Wednesday, October 3, 2012

Ngobrol tentang Community of Practice (CoP) Part 1



Komunitas seperti apa yang harus dikembangkan ? Apa perbedaan komunitas dengan gugus kerja (task force) dan meeting ? Bagaimana mengaitkan komunitas dengan kebutuhan organisasi ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah bahan obrolan kita di artikel kali ini. Lets lay it down one at a time.

Komunitas seperti apa yang harus dikembangkan ?
Bisnis memerlukan komunitas. Kita sudah membahas alasan tersebut di artikel sebelumnya. Tetapi komunitas seperti apa ? Komunitas arisan bulanan ? Para bikers dan goweser ? Atau kumpul-kumpul ahli hisap alias perokok di warung kopi lantai basement kantor ? Jangan salah, contoh-contoh tersebut adalah bentuk komunitas juga. Kita menyebut komunitas hobi tersebut sebagai Community of Interest (CoI). Komunitas sosial yang cenderung terkait erat dengan pertemanan dan kesamaan minat.

Bagi bisnis, komunitas tersebut tidak banyak berguna selain untuk memberikan apresiasi hobi karyawan dan memperet hubungan sosial. Tapi dampaknya untuk bisnis ? Peningkatan nilai tambah dan penciptaan inovasi ? Seperti kita tahu, bisnis selalu menuntut profit dan profit hanya bisa dihasilkan melalui nilai tambah. Oleh karena itu, komunitas yang dikembangkan di bisnis haruslah memiliki hasil akhir berupa peningkatan nilai tambah dan inovasi. 

Lalu komunitas apa yang harus dikembangkan ? Salah satu solusinya apa yang kita sebut sebagai Community of Practice (CoP). Seperti namanya, CoP terdiri dari para praktisi dan individu yang memiliki sesuatu untuk dipraktekkan. Etienne Wenger, salah seorang praktisi komunitas yang dikenal sebagai Bapak CoP memberikan definisi yang lebih jelas, yaitu

Communities of practice (CoP) are groups of people who share a concern or a passion for something they do and learn how to do it better as they interact regularly”.

Menurut Wenger dasar dari semua komunitas, khususnya CoP, ialah kebutuhan untuk belajar dan kesamaan minat terhadap suatu permasalahan. Tanpa keinginan untuk belajar dari diri sendiri dan kesamaan minat anggotanya, sebuah komunitas tidak akan berlangsung lama. Bahasa mudahnya ialah komunitas harus memiliki sesuatu yang menarik orang lain diluar anggota, sesuatu yang dapat bermanfaat bagi mereka dan tidak hanya sekedar berkumpul atau bersosialisasi. Kesamaan minat ini bisa berupa profesi, kompetensi, pengetahuan, spesialisasi, hubungan social, atau pengembangan jaringan. Roan Yong dalam bukunya Social Collaboration mengatakan, “a smarter way to get sustained collaboration is, to align individual’s interest with the bigger objective”. Pada akhirnya, kunci dari komunitas yang terus tumbuh dan berkembang ialah pada keselarasan minat anggotanya untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Dan itulah PR besar kita para KMers

Topik yang menarik lainnya ialah bagaimana sebenarnya sebuah CoP berjalan dan berinteraksi. Untuk menjelaskan lebih detail interaksi CoP, saya mengutip definisi dari Wikipedia.

“The process of social learning that occurs when people who have a common interest in some subject or problem collaborate over an extended period to share ideas, find solutions, and build innovations.” 

CoP adalah sebuah proses belajar dengan konsep sosial. Bingung ? Berikut contoh sederhananya. Anda pasti pernah belajar kelompok. Biasanya kita belajar kelompok ketika ada PR yang sangat sulit atau ketika mau ujian. Kenapa kita belajar kelompok ? Untuk kasus ketika mau ujian, kita belajar kelompok karena tidak mengerti apa yang diajarkan dosen di kelas. Dengan belajar kelompok, teman-teman yang lain akan menjelaskan materi-materi yang tidak dimengerti dan entah bagaimana pelajaran yang tampaknya susah di kelas, menjadi mudah. Ketika belajar kelompok, tidak ada satu orang yang secara khusus menjadi guru. Semua ikut serta, dan saling membantu menjelaskan satu sama lain. Kita juga tidak malu untuk secara spontan bertanya dan minta penjelasan lebih jika ada yang tidak dimengerti. Suasana belajar pun lebih menyenangkan karena kita bersama teman-teman yang sudah dikenal dengan baik.

Inilah maksud dari belajar secara sosial. Alasan mengapa kita bisa dengan nyaman bertanya tanpa takut atau meminta penjelasan yang lebih lambat karena ada kedekatan sosial dan emosi antara anggota kelompok. Kita bisa belajar dengan cepat dan mau saling berbagi ilmu karena tingkat kepercayaan yang tinggi antara satu sama lain. Selain itu, kita juga merasa ada kesamaan derajat. Sama-sama siswa yang berusaha mendapatkan nilai bagus di ujian nanti, bukan guru yang posisinya lebih tinggi dan biasanya ditakuti. Selain itu, interaksi sosial yang baik selama proses belajar kelompok juga menentukan keberhasilan belajar tersebut. Bayangkan jika ada satu orang anggota yang terlalu mendominasi dan menjadi “guru galak” baru. Belajar kelompok yang awalnya menyenangkan akan berubah menjadi kelas yang membosankan dan tidak efektif. Atau ada salah seorang anggota karena malas malah mengajak yang lain jalan-jalan ke mall daripada belajar. Fokus yang awalnya untuk mendapatkan nilai bagus di ujian, menjadi terpecah oleh godaan film bioskop terbaru. 

Hal yang sama dengan CoP. Keberhasilan sebuah komunitas sangat tergantung terhadap hubungan sosial antar anggotanya yang dibangun atas tingkat kepercayaan, kesamaan tujuan dan minat, serta kesetaraan (equality) antara masing-masing anggotanya. Hanya jika syarat tersebut terpenuhi, CoP dapat berjalan dengan baik, terus berlanjut, dan memberikan nilai tambah bagi anggotanya.

Apa perbedaan komunitas dengan gugus kerja (task force) dan meeting ?
Pertanyaan ini sering sekali saya dengar dari klien kami. Sebagai sebuah organisasi berbasis profit, bisnis sudah memiliki mekanisme untuk menyelesaikan masalah dan menciptakan inovasi. Bentuknya bisa spontanitas seperti meeting atau struktur fungsional organisasi seperti departemen dan gugus kerja (task force). Komunitas membawa itu semua ke tingkatan yang lebih tinggi. 

Banyak sumber yang menerangkan tentang perbedaaan komunitas, dalam hal ini CoP dengan struktur fungsional. Saya mengambil salah satunya menurut David Gurteen :


Perbedaan-perbedaan tersebut berdampak pada perbedaan interaksi antara CoP dan Task Force. Karena didasarkan pada suasana informal, santai, tidak adanya keterikatan dan tingkat kepercayaan anggota yang tinggi, kualitas pengetahuan yang dibagi juga berbeda. Sama seperti kerja kelompok dan kelas yang menegangkan, kita seringkali merasa takut untuk berbicara dan mengeluarkan isi pikiran dalam forum yang sifatnya formal dan terstruktur seperti meeting atau task force. Ada ketakutan akan berbuat salah, kehilangan “muka” dihadapan atasan, ketakutan akan mempermalukan diri sendiri, ketakutan akan dihakimi oleh rekan kerja serta pikiran negatif lainnya.

Inilah yang membuat ide, kreatifitas dan inovasi terhambat. Hal ini yang disadari oleh banyak praktisi manajemen dan mereka pun mengembangkan apa yang kita biasa sebut sebagai team engagement. Tujuannya jelas, meningkatkan kepercayaan (trust) agar ketakutan-ketakutan tersebut dapat diminimalisir. Akan tetapi, walaupun team engagement sudah sangat baik sekalipun, ada alasan lain mengapa struktur fungsional tidak bisa mengalahkan komunitas. Bagaimanapun juga, task force dan sejenisnya dibuat dengan perspektif formalitas dan dalam lingkup organisasi. Task force memiliki keuntungan lebih dalam hal ini karena adanya alokasi sumberdaya yang bisa berupa data, kekuatan untuk mengambil keputusan, mekanisme terstruktur dan organisasi yang jelas. Tetapi hal ini pula yang menyebabkan task force, bahkan dengan tingkat team engagement tertinggi pun tidak bisa mengalahkan komunitas. Segala sesuatu yang dibentuk dengan pendekatan dan pola pikir formal akan menghasilkan kekakuan dan interaksi yang menuntut struktur serta hasil yang bisa dipertanggung jawabkan. 

Pada akhirnya, interaksi yang terjalin pun akan menimbulkan ketakutan dan tekanan-tekanan bagi anggotanya yagn menghambat proses belajar dan penciptaan nilai tambah. Ini mengapa sebelum memulai komunitas kita perlu melihat tujuan yang akan dicapai. Jika tujuannya untuk menyelesaikan pekerjaan dan mencapai target, maka bentuklah task force dan maksimalkan team engagement di dalamnya. Tetapi pilihlah komunitas jika tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan, kompetensi dan efektifitas pelaksanaan pekerjaan. Komunitas hanya cocok digunakan jika anda tidak mengharapkan hasil (produk atau jasa) secara cepat. Komunitas bisa memberikan hasil secara cepat hanya jika sudah dewasa dan untuk mencapai tingkat kedewasaan tersebut membutuhkan waktu dan investasi yang tidak sedikit.  

Keunggulan komunitas seperti CoP juga terletak pada fanatisme anggotanya. Komunitas yang sudah dewasa akan memiliki anggota yang sangat berdedikasi. Mereka terikat dan rela melakukan apa saja bagi komunitasnya. Bahkan pada level tertinggi dan bagi beberapa orang, komunitas menjadi lebih penting dari pekerjaan itu sendiri. Anda mungkin sering melihat ada beberapa rekan kerja yang tetap datang ke kantor lama mereka hanya sekedar untuk berkumpul dengan komunitasnya. Mereka tidak datang untuk bertemu dengan mantan bos atau mantan bawahan. Mereka datang karena keterikatannya pada komunitas.

Fenomena ini sebenarnya bisa dijelaskan dari motif pembentukan komunitas. Sebagai sebuah inisiatif, anggota komunitas memilki motif yang berbeda dari task force atau struktur fungsional lainnya. Komunitas terbentuk karena adanya kebutuhan pada aktualisasi diri dan penghargaan. Ingat Teori Kebutuhan Manusia Abraham Maslow ? Yup, aktualisasi diri ada pada tingkat pertama, jauh diatas kebutuhan fisik seperti uang dan sejenisnya. Ada buku menarik dari Dan Pink berjudul Drive. Buku tersebut menjelaskan bahwa ternyata uang pada tahapan tertentu bukan yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu. Jika membaca buku dirasa terlalu lama, ada sebuah video di YouTube yang menjelaskan intisari buku tersebut. Silahkan lihat disini

Bagaimana mengaitkan komunitas dengan kebutuhan organisasi ?
Pertanyaan ini membuat kita kembali ke jenis komunitas yang dibahas sebelumnya. Secara umum, komunitas dibagi menjadi dua, yaitu komunitas yang berdasarkan minat dan hobi (Community of Interest) dan komunitas yang dibangun karena kebutuhan terhadap peningkatan kompetensi dan pengetahuan (Community of Practice). Sebenarnya kedua jenis komunitas ini memiliki dasar sama, yaitu kesamaan minat dan kesukaan (preferences). Yang membedakannya ialah dampaknya pada pekerjaan. Anggota Community of Interest (CoI) memiliki kesamaan minat pada sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Biasanya berupa hobi, kebutuhan sosial atau spiritualitas, seperti sepeda, fotografi, dan sejenisnya. Community of Practice lebih fokus pada topik-topik yang berkaitan dengan pekerjaan dan bagaimana melakukan pekerjaan dengan lebih baik lagi. Oleh kerena itu, sebuah komunitas digolongkan sebagai CoI atau CoP sangat tergantung pada bisnis apa yang dikerjakan oleh anggota komunitas tersebut.

Seperti ini mudahnya. Komunitas fotografi bagi akan menjadi CoI ketika anggotanya ialah karyawan bank tetapi menjadi CoP ketika anggotanya adalah karyawan perusahaan pembuat kamera atau distributornya. Topik diskusi adalah faktor kritis dalam mengaitkan komunitas dengan kebutuhan organisasi. Apapun diskusi dan sharing pengetahuan yang terjadi dalam komunitas tersebut harus mengacu pada topik diskusi yang sudah ditentukan oleh komunitas sebelumnya. Di komunitas fotografi misalnya. Walaupun ada sepeda yang dibawa ke komunitas, anggotanya tidak akan membahas setting sepeda apa yang cocok untuk downhill tapi angle dan teknik fotografi yang dapat menghasilkan foto sepeda paling menarik.

Sebagai manajemen, ada 3 peran organisasi yang paling penting, yaitu mengidentifikasi pengetahuan penting yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja dan menghasilkan nilai tambah. Selanjutnya organisasi mendukung pengembangan CoP yang fokus membahas pengetahuan penting tersebut. Tidak lupa organisasi bisnis perlu  memantau apakah topik diskusi sejalan dengan pengetahuan penting.

Nilai tambah anda dan organisasi ialah pada bagaimana menciptakan CoP yang siap menjalankan diskusi tersebut. Walaupun banyak orang menganggap membuat komunitas seperti CoP adalah hal yang mudah, believe me that’s the hardest way to execute. Anda bisa menciptakan sistem, membuat prosedur dan instruksi kerja bahkan membangun sistem IT yang sangat canggih tetapi anda tidak bisa mengatur manusia. Jika membuat sistem, prosedur dan teknologi anda memiliki start date dan end date maka ketika berhubungan dengan manusia yang terjadi adalah ada start date selanjutnya is dead :).

Tantangannya kini menjadi bertambah. Bagaimana sebuah organisasi bisnis yang formal dan penuh dengan target mengembangkan komunitas seperti CoP dengan sifat yang sangat bertolak belakang. Wenger menyebutnya sebagai Sponsored CoP. Kuncinya ialah pada bagaimana anda memandang CoP tersebut. Wenger menyebutkan pandangannya dalam hal ini. “The work of organizational supporting is not to formalize them by making them follow procedures or meet efficiency goals, but rather to strengthen them as informal entities”.

Saya akan lebih banyak membahas tentang Sponsored CoP dan bagaimana memulainya di artikel selanjutnya.


0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...