Komunitas seperti apa yang harus dikembangkan ? Apa perbedaan komunitas
dengan gugus kerja (task force) dan meeting ? Bagaimana mengaitkan komunitas
dengan kebutuhan organisasi ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah bahan
obrolan kita di artikel kali ini. Lets
lay it down one at a time.
Komunitas seperti apa yang harus
dikembangkan ?
Bisnis memerlukan komunitas. Kita sudah membahas alasan tersebut di
artikel sebelumnya. Tetapi komunitas seperti apa ? Komunitas arisan bulanan ? Para
bikers dan goweser ? Atau kumpul-kumpul ahli hisap alias perokok di warung
kopi lantai basement kantor ? Jangan
salah, contoh-contoh tersebut adalah bentuk komunitas juga. Kita menyebut
komunitas hobi tersebut sebagai Community
of Interest (CoI). Komunitas sosial yang cenderung terkait
erat dengan pertemanan dan kesamaan minat.
Bagi bisnis, komunitas tersebut tidak banyak berguna selain untuk memberikan
apresiasi hobi karyawan dan memperet hubungan sosial. Tapi dampaknya untuk
bisnis ? Peningkatan nilai tambah dan penciptaan inovasi ? Seperti kita tahu,
bisnis selalu menuntut profit dan profit hanya bisa dihasilkan melalui nilai
tambah. Oleh karena itu, komunitas yang dikembangkan di bisnis haruslah
memiliki hasil akhir berupa peningkatan nilai tambah dan inovasi.
Lalu komunitas apa yang harus dikembangkan ? Salah satu solusinya apa
yang kita sebut sebagai
Community of
Practice (CoP). Seperti namanya, CoP terdiri dari para praktisi dan
individu yang memiliki sesuatu untuk dipraktekkan.
Etienne Wenger, salah seorang
praktisi komunitas yang dikenal sebagai Bapak CoP memberikan definisi yang
lebih jelas, yaitu
“Communities of practice (CoP) are groups of
people who share a concern or a passion for something they do and learn how to
do it better as they interact regularly”.
Menurut Wenger dasar dari semua komunitas, khususnya CoP, ialah
kebutuhan untuk belajar dan kesamaan minat terhadap suatu permasalahan. Tanpa
keinginan untuk belajar dari diri sendiri dan kesamaan minat anggotanya, sebuah
komunitas tidak akan berlangsung lama. Bahasa mudahnya ialah komunitas harus
memiliki sesuatu yang menarik orang lain diluar anggota, sesuatu yang dapat
bermanfaat bagi mereka dan tidak hanya sekedar berkumpul atau bersosialisasi.
Kesamaan minat ini bisa berupa profesi, kompetensi, pengetahuan, spesialisasi,
hubungan social, atau pengembangan jaringan. Roan Yong dalam bukunya
Social Collaboration mengatakan, “
a smarter way
to get sustained collaboration is, to align individual’s interest with the
bigger objective”. Pada akhirnya, kunci dari komunitas yang terus tumbuh
dan berkembang ialah pada keselarasan minat anggotanya untuk mencapai tujuan
yang lebih besar. Dan itulah PR besar kita para
KMers.
Topik yang menarik lainnya ialah bagaimana sebenarnya sebuah CoP
berjalan dan berinteraksi. Untuk menjelaskan lebih detail interaksi CoP, saya
mengutip definisi dari Wikipedia.
“The process of social learning
that occurs when people who have a common interest in some subject or problem
collaborate over an extended period to share ideas, find solutions, and build
innovations.”
CoP adalah sebuah proses belajar dengan konsep sosial. Bingung ? Berikut
contoh sederhananya. Anda pasti pernah belajar kelompok. Biasanya kita belajar
kelompok ketika ada PR yang sangat sulit atau ketika mau ujian. Kenapa kita
belajar kelompok ? Untuk kasus ketika mau ujian, kita belajar kelompok karena
tidak mengerti apa yang diajarkan dosen di kelas. Dengan belajar kelompok,
teman-teman yang lain akan menjelaskan materi-materi yang tidak dimengerti dan
entah bagaimana pelajaran yang tampaknya susah di kelas, menjadi mudah. Ketika
belajar kelompok, tidak ada satu orang yang secara khusus menjadi guru. Semua ikut
serta, dan saling membantu menjelaskan satu sama lain. Kita juga tidak malu
untuk secara spontan bertanya dan minta penjelasan lebih jika ada yang tidak
dimengerti. Suasana belajar pun lebih menyenangkan karena kita bersama
teman-teman yang sudah dikenal dengan baik.
Inilah maksud dari belajar secara sosial. Alasan mengapa kita bisa
dengan nyaman bertanya tanpa takut atau meminta penjelasan yang lebih lambat
karena ada kedekatan sosial dan emosi antara anggota kelompok. Kita bisa
belajar dengan cepat dan mau saling berbagi ilmu karena tingkat kepercayaan
yang tinggi antara satu sama lain. Selain itu, kita juga merasa ada kesamaan
derajat. Sama-sama siswa yang berusaha mendapatkan nilai bagus di ujian nanti,
bukan guru yang posisinya lebih tinggi dan biasanya ditakuti. Selain itu,
interaksi sosial yang baik selama proses belajar kelompok juga menentukan keberhasilan
belajar tersebut. Bayangkan jika ada satu orang anggota yang terlalu
mendominasi dan menjadi “guru galak” baru. Belajar kelompok yang awalnya
menyenangkan akan berubah menjadi kelas yang membosankan dan tidak efektif.
Atau ada salah seorang anggota karena malas malah mengajak yang lain
jalan-jalan ke mall daripada belajar. Fokus yang awalnya untuk mendapatkan
nilai bagus di ujian, menjadi terpecah oleh godaan film bioskop terbaru.
Hal yang sama dengan CoP. Keberhasilan sebuah komunitas sangat
tergantung terhadap hubungan sosial antar anggotanya yang dibangun atas tingkat
kepercayaan, kesamaan tujuan dan minat, serta kesetaraan (equality) antara masing-masing anggotanya. Hanya jika syarat
tersebut terpenuhi, CoP dapat berjalan dengan baik, terus berlanjut, dan
memberikan nilai tambah bagi anggotanya.
Apa perbedaan komunitas dengan
gugus kerja (task force) dan meeting
?
Pertanyaan ini sering sekali saya dengar dari klien kami. Sebagai sebuah
organisasi berbasis profit, bisnis sudah memiliki mekanisme untuk menyelesaikan
masalah dan menciptakan inovasi. Bentuknya bisa spontanitas seperti meeting
atau struktur fungsional organisasi seperti departemen dan gugus kerja (task force). Komunitas membawa itu semua
ke tingkatan yang lebih tinggi.
Banyak sumber yang menerangkan tentang perbedaaan komunitas, dalam hal
ini CoP dengan struktur fungsional. Saya mengambil salah satunya menurut David
Gurteen :
Perbedaan-perbedaan tersebut berdampak pada perbedaan interaksi antara
CoP dan Task Force. Karena didasarkan pada suasana informal, santai, tidak
adanya keterikatan dan tingkat kepercayaan anggota yang tinggi, kualitas
pengetahuan yang dibagi juga berbeda. Sama seperti kerja kelompok dan kelas
yang menegangkan, kita seringkali merasa takut untuk berbicara dan mengeluarkan
isi pikiran dalam forum yang sifatnya formal dan terstruktur seperti meeting atau task force. Ada ketakutan akan berbuat salah, kehilangan “muka”
dihadapan atasan, ketakutan akan mempermalukan diri sendiri, ketakutan akan
dihakimi oleh rekan kerja serta pikiran negatif lainnya.
Inilah yang membuat ide, kreatifitas dan inovasi terhambat. Hal ini yang
disadari oleh banyak praktisi manajemen dan mereka pun mengembangkan apa yang
kita biasa sebut sebagai team engagement.
Tujuannya jelas, meningkatkan kepercayaan (trust)
agar ketakutan-ketakutan tersebut dapat diminimalisir. Akan tetapi, walaupun team engagement sudah sangat baik
sekalipun, ada alasan lain mengapa struktur fungsional tidak bisa mengalahkan
komunitas. Bagaimanapun juga, task force
dan sejenisnya dibuat dengan perspektif formalitas dan dalam lingkup
organisasi. Task force memiliki
keuntungan lebih dalam hal ini karena adanya alokasi sumberdaya yang bisa
berupa data, kekuatan untuk mengambil keputusan, mekanisme terstruktur dan
organisasi yang jelas. Tetapi hal ini pula yang menyebabkan task force, bahkan dengan tingkat team engagement tertinggi pun tidak bisa
mengalahkan komunitas. Segala sesuatu yang dibentuk dengan pendekatan dan pola
pikir formal akan menghasilkan kekakuan dan interaksi yang menuntut struktur
serta hasil yang bisa dipertanggung jawabkan.
Pada akhirnya, interaksi yang
terjalin pun akan menimbulkan ketakutan dan tekanan-tekanan bagi anggotanya
yagn menghambat proses belajar dan penciptaan nilai tambah. Ini mengapa sebelum
memulai komunitas kita perlu melihat tujuan yang akan dicapai. Jika tujuannya
untuk menyelesaikan pekerjaan dan mencapai target, maka bentuklah task force dan maksimalkan team engagement di dalamnya. Tetapi
pilihlah komunitas jika tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan, kompetensi
dan efektifitas pelaksanaan pekerjaan. Komunitas hanya cocok digunakan jika
anda tidak mengharapkan hasil (produk atau jasa) secara cepat. Komunitas bisa
memberikan hasil secara cepat hanya jika sudah dewasa dan untuk mencapai
tingkat kedewasaan tersebut membutuhkan waktu dan investasi yang tidak sedikit.
Keunggulan komunitas seperti CoP juga terletak pada fanatisme anggotanya.
Komunitas yang sudah dewasa akan memiliki anggota yang sangat berdedikasi.
Mereka terikat dan rela melakukan apa saja bagi komunitasnya. Bahkan pada level
tertinggi dan bagi beberapa orang, komunitas menjadi lebih penting dari
pekerjaan itu sendiri. Anda mungkin sering melihat ada beberapa rekan kerja
yang tetap datang ke kantor lama mereka hanya sekedar untuk berkumpul dengan
komunitasnya. Mereka tidak datang untuk bertemu dengan mantan bos atau mantan
bawahan. Mereka datang karena keterikatannya pada komunitas.
Fenomena ini sebenarnya bisa dijelaskan dari motif pembentukan
komunitas. Sebagai sebuah inisiatif, anggota komunitas memilki motif yang berbeda
dari task force atau struktur fungsional lainnya. Komunitas terbentuk karena
adanya kebutuhan pada aktualisasi diri dan penghargaan. Ingat Teori Kebutuhan
Manusia Abraham Maslow ? Yup, aktualisasi diri ada pada tingkat pertama, jauh
diatas kebutuhan fisik seperti uang dan sejenisnya. Ada buku menarik dari Dan
Pink berjudul
Drive. Buku tersebut menjelaskan bahwa ternyata uang pada tahapan
tertentu bukan yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu. Jika membaca buku
dirasa terlalu lama, ada sebuah video di YouTube yang menjelaskan intisari buku
tersebut. Silahkan lihat
disini
Bagaimana mengaitkan komunitas
dengan kebutuhan organisasi ?
Pertanyaan ini membuat kita kembali ke jenis komunitas yang dibahas
sebelumnya. Secara umum, komunitas dibagi menjadi dua, yaitu komunitas yang
berdasarkan minat dan hobi (Community of
Interest) dan komunitas yang dibangun karena kebutuhan terhadap peningkatan
kompetensi dan pengetahuan (Community of
Practice). Sebenarnya kedua jenis komunitas ini memiliki dasar sama, yaitu
kesamaan minat dan kesukaan (preferences).
Yang membedakannya ialah dampaknya pada pekerjaan. Anggota Community of Interest (CoI) memiliki kesamaan minat pada sesuatu
yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Biasanya berupa hobi, kebutuhan
sosial atau spiritualitas, seperti sepeda, fotografi, dan sejenisnya. Community of Practice lebih fokus pada
topik-topik yang berkaitan dengan pekerjaan dan bagaimana melakukan pekerjaan
dengan lebih baik lagi. Oleh kerena itu, sebuah komunitas digolongkan sebagai
CoI atau CoP sangat tergantung pada bisnis apa yang dikerjakan oleh anggota
komunitas tersebut.
Seperti ini mudahnya. Komunitas fotografi bagi akan menjadi CoI ketika
anggotanya ialah karyawan bank tetapi menjadi CoP ketika anggotanya adalah
karyawan perusahaan pembuat kamera atau distributornya. Topik diskusi adalah
faktor kritis dalam mengaitkan komunitas dengan kebutuhan organisasi. Apapun
diskusi dan sharing pengetahuan yang
terjadi dalam komunitas tersebut harus mengacu pada topik diskusi yang sudah
ditentukan oleh komunitas sebelumnya. Di komunitas fotografi misalnya. Walaupun
ada sepeda yang dibawa ke komunitas, anggotanya tidak akan membahas setting sepeda apa yang cocok untuk downhill tapi angle dan teknik fotografi yang dapat menghasilkan foto sepeda
paling menarik.
Sebagai manajemen, ada 3 peran organisasi yang paling penting, yaitu mengidentifikasi pengetahuan penting yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja
dan menghasilkan nilai tambah. Selanjutnya organisasi mendukung pengembangan CoP yang fokus
membahas pengetahuan penting tersebut. Tidak lupa organisasi
bisnis perlu memantau apakah topik diskusi sejalan dengan
pengetahuan penting.
Nilai tambah anda dan organisasi ialah pada bagaimana menciptakan CoP
yang siap menjalankan diskusi tersebut. Walaupun banyak orang menganggap
membuat komunitas seperti CoP adalah hal yang mudah, believe me that’s the hardest way to execute. Anda bisa menciptakan
sistem, membuat prosedur dan instruksi kerja bahkan membangun sistem IT yang
sangat canggih tetapi anda tidak bisa mengatur manusia. Jika membuat sistem,
prosedur dan teknologi anda memiliki start
date dan end date maka ketika
berhubungan dengan manusia yang terjadi adalah ada start date selanjutnya is
dead :).
Tantangannya kini menjadi bertambah. Bagaimana sebuah organisasi bisnis
yang formal dan penuh dengan target mengembangkan komunitas seperti CoP dengan
sifat yang sangat bertolak belakang. Wenger menyebutnya sebagai Sponsored CoP. Kuncinya ialah pada
bagaimana anda memandang CoP tersebut. Wenger menyebutkan pandangannya dalam
hal ini. “The work of organizational
supporting is not to formalize them by making them follow procedures or meet
efficiency goals, but rather to strengthen them as informal entities”.
Saya akan lebih banyak membahas tentang
Sponsored CoP dan bagaimana memulainya di
artikel selanjutnya.
0 comments:
Post a Comment