Apa yang kita tahu tentang Knowledge Management ?

Binatang apa knowledge management itu? Satu hal yang pasti. KM menarik, menyenangkan, berbagi dan paling penting, memberikan nilai tambah.

Apa yang paling penting di organisasi?

Jika kita terlibat di organisasi, apa aset yang paling penting? Fasilitas, komputer, meja atau orang-orang yang berkompetensi di bidangnya? Temukan jawabannya disini

Apakah yang diatas selalu paling hebat?

Dalam organisasi formal yang terdapat atasan, rekan, dan bawahan, terkadang ada beberapa orang yang lebih banyak disukai dan dicari dibandingkan orang lain. Anehnya, orang itu tidak selalu atasan. Terkadang, dia hanya orang biasa. Network Analysis membantu kita mengidentifikasi mereka

Butuh referensi tentang Knowledge Management?

"Ilmu itu hanya milik Tuhan", kata seorang bijak. Jadi, kenapa harus menyimpannya untuk diri sendiri ? Lets share !

About Me

Ok, this section is not important. Tapi jika anda punya semangat dan ketertarikan yang besar dibidang KM, maka kita bisa lebih mengenal.

Wednesday, December 26, 2012

Imbalan Uang dalam Inisiatif KM : Baik atau Buruk ?



Malam itu anda duduk di meja makan keluarga bersama Ayah dan Ibu, serta Kakak dan Adik yang sudah lama tidak bertemu. Tiga tahun lamanya anda berkarier di Jakarta dan setelah sekian lama, semua keluarga bisa berkumpul di rumah tempat anda dibesarkan selama puluhan tahun. Makan malam itu adalah ayam bumbu nanas, salah satu resep andalan Ibu. Tidak lupa sayur bening dan gorengan tempe yang selalu dirindukan. Belum lagi ikan bakar yang masih segar dari pasar di dekat rumah. Sebagai penutup, ada es cendol buatan tetangga yang anda tahu terkenal sangat nikmat. Ibu anda mempersiapkan itu semua demi anak-anaknya yang pulang di liburan panjangnya.

Anda, yang sudah kekenyangan menyantap hidangan rumah itu, tanpa bermaksud buruk, kemudian berkata. “Ibu, terima kasih ya atas makanannya. Berapa aku harus bayar untuk semua makanan ini ? Apakah 300 ribu cukup ? Oh, maaf. Kalau dibandingkan dengan harga makanan di Jakarta seharusnya aku memberi Ibu 400 ribu untuk semua ini. Ini benar-benar makanan terenak yang pernah aku makan selama di Jakarta”.

Semua terdiam. Adegan selanjutnya ialah bencana. Adik anda melotot tajam. Ibu langsung kebelakang sambil menangis sedangkan kakak anda marah sambil mengumpat dan menyebut anda tidak tahu diri, kurang ajar, sombong dan cacian lainnya. Malam reuni keluarga itu pun berubah menjadi pertengkaran sengit.

Apa yang salah dari cerita diatas ? Atau saya perjelas, apa yang salah dari kata-kata anda ? Bukankah anda berniat baik untuk membalas budi Ibu yang sudah memberikan hidangan terbaik ? Jangan salah, anda adalah anak tahu diri yang selalu ingat pada kebaikan dan jasa orang tua. Anda tidak mungkin membalas kebaikan Ibu dengan membelikannya makanan atau membuatkannya masakan yang sama (karena anda memang tidak jago memasak). Di sisi lain, anda adalah seorang professional yang sukses di Jakarta dengan gaji yang jauh lebih dari cukup, lalu apa yang salah dengan membalas itu dengan uang ?

Pertama saya ingin meluruskan, apa yang anda lakukan adalah salah. That’s clearly not a best way to express your gratitude toward mother :). Pertanyaannya adalah, mengapa Ibu anda marah ? Untuk menjawabnya, mari kita ubah sedikit akhir dari cerita ini.

Anda, yang sudah kekenyangan menyantap hidangan rumah itu kemudian berkata, “Ibu, terima kasih atas makan malamnya ya. Ini benar-benar makanan yang paling enak, bahkan dibandingkan dengan semua yang pernah aku makan sebelumnya”. Dan anda berhenti disitu. Tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya tersenyum tulus. Apa reaksi Ibu anda ? Saya jamin, pastilah beliau akan tersipu malu dan bahagia karena anaknya menghargai masakan yang sudah disiapkan dari pagi. Seluruh lelah dan waktu yang digunakan seakan tidak terasa lagi. Makan malam itu pun berakhir bahagia.

Apa yang menarik dari kedua ending tersebut ? Jika kita melihat dari persepektif biaya, maka tindakan yang dilakukan Ibu adalah aneh. Dia sudah bekerja, memasak dan membeli bahan dengan uangnya sendiri untuk kemudian diberikan secara gratis. Anehnya, ketika anda sebagai anak yang tahu diri menawarkan sejumlah uang untuk mengganti usaha yang sudah dilakukan oleh Ibu, justru seluruh keluarga menuding anda tidak tahu diri. Ini aneh. Bukankah justru tidak tahu diri itu adalah ketika anda makan di restoran dan pergi tanpa bayar ? Jika anda membayar makanan yang anda makan kepada orang lain, mengapa tidak melakukan hal yang sama dengan Ibu anda, orang yang paling anda hormati ?

Saya tahu anda pasti menjawab “Karena beliau adalah Ibu, bukan orang lain” Dan benar, itulah kata kunci yang akan memulai artikel tentang mengapa uang, pada beberapa kasus, justru menghambat usaha anda mengenalkan KM di organisasi.

Norma Sosial vs Norma Pasar
Kita hidup di dunia yang unik dengan dua jenis norma yang berbeda dan bertentangan. Dan Ariely dalam bukunya Predictably Irrational, menyebutkan bahwa kita hidup di dua dunia yang berbeda, satu dunia mendasarkan tindakan pada norma sosial (social norms) dan dunia lainnya menggunakan norma pasar (market norms).

Di satu sisi, kita hidup di dunia yang selalu memperhitungkan semua hal. Mulai dari baju yang kita pakai, makanan yang dimakan, bahkan fasilitas untuk menggunakan WC umum. Dunia tersebut adalah dunia dengan norma pasar. Tempat dimana seluruh aktivitas dan bantuan yang kita dapatkan dari orang lain diperhitungkan dalam bentuk mata uang. Beberapa orang menggambarkan norma pasar ini dalam kalimat, there is no such things called free lunch. Tidak ada makan siang yang gratis. Di dunia ini, kita tidak hanya harus membayar atas jasa yang diberikan orang lain tetapi juga mengharapkan bayaran atas bantuan yang kita berikan.

Di lain pihak, kita juga hidup di dunia yang berdasarkan norma social. Dunia yang didasarkan pada kebaikan, tolong menolong, persahabatan, hubungan orang tua-anak dan sebagainya. Mudahnya ini adalah ketika anda meminta bantuan untuk memindahkan sofa, menahan pintu untuk orang dibelakang, menyebrangkan nenek tua, atau menyumbang bagi pembangunan masjid. Tidak hanya itu, norma social bisa juga berupa pengakuan dari orang lain, kebebasan untuk berekspresi dan kebutuhan untuk aktualisasi diri. Tiga bentuk terakhir ini yang akan banyak berhubungan dengan inti dari artikel ini. Norma social adalah keadaan alami kita. Bagian dari kebutuhan kita akan kehidupan social dan komunitas. Sesuatu yang kita lakukan bukan karena uang tetapi murni atas keinginan pribadi.

Kedua norma tersebut, dalam kehidupan sehari-hari terkadang sulit dilihat dan dibedakan. Perbedaannya juga sangat tergantung kepada kehidupan social dan kebiasaan yang berlaku. Panti jompo misalnya. Di negara barat seperti Amerika, memasukkan orang tua ke panti jompo adalah tindakan yang biasa dan dianggap benar. Hal ini karena mereka memandang bahwa orang tua akan lebih senang mengobrol dengan orang tua lainnya dimana mereka bisa menikmati masa tuanya dengan nyaman. Tetapi jika hal yang sama dilakukan di negara ini, pastilah kita dianggap sebagai anak durhaka. Bahkan sebisa mungkin orang tua tinggal dengan anaknya sebagai balas budi. Ibu saya, bahkan hingga saat ini terus meminta nenek kami untuk tinggal di Jakarta daripada di rumah beliau di desa.

Fenomena menarik lainnya dari norma social dan norma pasar adalah bagaimana kedua norma tersebut bereaksi terhadap penghargaan, dalam hal ini uang. Di norma pasar, dimana semua dihubungkan dengan nilai uang, memberikan sesuatu, atau sebaliknya menerima sesuatu dan tidak memberikan balasan dalam bentuk imbalan (uang), adalah sebuah kejahatan. Tetapi, jika kita menggunakan norma social, maka membayar atau mengganti bantuan dari orang lain dengan uang justru adalah sebuah kejahatan (dalam hal ini diartikan sebagai tindakan tidak terpuji).

Cerita makan malam diatas adalah contoh mudahnya. Reaksi Ibu anda yang menangis ketika anda menawarkan uang adalah wajar karena makan malam tersebut disiapkan oleh Ibu yang mencintai dan rindu pada anaknya. Masakan Ibu adalah bentuk cinta pada anda. Seperti yang sudah kita bahas, cinta adalah norma social. Akan tetapi, kejadian yang berbeda jika Ibu anda adalah orang lain. Sebutlah, seorang wanita yang memiliki rumah makan bergaya rumahan yang banyak di Jakarta. Seseorang yang tidak pernah anda kenal sebelumnya. Apa yang terjadi ketika anda makan dan pergi begitu saja tanpa membayar, hanya mengucapkan terima kasih yang tulus ?

Poin yang ingin saya tekankan ialah seluruh tindakan atau inisiatif yang didasari atas norma social akan dianggap berharga jika anda tidak memberikan uang atau imbalan. Sebaliknya, jika anda memutuskan untuk menghargai tindakan tersebut dengan uang maka pihak lain akan menganggap  tindakan tersebut sebagai tidak sopan. Lain halnya jika tindakan tersebut dilihat dari sudut pandang norma pasar. Jika anda tidak memberikan imbalan (uang) maka anda dianggap sebagai tidak tahu diri.

Ok, enough with “short” briefing. Penjelasan tentang norma social dan norma pasar tersebut sangat erat kaitannya dengan inisiatif KM di organisasi. Sebagai sebuah inisiatif, KM pada awalnya dimulai dengan pendekatan norma pasar. Semua diperhitungkan dan dinilai. Dokumen dibuat dan dicatat. Kesuksesan KM dilihat dari banyaknya akses ke dokumen di KM Portal. Penghargaan diberikan pada individu yang paling banyak memberikan kontribusi dan tentu saja, penghargaan tersebut seringkali berupa uang.

Bahkan hingga saat ini, beberapa perusahaan yang menjadi klien kami masih menggunakan pendekatan ini. Salah satu klien kami membuat apa yang disebut sebagai K-Point atau Knowledge Point, dimana seseorang akan diberikan nilai atau poin tertentu atas kontribusinya dalam inisiatif KM. Nilai poin bisa berbeda-beda tergantung tingkat kontribusinya. Misalnya sebagai pembicara maka poinnya 10, jika menjadi penulis newsletter atau dokumen pengetahuan nilainya 7 dan seterusnya. Poin-poin ini kemudian bisa dikumpulkan dan pada akhir tahun dapat ditukarkan menjadi hadiah atau imbalan. Bentuknya dibuat bermacam macam agar menarik seperti voucher, liburan atau bonus tahunan tambahan.

Tetapi, pada kenyataannya, usaha untuk memberikan uang dan imbalan ini justru tidak selalu berhasil. Kami menemukan bahwa ketika uang dijadikan sebagai imbalan atas partisipasi, karyawan justru berpendapat bahwa imbalan yang diterima tidak sesuai dengan tindakan atau partisipasi yang diberikan.

Fenomena ini sebenarnya bisa dijelaskan dengan norma social dan norma pasar yang kita bahas sebelumnya. Menurut Dan Ariely, ketika sebuah tindakan dilihat dari norma pasar maka tindakan tersebut cenderung untuk dihubungkan dengan berapa seharusnya tindakan tersebut dibalas (dalam bentuk uang). Ini menyebabkan karyawan menganggap apa yang mereka kerjakan dengan memberikan kontribusi haruslah dibayar dengan nilai yang sesuai. Tentu saja karena nilai imbalan dari perusahaan tidak terlalu besar, karyawan pada akhirnya menjadi malas mengikuti kegiatan KM.

Ini mengapa salah satu praktisi KM dunia, David Gurteen dalam workshop Knowledge Café nya selalu menekankan bahwa penggunaan uang sebagai imbalan dalam mengenalkan KM adalah kesalahan fatal. Uang, bahkan dalam nilai paling kecil, dapat mengubah sebuah tindakan yang awalnya dianggap sebagai bentuk norma social, menjadi norma pasar. Ketika tindakan tersebut dianggap norma pasar, maka yang terjadi setelahnya adalah kita mulai menghitung dan membandingkan harga yang seharusnya kita dapatkan atas tindakan tersebut.

Lalu apa solusi yang bisa kita lakukan ? Jawabannya tentu saja mengenalkan KM sebagai inisiatif yang mengacu kepada norma social. Dasar pemikiran tersebut adalah salah satu dari sekian banyak alasan terbentuknya apa yang disebut sebagai KM Social atau KM 2.0. Inisiatif KM tidak lagi dipandang sebagai sebuah aktivitas yang bertujuan untuk memperlakukan pengetahuan sebagai sebuah bentuk yang bisa dihitung atau dinilai menggunakan angka. Pengetahuan di KM Social dipandang sebagai sebuah pengetahuan yang ada di kepala manusia (tacit knowledge) dan bukan sebagai dokumen atau sistem saja (explicit knowledge).

KM Social mendasarkan pendekatannya pada pentingnya peranan manusia dan bagaimana manusia sebagai pemilik pengetahuan mengalirkan pengetahuan tersebut. Ketika cara pandang ini berubah, maka dampaknya ialah pendekatan yang digunakan juga berubah. Uang dan nilai berganti menjadi pengakuan dan kebanggaan. Membuat sistem dan prosedur berubah menjadi membangun lingkungan dan budaya belajar.

Tentu saja, dalam level yang lebih rendah seperti aktivitas kampanye KM juga akan berubah. Karyawan yang menjadi pembicara dalam sesi CoP dipublikasikan di seluruh organisasi dan mendapatkan pengakuan atas kompetensinya. Kepala Divisi memberikan pujian khusus bagi karyawan yang paling produktif membuat dokumen pengetahuan dalam periode tertentu. Bentuk lainnya berupa pemberian title informal atas kontribusi di KM oleh CEO.

Salah satu bentuk penghargaan yang menarik untuk ditiru adalah cara Frank Leistner, Chief Knowledge Officer SAS Institute yang menggunakan badge atau lencana sebagai apresiasi ketika seseorang atau tim berkontribusi dengan kriteria tertentu dalam inisiatif KM. Penggunaan badge ini memberikan individu atau tim kepuasan dalam bentuk fisik dan bukti atas kontribusinya, tanpa menghubungkannya dengan norma pasar. Badge dibuat sangat ekslusif sehingga untuk mendapatkannya, kontribusi yang diberikan haruslah sangat berarti. Yang paling penting, pemberian badge juga didukung dengan aktivitas lain untuk menciptakan efek berharga dan terhormat bagi yang mendapatkannya.

Khusus untuk pemberian badge ini, sebenarnya banyak organisasi yang juga mencoba menirunya. Bahkan mengubahnya menjadi bentuk yang lebih menarik seperti perlombaan atau awards. Tetapi pada kenyataannya, banyak juga yang gagal. Menurut saya, kesalahannya bukanlah pada metode atau badge yang diberikan, tetapi pada bagaimana menciptakan bentuk penghargaan yang sesuai dengan motivasi atau keinginan calon penerima badge tersebut. Saya akan membahas aspek motivasi ini dalam tulisan lainnya.

Sebagai penutup, apa yang bisa kita simpulkan dari norma pasar dan norma social ini ? Menurut saya, kegagalan dari sebuah ide atau inisiatif, yang dalam hal ini adalah penggunaan uang sebagai imbalan, bukanlah terletak pada cara yang digunakan, tetapi lebih kepada bagaimana cara kita dan orang lain yang kita tuju memandang ide atau inisiatif tersebut. Seperti yang kita sama-sama lihat, tujuannya bukanlah memberikan uang, tetapi bagaimana menempatkan imbalan tersebut dalam bentuk yang sesuai.

Pelajaran lainnya tentu saja tentang bagaimana kita memandang, mengenalkan dan mesukseskan KM di organisasi. Ketika anda berhasil mengenalkan KM sebagai sebuah inisiatif yang mengikuti norma social, maka karyawan akan berfokus pada pencapaian individu berupa kepuasan pribadi, dan bukan uang. Dengan pendekatan ini keuntungan yang didapatkan selain menurunnya dana kampanye inisiatif KM, adalah timbulnya tingkat loyalitas yang tinggi dari karyawan. Sama seperti Ibu anda yang diceritakan di awal. Bahkan tanpa diminta pun beliau akan menyajikan makanan terbaik, bahkan tanpa imbalan uang sekalipun. Karena bagi beliau, kegembiraan anaknya yang sudah lama tidak pulang adalah harga yang tidak ternilai.      

Sunday, December 23, 2012

Antara Teori dan Praktek



In theory, there is no difference in theory and practice, but in practice there is a great deal of difference

- Al Roth

Dunia praktisi selalu membuat saya tertarik. Besar di lingkungan yang selalu berkutat dengan framework, konsep, model dan high level decision membawa cara berpikir saya selalu terstruktur dan strategis. Tetapi, pengalaman dan waktu terus membuktikan bahwa teori dan praktek adalah dua hal yang berbeda. Ketika pertama kali kuliah, saya sangat tertarik pada sistem, konsep, model dan tentu saja teori. Sampai saat ini pun ketertarikan itu tetap ada. Tetapi ketika memasuki dunia professional, keluguan itu mendapat cobaan pertamanya. World is not as we predicted. Banyak sekali asumsi dan hipotesis yang saya buat dan perkirakan tidak bisa dijalankan. FYI, pekerjaan pertama saya adalah tenaga ahli di salah satu konsultan pemerintah. Ketika itu, saya bertanggung jawab menyusun proposal, sistem, metode, dan perhitungan harga untuk project yang sedang berjalan.

Ketika menyusun proposal, rasanya saya sudah membuat dengan kaidah dan pendekatan praktis yang benar serta dapat diimplementasikan. Gambar, prosedur dan chart dibuat sesimpel dan dapat dimengerti oleh semua kalangan. Aspek-aspek lapangan sudah di perhitungkan secara logis dan digunakan sebagai faktor koreksi. Tetapi pada kenyataannya, semua proposal itu tidak berguna di lapangan. Bahkan saat itu salah satu senior berkata “Iqbal, kamu tidak bisa memakai proposal yang dibuat untuk digunakan di lapangan. Seharusnya kamu buat dua jenis proposal, satu untuk tender dan satu lagi untuk diajukan ke internal dan pelaksanaan project”. Saya bingung, lalu buat apa proposal yang diajukan di tender jika itu tidak bisa digunakan ? Kenapa harus capek-capek membaca dan membuat konsep metodologi jika itu hanya berakhir di gudang sebagai dokumen ?

Pertanyaan itu terus mengganggu dan pada beberapa tahapan, membuat saya percaya bahwa tidak ada gunanya fokus di konsep dan high level decision. Saya pun sempat “terjebak” dalam rutinitas dan meninggalkan cara berpikir konseptual dan strategis. Bahkan saya beberapa tahun menghabiskan waktu sebagai marketing di beberapa perusahaan. Akan tetapi, kepercayaan itu kembali datang ketika saya bekerja di KMPlus sebagai konsultan. Principal Consultant, Alvin Soleh dan Tim kami menunjukkan bahwa sebenarnya teori dan praktek sangat berhubungan. Kenyataan mengapa teori dan praktek menjadi berbeda di lapangan ialah karena kurangnya pemahaman terhadap masalah, prioritas yang salah penempatan, fokus yang melebar serta kurangnya perhatian terhadap hal-hal kecil.

Hal-hal kecil inilah yang kemudian menarik bagi saya. Human behavior dan cara berpikir individu sangat berpengaruh dalam bisnis, ataupun aktivitas. Kita tidak bisa memaksakan cara berpikir atau pendapat pada orang lain. Yang bisa dilakukan adalah menciptakan kesadaran akan pentingnya ide atau permasalahan yang dimiliki. Setelah kesadaran itu muncul, barulah kita berharap mereka menghadapi “rasa lapar” akan ide dan permasalahan tersebut. Pada tahap ini, barulah semua konsep, model, framework atau prosedur yang kita siapkan dapat dimanfaatkan oleh orang yang dituju. Tanpa “rasa lapar” itu, sebaik apapun, sesempurna apapun model yang dibuat, hanya akan berakhir menjadi nice to have documents.

Sayangnya, pemahaman terhadap pola pikir ini, walaupun sudah banyak yang setuju, tidak banyak yang benar-benar melaksanakannya. Common knowledge its not the same as common practice. Pemahaman umum tidak serta merta semua orang melakukannya. Olahraga adalah contohnya. Semua orang tahu bahwa olahraga dapat mensehatkan tubuh. Siapa yang tidak tahu itu ? Bahkan dokter pun jika diizinkan memberi resep “olahraga 3 kali seminggu” sebagai obat, pastilah resep itu yang diberikannya. Jelas bahwa olahraga sebagai obat sehat paling manjur adalah pengetahuan umum, tapi apakah semua orang melakukannya ? Anda sendiri yang bisa menjawab.

Kejadian yang serupa juga saya temui dalam kehidupan professional. Sebagai konsultan, kami beberapa kali bertemu dengan klien yang masih tersandera dengan pemikiran model dan teori. Mereka lebih senang dengan bentuk dokumen yang rapi, aktivitas yang mengacu pada konsep, model yang diambil dari akademisi atau sekedar proses administrasi yang lengkap. Tentu pola pikir tersebut tidak salah, tetapi pertanyaannya apakah administrasi yang lengkap, prosedur yang terstruktur, sistem yang rapi akan serta merta menyelesaikan masalah ? Lebih dalam lagi, apakah sistem dan prosedur itu akan digunakan oleh individu-individu di organisasi ?

Blog ini (dan juga buku yang sedang saya susun) berawal dari pola pikir tersebut. Bahwa teori sebenarnya tidak salah tetapi terlalu mempermudah dan menstandarkan teori juga dapat mengarah pada pemahaman yang salah tentang bagaimana praktek dilapangan dilakukan. Karena bagaimanapun juga, teori adalah hasil dari pengalaman dan praktek yang kemudian dibuat sestandar mungkin agar bisa ditiru oleh pihak lainnya. Pola pikir itu juga yang selalu kami gunakan ketika memberikan solusi. Semua selalu bermula dari kebutuhan dan kondisi klien. Aktivitas dan solusi yang diberikan haruslah bersifat unique dan dapat diimplementasikan dalam lingkungan organisasi klien. Dan paling penting ialah perhatian terhadap hal-hal detail yang tanpa kita sadari, merupakan kunci keberhasilan dari sebuah ide, inisiatif, teori atau model.

Seperti yang bisa anda baca, blog ini lebih banyak berfokus untuk memberikan pemahaman dan jawaban atas alasan, mengapa KM tidak berjalan dengan baik di perusahaan. Apa sebenarnya fokus utama dan tujuan KM, bagaimana KM bisa membantu organisasi, praktek seperti apa yang dilakukan di organisasi lainnya, bagaimana menciptakan kebutuhan dan bukan sistem yang memaksa organisasi menggunakan KM. Tentu saja, pada akhirnya, semua artikel di blog ini diarahkan untuk memberikan framework yang dapat digunakan sebagai panduan dalam menyusun inisiatif KM yang sesuai dengan organisasi anda.

Saat ini saya sedang menyusun buku tentang KM yang materi dasarnya sebagian besar diambil dari blog ini. Buku tersebut akan menyusun bagian-bagian artikel di blog yang terkadang terpisah dan tidak terstruktur. Rencananya, buku akan siap di terbitkan tahun 2013 yang sebentar lagi datang.

Tetapi sebelum itu, marilah kita berdiskusi dan sharing lebih banyak tentang pengalaman dan aplikasi KM di blog ini. Enjoy :)

Menyusun Progress Checklist CoP



Apapun bentuk inisitif atau kegiatan yang anda lakukan, seluruhnya pasti akan berakhir pada topik evaluasi. Begitupun CoP dan komunitas. Kita sudah mengetahui dampak sebuah komunitas yang efektif bagi organisasi, begitupun juga dengan memulai inisiatif CoP dan mempertahankannya agar tetap memberikan manfaat. Di artikel sebelumnya, saya sempat menyinggung tentang kriteria sukses CoP dan komunitas. Kini kriteria tersebut yang akan menjadi acuan dalam menentukan poin-poin penilaian inisitif CoP.

Secara singkat, ciri dasar sebuah CoP dikatakan dewasa dan sukses ialah (1) memiliki member yang aktif; (2) topik yang selaras dengan pengetahuan penting; serta (3) memiliki dokumentasi yang baik. Tetapi sebelum memulai menentukan kriteria turunan dari ciri dasar tersebut, saya ingin membahas sedikit topik tentang evaluasi ini.

“You only get what you can measure”. Anda hanya mendapatkan hasil dari sesuatu yang dapat diukur. Saya percaya itu. Bisnis juga bentuk organisasi yang sangat percaya pada dogma ini. Akan tetapi, melakukan evaluasi, jika dilakukan dengan salah dapat memberikan efek yang justru negatif. Pendidikan contohnya. Tinggal di negara ini, umumnya kita memulai pendidikan dari SD, SMP, SMA dan seterusnya. Setiap tahun kita mengikuti ujian untuk menentukan seberapa baik tingkat penyerapan materi pelajaran. Yang menarik ialah, selalu saja ada perdebatan khususnya soal ujian akhir penentuan kelulusan. Banyak ahli pendidikan menganggap bahwa sistem kelulusan dengan hanya mengacu pada hasil ujian 3 hari, tidak bisa menggambarkan kemampuan belajar selama 3 atau 6 tahun. Menurut para penentang ujian akhir, nasib 3 tahun belajar yang hanya ditentukan dengan nilai 3 hari ujian adalah tidak adil. Alasan lainnya ialah karena sistem terstandardisasi tersebut hanya akan membuat siswa ditentukan dari sistem yang sudah terstruktur. Perumpamaan yang sering dipakai ialah, sekuat apapun singa, dia akan tetap dianggap bodoh jika ujiannya adalah memanjat pohon dengan standar seekor monyet.  

Everybody unique. Setiap individu memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda. Metode standar seperti evaluasi dengan kriteria-kriteria yang memiliki tertentu mungkin akan memenangkan satu pihak dan menjatuhkan pihak lainnya. Begitupun dengan evaluasi. Jika kita mendesain metode evaluasi yang terlalu kaku, keberhasilan suatu inisitif mungkin saja dianggap tidak berhasil dan akhirnya direkomendasikan untuk dihentikan.

Untuk itulah, dalam menentukan kriteria dan acuan penilaian CoP ini, saya lebih banyak berfokus pada proses dan perkembangan CoP itu sendiri, bukan pada nilai buku yang dihasilkan atau pada jumlah anggota atau dokumentasi yang dihasilkan. Pendekatan ini yang dikenal sebagai measuring by process and quality (penilaian berdasarkan proses dan kualitas).

Isu utama lainnya terkait evaluasi adalah fungsi dari evaluasi itu sendiri. Evaluasi seringkali dipahami sebagai pengambilan keputusan atau penilaian akan suatu permasalahan. Ketika nilai evaluasi jelek, maka berarti inisiatif juga jelek. Jika nilainya bagus berarti inisitif itu bagus dan harus diteruskan. Ketika kita terlalu terpaku pada hasil evaluasi dan bukan melihat manfaat dari inisitif itu sendiri, keputusan yang akan diambil akan menjadi bias. Kita memutuskan hanya dengan melihat nilai jangka pendeknya saja bukan jangka panjang. Ini yang menarik dari CoP dan juga seluruh inisiatif KM. Fokus utama KM dan CoP tidak pernah jangka pendek tetapi selalu jangka panjang. Bukan perbaikan kinerja instan yang menjadi acuan utama tetapi inovasi yang terus berkelanjutan yang akan memberikan nilai tinggi bagi bisnis.

Maka, menilai inisiatif CoP menggunakan pola pikir jangka pendek jelas adalah pendekatan yang salah. Evaluasi CoP bertujuan untuk memastikan CoP yang berjalan sudah pada track yang benar dan mempertahankan agar tetap pada keadaan tersebut. Bagi saya, menghitung keberhasilan CoP dengan melihat dampaknya pada bisnis jangka pendek sama tidak pentingnya dengan menghitung berapa liter air yang ada di lautan. Lebih baik fokus pada mengolah air laut menjadi sesuatu yang berguna bagi manusia daripada mengetahui jumlah liter untuk kemudian di simpan sebagai dokumen yang tidak ada kelanjutannya.

Tujuan evaluasi CoP seharusnya bukan untuk memberikan penilaian bagus atau tidak, harus dilanjutkan atau dihentikan, tetapi lebih kepada mengetahui perkembangan dan bagaimaa melakukan optimalisasi CoP tersebut. Dengan ini jelas, bahwa istilah evaluasi sebenarnya tidak tepat jika digunakan dalam kasus CoP. Saya lebih suka menyebutnya sebagai progress checklist. Jika sebuah CoP atau komunitas sudah keluar dari aturan yang ditentukan, tim KM atau yang bertanggung jawab terhadap komunitas dapat mengarahkan CoP ke jalur yang benar. Bagi CoP yang sudah berhasil, fokusnya lebih kepada meningkatkan keberhasilan yang sudah dicapai serta sebagai best practice dan success story bagi CoP lainnya dan seluruh organisasi.

Kini setelah jelas pendekatan yang akan digunakan, mari kita mulai menyusun lebih detail kriteria penilaian CoP.

Berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa fokus penting yang dapat diturunkan dari tiga ciri CoP yang sukses. Kriteria tersebut adalah :
  •           Apakah komunitas sudah memiliki tujuan yang sama
  •           Apakah tujuan bersama sudah dipahami oleh seluruh anggota
  •           Apakah tujuan bersama sudah selaras dengan strategi organisasi
  •           Apakah anggota yang ada sudah memadai untuk menjaga kelangsungan komunitas ?
  •           Apakah anggota CoP merasa nyaman dan aman untuk sharing pengetahuan miliknya ?
  •           Apakah ide, diskusi dan perbaikan yang dihasilkan dari CoP diimplementasikan ?
  •           Apakah ada benang merah antara topik yang dibahas antara satu CoP dengan CoP lainnya ?
  •           Apakah setiap sesi CoP telah memiliki dokumentasi ?
  •           Apakah dokumentasi dapat digunakan oleh anggota lainnya untuk meningkatkan pengetahuan ?
  •           Apakah CoP menghasilkan perbaikan kinerja dan inovasi ?

Untuk memudahkan membaca dan menilai hasil progress checklist ini, anda dapat menggunakan beberapa parameter standar seperti pilihan dari jawaban iya, tidak terlalu, tidak, dan tidak tahu. Anda juga bisa merubah kriteria-kriteria tersebut menjadi nilai-nilai yang dapat diperhitungkan. Contohnya mengganti pertanyaan anggota CoP merasa nyaman dan aman untuk sharing menjadi berapa banyak persentasi jumlah anggota yang terlibat dalam diskusi.

Sebagai contoh, Frank Leistner, Chief Knowledge Office SAS Institute dan juga pengarang buku Mastering Organizational Flow in Organizations, menggunakan lima pertanyaan untuk mengetahui interaksi sebuah komunitas, yaitu :
  •           Seberapa sering anda melakukan tatap muka dengan komunitas ?
  •           Seberapa sering anda berkirim email (terkait pekerjaan) dengan anggota komunitas ?
  •           Seberapa sering anda melakukan komunikasi via telpon dengan anggota komunitas ?
  •           Apakah anda secara teratur meminta nasihat (terkait pekerjaan) dengan anggota komunitas ?
  •           Apakah anda secara teratur memberikan nasihat (terkait pekerjaan) dengan anggota komunitas ?

Masih banyak bentuk pertanyaan lain yang dapat anda ajukan untuk mengukur perkembangan CoP dan komunitas. Poin penting lain yang menarik untuk didiskusikan adalah jumlah inovasi yang dihasilkan sebagai acuan perkembangan CoP. Anda mungkin memperhatikan bahwa poin untuk inovasi tidak terlalu banyak saya bahas. Walaupun penilaian paling mudah untuk menilai suatu CoP berhasil atau tidak adalah dengan melihat pada jumlah inovasi yang dilahirkan atau nilai buku keuntungan yang akan dicapai bagi bisnis.

Pertanyaannya ialah apakah penting untuk mengetahui berapa banyak inovasi yang dihasilkan? Jawabannya iya, inovasi selalu menjadi tujuan utama sebuah CoP dan tentu saja itu penting. Apakah sepenting itu hingga harus menjadi dasar sukses atau tidaknya CoP ? Saya rasa jawabannya tidak. Its all about process. Kita sudah paham bahwa CoP dan komunitas jika dijalankan dengan benar akan memberikan nilai yang tidak bisa begitu saja digantikan. Sama seperti budaya organisasi dan kemampuan SDM perusahaan. Bisakah hal itu diukur ? Ya, tentu saja bisa. Tapi apakah jika kita bisa mengukur jumlah inovasi yang dihasilkan atau ROI nya pada bisnis maka bisnis akan berhasil ? Tentu tidak.

Bisnis bisa sukses karena menjadi lebih efektif, efisien dan terus berinovasi. Bukan dari jumlah inovasi. Jumlah hanyalah bukti keberhasilan dan pembenaran dari kesuksesan. Tidak lebih dari itu. Alasan tersebut yang membuat jumlah inovasi tidak menjadi kriteria yang terlalu penting dalam progress checklist ini.

Lagipula, jika memaksakan kriteria CoP sukses atau tidak dari jumlah inovasi yang dihasilkan, justru dapat memberikan informasi yang salah. Pertama dari definisi inovasi itu sendiri. Inovasi seperti apa yang dimaksud ? Jika jawabannya dilihat dari nilai keuntungan secara financial bagi bisnis, maka inovasi seperti apa yang mungkin dilakukan oleh bagian Finance ? Seperti kita tahu,Finance merupakan bagian yang paling terstruktur dan terstandar dalam seluruh proses bisnis. Dengan standardisasi dan transparansi tersebut, bentuk inovasi apa yang bisa dilakukan ? Jika ada, apakah dampaknya pada bisnis secara nilai akan besar ? Agak sulit saya rasa untuk menjawabnya. Tetapi apakah inovasi dan perbaikan kinerja tidak bisa dan tidak perlu dilakukan di Finance ? Tentu saja ada dan pastinya dibutuhkan.

Kembali pada penyusunan pertanyaan, fokus utama dalam menyusun progress checklist adalah pertanyaan yang diajukan harus mampu menggambarkan tujuan utama kriteria tersebut serta dapat digunakan untuk melihat sejauh apa perkembangan CoP. Kriteria yang saya buat tersebut bisa disesuaikan dengan kebutuhan anda. Begitupun metode penilaian dan standar pilihan yang digunakan. Bagi organisasi dengan fokus bisnis pada aset fisik, maka pendekatan dengan jumlah dan angka mungkin lebih cocok digunakan. Sedangkan bagi bisnis yang lebih fokus pada jasa dan intangible asset, mungkin dapat lebih nyaman jika menilai dalam bentuk pilihan terbuka atau pendapat pribadi.

Pemilihan waktu dalam melakukan evaluasi dan penilaian juga dapat memberikan gambaran yang lebih baik. Semakin sering dilakukan, penilaian menggunakan progress checklist akan memudahkan bukan saja anda sebagai pihak penilai, tetapi juga bagi anggota CoP tersebut. Salah satu metode yang kami gunakan pada klien ialah dengan melakukan penilaian di tiap sesi CoP. Sebagai salah satu deliverables bagi klien, kami sebagai konsultan menilai CoP mulai dari sejak sesi CoP dimulai.

Poin yang kami nilai diantaranya ketepatan waktu dan bagaimana keterlibatan core member dalam memulai acara, saat sesi berlangsung dalam bentuk penilaian jalannya diskusi dan pemilihan topik serta mengakhiri sesi dengan menilai sesi diskusi secara keseluruhan. Penilaian tersebut, kami lakukan dalam bentuk personal assesment dan hasilnya secara informal disampaikan pada seluruh anggota CoP dalam bentuk diskusi terbuka. Dengan cara ini, tidak saja memudahkan kami membangun kesadaran untuk perbaikan bagi seluruh anggota tetapi juga meningkatkan rasa kepemilikan (ownership) kepada CoP tersebut.

Tahapan terakhir yang juga tidak kalah pentingnya adalah interpretasi dari data yang sudah anda dapatkan serta bagaimana rekomendasi dan tindak lanjut yang harus dilakukan. Sangatlah penting untuk disadari bahwa membaca data sebaiknya dilakukan oleh individu yang minimal mengetahui maksud dari tiap pertanyaan. Selain itu, pemahaman terhadap budaya dan kebiasaan yang ada di organisasi juga patut dipertimbangkan. Dalam beberapa kali sesi yang dihadiri, saya seringkali menemukan definisi suasana yang menyenangkan dan nyaman sangat berbeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Ada yang menganggap bahwa diskusi dengan meja melingkar di ruang kerja adalah hal yang informal atau sebaliknya. Duduk lesehan sambil minum kopi,  berbicara sambil berdiri di pojok pantry, terkadang merupakan bentuk informal yang justru dibutuhkan. Ketika ini terjadi, saya biasanya berdiskusi dengan champion dan core member agar tidak salah memberikan penilaian.

Kunci keberhasilan dalam melakukan evaluasi dan penilaian menggunakan progress checklist bergantung pada pemilihan pertanyaan dan interpretasi hasil penilaian tersebut. Untuk melakukan ini, anda membutuhkan pengetahuan tentang bagaimana proses CoP berjalan; aliran pengetahuan terjadi; serta pengetahuan dasar tentang budaya dan perilaku inidvidu di organisasi. Fakta inilah yang menjadi alasan mengapa progress checklist CoP seharusnya adalah tools yang anda dan tim kembangkan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Pada akhirnya, anda lah yang paling menguasai organisasi tempat anda berada.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...