dari nama perusahaan, sumber-sumber confidential. Menyisakan pola pikir, data, struktur penelitian, metodologi dan semua yang dibutuhkan seorang konsultan untuk menyelesaikan pekerjaan tanpa mengulang semua dari awal lagi.   

2. Ketika banyak terjadi knowledge walkout
Pernah mendengar cerita bisnis yang menurun atau hilang sama sekali ketika PIC nya keluar dari perusahaan ? atau pekerjaan yang terhambat karena tidak adanya “orang penting” yang bisa mengerjakan project tertentu ? atau seorang CEO yang “dipaksa” untuk bekerja setelah masa pensiunnya tiba. Kejadian-kejadian ini sangat sering kita temui di lingkungan kita, khususnya di dunia bisnis. Sebagai sebuah entitas, perusahaan dan organisasi tidak akan berjalan tanpa ada manusia sebagai penggeraknya. Tumpukan barang di gudang akan berdebu ketika sales dan marketing tidak bekerja; alat tidak bisa dijalankan ketika operatornya sakit; laporan keuangan tidak selesai ketika senior analyst terlalu sibuk; atau portofolio yang hilang ketika account officer dibajak oleh pesaing. Kasus-kasus ini adalah contoh nyata bahwa perusahaan hanyalah bangunan kantor, meja, sistem, alat dan benda mati lainnya yang tidak akan berguna tanpa peranan manusia yang memberikan nilai tambah. Untuk itu, manusia-manusia spesial ini perlu diwaspadai keberadaannya. Bukan untuk dikekang tetapi digunakan secara maksimal. Pengetahuan adalah milik manusia dan pasti akan terus dibawa oleh manusia. Ini adalah nature dari bisnis. Yang bisa kita lakukan adalah mengalirkannya ke seluruh organisasi. Dan inilah fungsi Knowledge Management.

Melalui serangkaian tools nya, Knowledge Management bertugas menjaga, menyimpan dan mengalirkan pengetahuan ke seluruh organisasi. Yang perlu diperhatikan bahwa pengetahuan paling banyak disimpan dalam kepala manusia. Sekeras apapun usaha kita berusaha “mengeluarkan” dan mendokumentasikan pengetahuan dari kepala kita, hasilnya tidak akan mencatat 100% pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, pendekatan yang diutamakan dalam menghindari knowledge walkout dan knowledge lost ialah dengan membangun lingkungan yang nyaman bagi orang penting ini. Pendekatan yang paling efektif selain mempertahankan mereka adalah dengan membuat copy sebanyak mungkin orang-orang penting ini. Jika kita tidak bisa menyimpan originalnya, maka lebih baik fokus untuk membuat tiruannya. Caranya dapat dengan melakukan team up antara anggota senior dengan junior; mendokumentasikan best practice dan lesson learnt; membangun kebiasaan sharing minimal 1 minggu sekali; konsisten menjalankan After Action Review; menunjuk Knowledge Librarian untuk mendokumentasikan hasil project dan lainnya. Inisiatif yang dipilih dapat disesuikan dengan budaya dan strategi perusahaan. Tidak perlu mengubah, kita hanya perlu memastikan pengetahuan yang sudah dibangun dan didapatkan perusahaan dengan susah payah keluar atau hilang karena kemalasan menjaga pengetahuan itu sendiri.  

Perusahaan-perusahaan Jepang adalah salah satu dari sekian banyak organisasi yang berhasil mencegah terjadinya knowledge walkout. Dengan penghargaan tinggi pada kesetian dan loyalitas, lingkungan yang mendukung pembelajaran terus menerus, penciptaan “ba” atau ruang untuk mengalirkan pengetahuan telah membuat tingkat knowledge lost ditekan hingga minimum. Matsushita, Toyota, dan Sony adalah sebagian dari perusahaan tersebut.

3. Ketika inovasi menjadi prioritas
Setiap perusahaan dan organisasi pasti mengalami masa-masa ketika produk yang dijual tidak laku dipasar; pesaing yang melakukan cara-cara radikal untuk mengikis portofolio profit; business as usual tidak berlaku lagi; persaingan yang terjadi hanya dalam bentuk harga paling murah dan keadaan ekstrim lainnya. Keadaan ini lebih dikenal sebagai red ocean, samudra merah karena “darah” dari penghuninya yang setengah mati bertahan hidup. Red ocean adalah mimpi buruk semua pebisnis. Saat itu, segala yang dilakukan tidak lagi akan dilihat sebagai suatu kelebihan, hanya harga yang menjadi perhitungan. Pertumbuhan terhenti karena “kue” yang diperebutkan hanya secuil itu saja. Pengusaha dalam posisi tawar yang rendah sementara konsumen menikmati produk yang semakin murah harganya. Solusi yang diperkenalkan secara luas oleh W. Chan Kim dan Renee Mauborqne  adalah dengan segera keluar dari red ocean, menciptakan pasar baru dan secara nyaman berenang disana. Strategi ini dikenal sebagai blue ocean strategy. Dan inovasi adalah salah satu nyawa paling penting untuk memastikan keberhasilan blue ocean strategy.

Saya tidak akan membahas blue ocean strategy disini. Hal yang menarik justru bagi saya ialah bagaimana Knowledge Management membantu perusahaan untuk menciptakan inovasi. Jika melihat lebih detail, kita akan sadar bahwa inovasi adalah inti dari Knowledge Management. Inisiatif Knowledge Management akan dinyatakan berhasil jika memiliki nilai tambah. Artinya, seluruh tools, inisiatif dan kegiatan yang dilakukan atas nama Knowledge Management haruslah memiliki nilai tambah sebagai hasil akhirnya. Sangat sesuai dengan inovasi kan ? :)

Bagaimana Knowledge Management dapat menghasilkan inovasi ? Untuk menjawab hal itu kita perlu melihat lebih jauh bagaimana proses inovasi terbentuk. Secara singkat, inovasi dapat terbentuk dari berbagai cara. Inti dari inovasi sendiri adalah penciptaaan nilai tambah secara konsisten, fokus dan terstruktur. Untuk menjelaskan bagaimana inovasi terbentuk, penjelasan yang paling mudah adalah dengan mengacu pada SECI yang dikenalkan oleh Nonaka dan Takeuchi dalam bukunya, The knowledge creating company: how Japanese companies create the dynamics of innovation. Saya membahas tentang SECI di artikel lainnya.

Proses terjadinya inovasi sendiri cukup sederhana. Ide-ide dikumpulkan dari seluruh organisasi kemudian ide yang dianggap dapat memberikan nilai tambah diusulkan menjadi inovasi baru dan dilanjutkan ke tingkat manajemen yang lebih tinggi seperti RnD. Inovasi ini kemudian diuji lagi, dikembangkan lebih lanjut, penerapan skala kecil hingga siap digunakan dalam proses bisnis. Rangkaian proses ini terlihat mudah dan sederhana, tetapi penerapannya sangat sulit. Terkadang proses inovasi terhenti hanya pada tahap uji coba atau bahkan hanya berupa saran tanpa tindak lanjut.

Disinilah peranan Knowledge Management menjadi terlihat. Dengan pendekatan komunitas yang berfokus pada manusia, ide-ide dapat terjaring dari seluruh anggota organisasi. Bentuk komunitas yang sering digunakan sebagai acuan adalah Community of Practice (CoP). Melalui lingkungan komunitas yang terbuka dan mengedepankan perbaikan, ide-ide awal dikumpulkan, disaring, didiskusikan, diuji. Pendekatan yang mudah dan aplikatif, menjadikan CoP dapat digunakan oleh seluruh organisasi, bahkan di tingkat pelaksana. Salah satunya ialah klien kami, perusahaan yang bergerak di bidang food and beverages.

Sekitar 3 tahun yang lalu kami membantu mereka dalam menerapkan CoP di organisasinya. Salah satunya ialah bagi sopir truk yang bertugas mengantar produk ke pelanggan. Awalnya, sopir-sopir dikumpulkan di ruangan terbuka dimana kami dan mereka duduk lesehan di karpet sederhana, dengan seteko kopi dan beberapa piring pisang goreng. Sangat sederhana. Kami menjelaskan secara singkat apa maksud dan tujuan acara kumpul-kumpul ini. Mereka hanya diminta berkenalan dan mengobrol apa saja pada awalnya. Suasana dibangun dengan sederhana dan tanpa paksaan. Tidak ada perintah untuk memberikan ide atau perbaikan. Hanya ngobrol selayaknya warung kopi biasa. Setelah 1 jam, pertemuan selesai. Hasilnya tidak begitu menggembirakan. Semua orang merasa tertekan dan tidak ada yang santai. Kami tidak menyerah. Pertemuan dilakukan lagi  minggu depan. Masih di tempat yang sama, karpet yang sama dan makanan yang sama. Setelah 3 kali pertemuan, hasilnya masih kurang memuaskan. Tidak ada yang didapatkan dari pertemuan ini. Perkembangannya hanya sopir-sopir yang sudah saling mengenal dan mulai nyaman ngobrol. Pendekatan diubah. Manajemen dan kami sebagai konsultan, tidak lagi ikut di CoP itu. Sebagai gantinya, kami mengundang beberapa orang yang dinilai sebagai senior dan memiliki hubungan baik dengan sebagian sopir. Kepada para core member ini kami menjelaskan makna dan tujuan CoP. Selanjutnya terserah pada mereka untuk menjelaskan ke komunitas.

Hasilnya, setahun kemudian CoP sopir itu sudah jauh berbeda. Ketika kami datang, mereka tidak lagi malu-malu atau takut. Bahkan kami dianggap tidak ada. Mereka asyik diskusi tentang trik-trik memuat barang di salah satu toko, jalur-jalur yang perlu diwaspadai, memperbaiki mesin dan topik aplikatif lainnya. Kini, manajemen melaporkan bahwa tingkat efisiensi dan kecepatan pengantaran barang meningkat secara drastis. Tidak hanya itu, turn over sopir juga menurun jauh. Dengan hanya seteko kopi, beberapa piring pisang goreng, 1 jam waktu senggang serta paling penting sopir-sopir yang ingin terus memperbaiki diri, klien kami mendapatkan apa yang tidak bisa dilakukan dengan pendekatan manajemen biasa.


Itulah inovasi. Sebuah perjalanan dan tahapan yang terlihat mudah tetapi sangat sulit diterapkan. Apa kunci dari ini semua ? Jawabannya adalah keterlibatan seluruh organisasi, khususnya komunitas. Tapi komunitas tidak akan terwujud tanpa dukungan manajemen yang menyeluruh dan konsisten. Hal yang sama juga dapat menjawab pertanyaan kapan anda membutuhkan Knowledge Management. Semua harus dimulai dari manajeman, khususnya pimpinan organisasi. Kita akan bahas pentingnya manajemen dan pimpinan terhadap kesuksesan implementasi Knowledge Management di artikel lainnya.

Thursday, June 14, 2012

Knowledge Management : Aplikasi dalam Proses Pembelajaran Perusahaan



Ketika berbicara tentang kemampuan belajar yang cepat maka kita tidak bisa lepas dari proses belajar itu sendiri. Perusahaan sebagai industry yang menjual nilai tambah sudah sejak lama meyakini bahwa proses pembelajaran harus dilakukan dan terus dikembangkan. Perusahaan yakin bahwa SDM sebagai intangible asset tidak dapat serta merta diperoleh atau diambil dari perusahaan lainnya. Proses pembelajaran harus dilakukan dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan pasar. Keyakinan itu juga yang terlihat dari kuatnya inisiatif belajar yang dilakukan oleh perusahaan. Program training bagi pekerja baru, katalog kompetensi, assesment berkala, sertifikasi profesi, bahkan beberapa perusahaan telah lebih maju dengan membangun Corporate University.

Inisitif-inisiatif tersebut juga secara luas sudah diakui keberhasilan dan efeknya. Tetapi kini semua orang sadar akan hal tersebut. Semua pesaing sudah melakukannya. Lalu jika semua orang bisa melakukannya, dimana keunggulannya? Belum lagi masalah yang kerap muncul terkait budget yang terbatas. Knowledge Management mungkin bisa menjadi solusi untuk permasalahan ini

Salah satu yang perlu diperhatikan dalam konsep pembelajaran di perusahaan ialah penekanannya pada peningkatan kompetensi melalui rangkaian peningkatan kompetensi secara terstruktur. Training adalah salah satu bentuk nyatanya. Karyawan diwajibkan mengikuti training dan kelas-kelas yang diharapkan menambah kemampuan dan pemahamannya terhadap kompetensi yang disyaratkan. Tetapi proses tersebut hanya menambah informasi dan data, bukan pengetahuan. Proses training kerapkali difokuskan pada kurikulum standar yang dapat didapatkan oleh semua orang dengan sedikit usaha dan tenaga. Ketika karyawan hanya menambah sesuatu yang umum, maka keunggulan yang diharapkan tidak terjadi. Inovasi hanya akan berfokus pada apa yang sudah dipelajari dan akhirnya keunggulan kompetitif tidak didapatkan.

Itu kelemahan pertama. Kelemahan lainnya dari sistem training ialah information overload. Karyawan kerapkali dijejali dengan serangkaian kebutuhan kompetensi dengan tujuan karyawan dapat mencapai standar tertentu. Karyawan juga didikte untuk belajar semua bidang dan dapat menyelesaikan berbagai macam tugas. Karena beberapa hal, biasanya waktu dan dana, karyawan malah tidak dapat menggunakan informasi dan hasil pembelajaran yang telah didapatkan. Hal ini kemudian berdampak pada tidak efisiensinya proses pembelajaran. Informasi berharga yang telah susah payah diberikan menjadi sia-sia. Dana ratusan juta juga akhirnya terbuang sia-sia ketika karyawan dimutasi atau pindah kerja. Pada akhirnya ialah manajemen kemudian memutuskan mengurangi budget training karena tidak ada peningkatan dalam kinerja. Kasus yang sangat sering kita temui di banyak perusahaan Indonesia.

Information overload juga menjadi perhatian tersendiri. Perusaahan cenderung memandang informasi adalah hal yang baik padahal kenyataannya tidak selalu benar. Dengan era keterbukaan seperti sekarang, informasi bukan menjadi hal krusial lagi. Bagaimana mungkin bisa dikatakan krusial ketika semua orang bisa mendapatkannya ? Untuk memenangkan persaingan, yang dibutuhkan ialah pengetahuan yang sesuai dan berdampak kritis bagi perusahaan. Pengetahuan seperti dikatakan Einstein adalah Aksi. “Knowledge is action, everything else is just information”. Hanya informasi yang digunakan dan dijalankan untuk meningkatkan bisnis yang akan menjadi pengetahuan penting. Sisanya, hanya informasi. Inilah kelemahan sistem training yang ketiga. Proses pembelajaran tidak dapat menangkap pengetahuan yang benar-benar digunakan dan sudah terbukti berhasil. Saya membahas kelemahan itu di artikel tersendiri di sini.

Jika melihat kelemahan-kelemahan tersebut, apakah berarti kita harus berhenti melakukan training dan proses belajar ? Tentu saja tidak ! Belajar dan meningkatkan kompetensi adalah syarat jika ingin bertahan dalam bisnis. Bahkan dalam bisnis yang 100% mencontek apa yang perusahaan lain lakukan, kita masih membutuhkan kemampuan belajar. Saya tidak pernah mengatakan training adalah sesuatu yang harus dihindari, sebaliknya, training adalah syarat dasar untuk peningkatan kompetensi . Tetapi jika tujuannya ialah proses pembelajaran yang lebih cepat, lebih efektif dan lebih efisien dibandingkan pesaing kita, sayangnya, training saja tidak cukup.

Lalu apa solusinya ? Knowledge Management adalah salah satu pilihannya. Knowledge Management dapat melakukan apa yang  training tidak dapat berikan. Seperti kita bahas sebelumnya, perusahaan seringkali terjebak dalam paradigma menambah kompetensi sesuai dengan kebutuhan atau kompetensi yang disyaratkan. Knowledge Management bergerak dalam pola pikir  yang berbeda. Dimulai dari pendefinisian pengetahuan penting (important knowledge), perusahaan dapat mengidentifikasi pengetahuan kritis yang jika tdak dimiliki akan menyebabkan proses bisnis berhenti, setelah itu menurunkannya dalam topik atau kriteria-kriteria yang lebih mendasar untuk kemudian dialirkan ke seluruh organisasi. Tidak hanya itu, Knowledge Management juga mengidentifikasi siapa saja ahli dan karyawan yang memliliki pengetahuan tersebut sehingga perusahaan dapat memanfaatkan para ahli ini untuk memberikan kontribusi lebih dalam mengalirkan pengetahuan.

Yang menjadi menarik dari Knowledge Management ialah sifat alaminya yang fleksibel dan mementingkan manusia sebagai objek. Dengan pola pikir ini, pola training yang bersifat formal, terbatas dalam kelas dan satu arah dapat dihindari. Karyawan diajak turut terlibat dalam komunitas yang dapat berupa diskusi diskusi kecil atau kelompok-kelompok ahli yang suasananya dibuat santai (informal), menyenangkan (fun) tetapi tetap berfokus pada memberikan nilai tambah (value). Dengan ini, pengetahuan yang akan dialirkan bukan saja informasi-informasi umum atau kompetensi yang harus dipenuhi tetapi merupakan pengetahuan yang sudah dilaksanakan. Bisa berupa keberhasilan (best practices) ataupun kegagalan (lesson learnt). Ini juga menjawab permasalahan information overload. Karyawan tidak lagi difokuskan untuk memiliki informasi, tetapi cukup mendalami satu atau dua kompetensi, dan lebih fokus untuk menjadikan dirinya lebih mudah diakses dan lebih banyak sharing dengan karyawan lainnya. Dengan fokus pada satu atau dua kompetensi, karyawan akan menjadi ahli dibidangnya dan bisa lebih meningkatkan keahlian melalui diskusi dan penyelesaian masalah di  lapangan dan dunia nyata. Kasus dan permasalahan yang diajukan oleh karyawan lain melalui knowledge sharing akan membuat pemahaman dan pola pikir karyawan ahli semakin meningkat. 

Pendekatan knowledge sharing pada akhirnya juga akan menunjukkan dampak pada kebutuhan training itu sendiri. Karena pentingnya training, perusahaan banyak menginvestasikan dana di aspek ini. Beberapa perusahaan besar bahkan menginvestasikan hingga 20 % dari budget pengembangan bisnis untuk kebutuhan training. Dengan knowledge sharing, perusahaan dapat berfokus pada melakukan training untuk karyawan tertentu dan memfokuskan sebagian dana lainnya untuk mengalirkan pengetahuan melalui mekanisme knowledge sharing. Jika kita mau menghitung sedikit, biaya yang dibutuhkan untuk seorang karyawan mengambil suatu kompetensi, misalnya project management di salah satu vendor training ialah 3.5 juta. Jika ada kebutuhan untuk 100 orang saja maka dana yang dibutuhkan berkisar 350 juta. Melalui knowledge sharing, kita dapat memberikan training pada 20 orang saja dan menggunakan dana sisa untuk melaksanakan sharing 2 minggu sekali selama 2 jam setiap kali pertemuan dengan 20 karyawan ini sebagai nara sumbernya. Selain itu juga kita juga bisa melakukan team up antara karyawan yang sudah mengikuti training dengan  karyawan lain yang belum mengikuti training. Kita juga bisa mengalihkan dana yang tersisa untuk menciptakan komunitas yang dapat dengan cepat memberikan respon bagi kesulitan karyawan lainnya melalui forum intranet atau social media. Beberapa klien kami yang menerapkan pendekatan ini menyatakan bahwa budget training dapat dipangkas hingga 10-15%. Cukup menarik bukan ? :)

Ini hanyalah contoh, aplikasinya dapat disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Knowledge Management bukanlah sesuatu yang kaku dan baku. Knowledge Management adalah natural, fleksibel yang harus disesuaikan dengan arahan strategi bisnis perusahaan. Tools dan pendekatan yang ada di Knowledge Management bertujuan untuk memberikan solusi bagi berbagai permasalahan di perusahaan dan bagaimana hendak menggunakannya, haruslah sesuai dengan kebutuhan perusahaan itu sendiri. Intinya, apapun inisiatif yang dilakukan, fokus pada nilai tambah dan mengalirkan pengetahuan adalah dua hal yang tidak pernah boleh dilupakan dalam melakukan Knowledge Management karena tanpa dua inti tersebut, Knowledge Management hanyalah sebuah tools lainnya yang nantinya akan menjadi sekedar pajangan dan jargon belaka.

Sunday, June 3, 2012

Knowledge Sharing : Meningkatkan kinerja dengan mengetahui apa yang sudah kita tahu


Saya ingin mengawali tulisan ini dengan pengalaman ketika bekerja di salah satu konsultan BUMN. Ketika itu saya bertugas menyiapkan proposal tender untuk project di salah satu Kementrian (dulu namanya Departemen). Sayangnya, pengalaman saya ketika itu masih sangat minim sehingga saya kelimpungan mencari bahan dan acuan untuk metodologi project. Apalagi waktu yang diberikan cukup singkat sehingga saat itu saya bingung setengah mati. Bermalam-malam saya habiskan untuk membaca dan mencari bahan. Tanya ke ahli dan rekan kerja juga tak banyak membantu. Hasilnya nihil. Proposal saya malah lebih mirip skripsi yang mengambil sumber sana sini. Tidak ada metodologi yang bisa secara teknis diimplementasikan untuk project ini. Akhirnya satu minggu terlewati dan proposal saya tidak ada kemajuan.

Sadar dengan kebingungan saya, atasan pun mengenalkan beberapa rekan kerja di divisi lainnya. Menurutnya, rekan kerja itu punya pengalaman mengerjakan project serupa di Kementrian lain. Tanpa tunggu waktu, saya langsung menuju kesana. Setelah diskusi saya tercengang. Ternyata apa yang saat ini sedang saya buat, saat itu juga sedang dikerjakan oleh rekan kerja tersebut. Bahkan sudah lengkap semua metodologi, tools, kuisioner, bahkan software untuk pendukungnya. Saya tercengang. Selain karena senang bisa menyelesaikan proposal dengan cepat, saya juga heran. “Kok bisa ada project yang sama, dikerjakan oleh perusahaan yang sama, dengan metode yang sama hanya berbeda Kementrian saja dan saya tidak tahu??” .

Pernahkah anda merasakan hal yang sama dengan yang saya alami ? Tampaknya jawabannya iya, karena masalah yang sama tidak hanya terjadi di perusahaan itu tetapi juga terjadi di perusahaan lain di dunia ! Mengejutkan bukan ? Bahkan McKinsey Consulting, salah satu konsultan manajemen terbaik dunia, mengakui hal tersebut. Dalam bukunya The McKinsey Mind (buku tersedia di KMOnline Library), Ethan M Rasiel dan Paul N. Friga menyebutkan bahwa “reinventing the wheel” adalah masalah terbesar mereka. Reinventing the wheel adalah istilah yang digunakan ketika kita membuat sesuatu yang sudah pernah dilakukan oleh orang lain. Di dunia bisnis yang mengedepankan efisiensi dan efektivitas, reinventing the wheel adalah masalah besar. Ketika kita mengerjakan sesuatu maka akan lebih baik jika kita tidak mengulang dari awal. Cukup lanjutkan saja apa yang sudah pernah dikerjakan. Hanya dengan itu kita bisa terus melakukan inovasi. Perusahaan sebesar Toyota pun tidak membuat mobil dari mendesain ulang ban, bukan ? Cukup tiru ban yang sudah ada, lalu fokuskan untuk membuat inovasi yang lainnya. Bahkan dunia akademis yang dikenal dengan ketatnya plagiarisme juga membolehkan mencontek dalam batasan tertentu.    

Jadi, jika perusahaan telah melakukan hal yang serupa dengan yang kita lakukan, kenapa harus pusing membuat yang baru? Fokus saja pada menambahkan inovasi dan perbaikan di pekerjaan kita. Itulah esensi sebenarnya dari menghindari reinventing the wheel. Kita seharusnya mengawali pekerjaan dengan mencari tahu pengalaman dan hasil pekerjaan orang lain sebelum kita, kemudian menggunakannya untuk menghasilkan karya baru yang lebih bermanfaat. Masalahnya, kebanyakan dari kita bahkan tidak tahu apa yang sudah dimiliki oleh perusahaan. Padahal jika kita bisa tahu apa yang sebenarnya kita tahu, maka bisnis akan meningkat secara signifikan. Sangking pentingnya pengetahuan yang sudah dimiliki oleh perusahaan dalam mengembangkan bisnis, mantan CEO Hawlett Packard (HP), Lew Platt pernah mengatakan “If HP knew what we knows, we would be three times profitable”. Bayangkan, 3 kali lebih menguntungkan ! Strategi bisnis apa yang bisa memberikan profit sebanyak itu dengan hanya mengetahui apa yang sebenarnya kita tahu ?

Pertanyaannya sekarang berubah, bagaimana cara perusahaan tahu apa yang sebenarnya dimiliki perusahaan? Saya ingin menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan lainnya. Dimana pengetahuan perusahaan berada ? Jawabannya tentu saja manusia (people). Aset perusahaan terbesar ada disana yang bernama intangible asset dan manusia yang menguasai pengetahuan tersebut biasa disebut sebagai Subject Matter Expert (SME). Pengetahuan hanya bisa digunakan oleh manusia, dikembangkan oleh manusia dan tentu saja menjadi milik manusia. Jadi cara paling mudah untuk mengetahui apa yang perusahaan ketahui adalah dengan mengalirkan pengetahuan yang ada di kepala SME itu. Dan sepengetahuan saya, yang diamini oleh sebagian besar pakar dibidang ini, ialah dengan cara knowledge sharing (berbagi pengetahuan) antara SME.

Sharing pengetahuan merupakan salah satu inisiatif yang paling ampuh dalam memanfaatkan pengetahuan. Mengapa ? Jawabannya singkat saja, karena manusia nyaman berhubungan dengan manusia lainnya. Jika saya tanya apakah anda lebih senang “ngobrol” dengan computer atau ngobrol dengan seseorang yang anda sukai ? Jawabannya bisa iya untuk beberapa orang seperti programmer dan gamers (no offense :)). Tapi bagi sebagian besar kita, jawabannya pasti ngobrol dengan dengan orang yang kita sukai. Sekali lagi, inilah inti dari knowledge sharing. Para SME saling berbagi pengetahuan dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan mereka sendiri. Hanya dengan cara itu, pengetahuan perusahaan yang awalnya ada di kepala masing-masing SME akan mengalir dan akhirnya membuahkan hasil yang berupa efisiensi, inovasi, dan pastinya peningkatan bisnis.

Sekarang kita sudah tahu bahwa pengetahuan itu penting, mengetahui apa yang kita tahu itu lebih penting, pengetahuan ada di kepala manusia, khususnya SME, dan cara mengetahui apa yang kita tahu ialah dengan knowledge sharing. Sekarang pertanyaannya ialah, bagaimana kita melakukan knowledge sharing ? Banyak cara yang sudah terbukti efektif untuk knowledge sharing. Kita pun sadar atau tidak telah menerapkannya dalam kehidupan kita. Mulai dari yang paling mudah, yaitu ngobrol, diskusi, kuliah. Dalam pekerjaan kita melakukan kerja dalam tim, task force (gugus kerja), internship (magang), dan mentoring. Hingga bentuk yang lebih kompleks seperti Community of Practice. Pendekatan yang digunakan pun beragam, mulai dari yang paling sederhana seperti knowledge flow SECI(Socialization-Externalization-Combination-Internalization)-nya Nonaka dan Takeuchi, ATM (Amati Tiru Modifikasi)-nya murid SMK, Knowledge CafĂ©-nya David Gurteen, Knowledge-based Strategy-nya Karl Erick Sveiby hingga yang rumit-rumit dari para akademisi.  Banyak cara dan pendekatan yang bisa kita gunakan. Tapi pendekatan yang paling saya rekomendasikan ialah pendekatan melalui komunitas (community bases approach). Masih ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab dari artikel ini sebenarnya, seperti bagaimana mengimplementasikan knowledge sharing di perusahaan ? permasalahan apa yang sering muncul ketika menerapkan knowledge sharing ? mengapa ada perusahaan yang berhasil menerapkan knowledge sharing dan perusahaan yang gagal ? serta masih banyak pertanyaan lainnya. Kita akan simpan pertanyaan ini sebagai bahan tulisan kedepannya.

Kembali ke proposal project yang saya jadikan contoh di awal. Setelah diskusi dan minta izin ke rekan kerja, saya melanjutkan pembuatan proposal project. Inilah yang saya lakukan. Lihat apa yang sudah rekan kerja lakukan, ambil yang saya butuhkan, gunakan pola pikir yang sudah ada, tambahkan hal-hal yang masih belum maksimal dan Voila ! Jadilah proposal project yang sangat lengkap dan siap digunakan. Hasilnya ? Tentu saja kami memenangkan tender tersebut :)

Saturday, June 2, 2012

Knowledge Management dan Strategi Bisnis



Klien : Kami sudah mengetahui dan mendengar tentang Knowledge Management. Saat ini kami sedang fokus untuk mengembangkan bisnis kami melalui serangkaian strategi bisnis. Dan sayangnya Knowledge Management belum menjadi prioritas kami.

Konsultan : Terima kasih atas waktunya. Kehadiran kami disini memang untuk hal tersebut. Kami ingin membantu perusahaan ini dalam mengembangkan bisnis. Kami setuju bahwa prioritas utama ialah mengembangkan bisnis melalui strategi bisnis. Kita akan menggunakan Knowledge Management sebagai kunci utama dalam mensukseskan strategi bisnis tersebut


Itulah rangkuman diskusi yang antara tim kami dengan Board of Director salah satu BUMN terbaik di bidang Inspeksi. Ada yang aneh ? Ya, perkataan Board of Director tersebut adalah pandangan sebagian besar dari kita terhadap Knowledge Management. Inisiatif Knowledge Management adalah bagian terpisah dari strategi bisnis yang urgensinya tidak terlalu penting dibandingkan dengan menyusun strategi bisnis, mensosialisasikannya ke seluruh karyawan dan tentu saja melaksanakannya untuk mencapai bisnis yang lebih besar lagi. Disinilah kesalahan bermula.

Knowledge Management bukanlah bagian yang terpisah dari strategi bisnis. Justru sebaliknya, Knowledge Management adalah bagian terpenting dari strategi bisnis. Pandangan yang salah tersebut salah satunya disebabkan karena definisi dan pemahaman Knowledge Management yang hanya terfokus pada pengelolaan pengetahuan dimana pengetahuan itu sendiri dianggap sebagai dokumen, prosedur atau sistem penyimpanan pengetahuan (knowledge repository system). Knowledge Management yang seperti itu lebih dikenal dengan KM 1.0 dan sayangnya memang sudah diakui sebagai bentuk Knowledge Management yang gagal (penjelasan lebih lanjut tentang KM 1.0 ada di sini).

Knowledge Management sejatinya adalah peningkatan nilai tambah. Ada sebuah definisi Knowledge Management dari Karl Erik Sveiby yang menarik untuk disimak :


“The art creating value by leveraging intangible asset”



Knowledge Management adalah seni menciptakan nilai tambah dengan meningkatkan intangible asset. Jadi kata kuncinya ialah nilai tambah (value). Knowledge Management yang tidak berfokus pada nilai tambah bukanlah Knowledge Management yang benar. Nilai tambah akan selalu dan pasti menjadi dasar dari apapun yang dilakukan Knowledge Management. Semua yang dilakukan oleh Knowledge Management harus memiliki nilai tambah, entah itu berupa sharing, repository, community of practice, knowledge mapping atau apapun itu. Dan karena perusahaan adalah sebuah organisasi yang menjual nilai tambah, maka Knowledge Management adalah strategi bisnis yang paling tepat untuk mengembangkan perusahaan.

Ketika kita berbicara tentang intangible asset maka fokus utamanya ialah dua komponen paling penting, yaitu sumber daya manusia (people) dan pengetahuan (knowledge). Manusia adalah faktor kritis dalam menjalankan suatu bisnis. Kok bisa ? Mudah saja, bisnis mana yang berjalan tanpa manusia ? Saya yakin tidak ada, bahkan perusahaan yang sudah secara penuh menggunakan mesin sekalipun butuh manusia untuk merawat mesin tersebut. Terlepas dari mesin itu sendiri buatan manusia :). Banyak kasus ketika seorang pegawai pindah atau tidak ada, bisnis tidak bisa berjalan. Yang perlu diperhatikan bahwa bukan manusia biasa yang bisa menentukan sukses atau tidaknya suatu bisnis, tetapi manusia yang punya kompetensi dan pengetahuan. Apa yang membedakan seorang Office Boy dengan Direksi ? Gampang, pengetahuan dan pengalamannya. Itulah mengapa gaji Direksi lebih tinggi dari Office Boy. Direksi punya pengetahuan yang dapat memberikan nilai tambah lebih besar dari Office Boy sehingga wajar kalau gajinya lebih besar. Jelas bahwa yang menjadi faktor kritis dari perusahaan ialah manusia (people) dan pengetahuan (knowledge).  

Kalau mau bahas hubungan manusia dan pengetahuan, saya butuh lebih banyak halaman lagi. Jadi kita tinggalkan sejenak pembahasan manusia dan pengetahuan. Kita kembali ke fokus awal tentang Knowledge Management dan strategi bisnis. Ketika perusahaan menjalankan bisnis, apa yang paling dibutuhkan selain produk, fasilitas, dan sistem ? Jawabannya sudah jelas, pengetahuan. Saya akan menjelaskan ini dengan contoh kasus, yaitu ketika saya bekerja di salah satu perusahaan distributor yang bergerak dibidang pharmaceutical.


Saat itu kami menjadi perwakilan suatu produk dari perusahaan Prancis yang berfokus dalam pemanis alami berbahan dasar Thaumatin. Produk itu sendiri merupakan inovasi dalam bidangnya dan memiliki pangsa pasar yang terbuka untuk produk-produk makanan dan pharmaceutical. Karena produk ini sendiri merupakan inovasi, ketika dikenalkan di pasar, kami agak kesulitan untuk meyakinkan beberapa client kami. Alasannya karena produk ini tidak memberikan hasil yang maksimal ketika diaplikasikan. Ada saja masalahnya, mulai dari rasa yang tidak muncul, ada endapan, larutan tidak stabil dan sebagainya. Produk ini pun kelihatannya tidak akan bertahan lama. Tetapi karena keyakinan yang besar dari principal kami, maka terobosan dilakukan. Didatangkanlah ahli dari perusahaan Perancis tersebut. Setelah serangkaian perjalanan dan diskusi dengan klien, masalahnya diketahui. Salah satunya ialah karena teknik aplikasi produk itu sendiri. Dan seperti yang telah diduga. Produk itu berhasil. Terakhir sebelum saya resign dari perusahaan tersebut, produk ini menjadi salah satu kunci utama keberhasilan tim kami.

Apa pelajaran yang bisa kita ambil ? Bahkan sebuah produk yang bagus, inovatif dan bermanfaat tidak bisa digunakan tanpa pengetahuan yang memadai. Dalam kasus ini, pengetahuan tentang aplikasi produk. Lihat bagaimana pentingnya pengetahuan. Tanpa pengetahuan, bisnis tidak akan berkembang dan dengan pengetahuan pula bisnis bisa berkembang. Fakta ini yang menjadi awal dari Knowledge Management. Tahapan awal yang harus dilakukan perusahaan ialah mengidentifikasi pengetahuan penting. Definisi pengetahuan penting sangat mudah, yaitu pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjalankan bisnis dan tanpa adanya pengetahuan tersebut, bisnis tidak akan berjalan. Artinya, pengetahuan yang harus diidentifikasi harus bersifat strategis dan sesuai dengan proses bisnis perusahaan. Metode yang biasa digunakan dalam identifikasi pengetahuan penting ialah Knowledge Mapping (pemetaan pengetahuan). Kita simpan pembahasan Knowledge Mapping untuk artikel lainnya 

Singkatnya ialah bahwa jika kita ingin melakukan bisnis maka langkah paling awal adalah penguasaaan terhadap pengetahuan penting bisnis tersebut. Hubungan ini lebih dikenal sebagai Knowledge – Strategy Link. Lalu bagaimana jika kita ingin mengembangkan bisnis ? Tahapan awal pasti dengan menyusun strategi yang dapat mencapai tujuan bisnis tersebut. Dan bagaimana cara menerapakan strategi tersebut ? Anda pasti tahu jawabannya. Tentu saja dengan menguasai pengetahuan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan strategi itu. Ini yang lebih dikenal sebagai Strategy – Knowledge Link. Untuk lebih mudahnya saya akan jelaskan melalui gambar berikut :



Ketika kita melihat gambar tersebut akan semakin jelas kemana arahan Knowledge Management selanjutnya. Berawal dari bisnis yang sudah berjalan saat ini (current bussines result), kita membutuhkan pengetahuan untuk melakukan bisnis tersebut (current competencies). Jika kita ingin mengembangkan bisnis dengan menyusun target baru (new business target) maka ada kesenjangan (gap) yang muncul. Ini disebut strategy gap. Ketika ada target bisnis baru, maka pasti ada kebutuhan pengetahuan baru (competencies required by business) yang harus dimiliki untuk melakukan bisnis baru. Dari sinilah muncul kesenjangan (gap) antara pengetahuan yang sudah ada dengan kebutuhan pengetahuan baru. Ini yang kita sebut sebagai knowledge gap.  

Inilah kerangka berpikir yang menjadi dasar dari Knowledge Management. Pengetahuan (knowledge) harus sesuai dengan kebutuhan bisnis dan pengembangan pengetahuan pun harus sesuai dengan strategi pengembangan bisnis. Dengan pola pikir ini, Knowledge Management akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan atau organisasi. Dasar pemikiran ini pula yang menjadi acuan untuk menjawab pertanyaan seberapa penting Knowledge Management bagi perusahaan. Karena pengetahuan sebagai aset utama bagi perusahaan, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan pengetahuan (knowledge management) menjadi penting dan strategis.  

Jadi, pertanyaannya sekarang ialah, kapan kita harus menerapkan Knowledge Management ? Saya akan menjawabnya dengan testimonial yang disampaikan oleh Board of Director dari perusahaan yang kita bahas di awal.

“Awalnya kami mengira Knowledge Management hanyalah ide bagus, tetapi Anda meyakinkan kami bahwa Knowledge Management berguna bagi bisnis dan sejak itu kami telah dibantu  dalam berbagai implementasi Knowledge Management. Tidak hanya itu, Anda membuktikan pada kami bahwa Knowledge Management memang untuk bisnis !.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...