Apa yang kita tahu tentang Knowledge Management ?

Binatang apa knowledge management itu? Satu hal yang pasti. KM menarik, menyenangkan, berbagi dan paling penting, memberikan nilai tambah.

Apa yang paling penting di organisasi?

Jika kita terlibat di organisasi, apa aset yang paling penting? Fasilitas, komputer, meja atau orang-orang yang berkompetensi di bidangnya? Temukan jawabannya disini

Apakah yang diatas selalu paling hebat?

Dalam organisasi formal yang terdapat atasan, rekan, dan bawahan, terkadang ada beberapa orang yang lebih banyak disukai dan dicari dibandingkan orang lain. Anehnya, orang itu tidak selalu atasan. Terkadang, dia hanya orang biasa. Network Analysis membantu kita mengidentifikasi mereka

Butuh referensi tentang Knowledge Management?

"Ilmu itu hanya milik Tuhan", kata seorang bijak. Jadi, kenapa harus menyimpannya untuk diri sendiri ? Lets share !

About Me

Ok, this section is not important. Tapi jika anda punya semangat dan ketertarikan yang besar dibidang KM, maka kita bisa lebih mengenal.

Friday, September 21, 2012

Meningkatkan Bisnis melalui Kolaborasi dan Komunitas



Saya akan memulai artikel ini dengan menceritakan pengalaman terbaru bekerja melalui komunitas. Baru-baru ini, tim kami sedang mengembangkan website perusahaan yang sempat down beberapa lama. Tujuan awal ialah untuk menyiapkan content web sebelum diserahkan ke web developer tetapi kemudian tantangan ditingkatkan menjadi membangun web secara mandiri. Tim kami yang sebagian besar buta programming dan web developing pun kewalahan. FYI, kami menggunakan Joomla sebagai Content Management Software (CMS).

Singkatnya, saya pun coba mencari panduan untuk belajar Joomla. Hasilnya mengejutkan. Joomla menyediakan dokumentasi panduan yang luar biasa lengkap. Selain itu juga ada online forum yang siap membantu. Saya cukup cari masalah yang ditemui dan dengan “beberapa jam” membaca, masalah terselesaikan. Tidak hanya itu saja, Joomla yang berbasis open source juga memungkinkan programmer mengembangkan extension yang dapat digunakan untuk mempercantik web dengan mudah. Dan keunggulan itu semua berawal dari sebuah komunitas.

Tertarik dengan Joomla, saya pun coba mencari info lebih banyak. Dan fakta yang muncul semakin menarik. Joomla ternyata bukan sekedar sekedar CMS biasa. Keunggulan dan kemampuannya sudah diakui dunia. Joomla memenangkan Packt, penghargaan untuk open source content, pada 2006, 2007 dan 2011. Yang menarik ialah ketika melihat bagaimana Joomla dibangun. Joomla, seperti seluruh open source lainnya dibangun oleh komunitas, dalam hal ini independent programmer. Pada awalnya, Joomla bernama Mambo yang merupakan open source CMS dari Miro International, sebuah organisasi non profit. Sejak awal pengembangannya, Mambo sudah diterima oleh para programmer dan berhasil menjadi salah satu CMS terbaik saat itu. Masalah mulai muncul ketika Miro International hendak menjadikan Mambo sebagai program komersil.

Ide komersialisasi ini yang ditentang oleh sebagian besar programmer. Hal ini juga menyebabkan sebagian independent programmer melepaskan diri dari proyek Mambo dan mendirikan Joomla sebagai project CMS baru yang menganut prinsip open source murni. Kini setelah 7 tahun sejak pertama kali diperkenalkan, Joomla telah digunakan oleh sebagian besar web developer, memiliki 98 ribu lebih extension dan pengembangan source code-nya masih terus berjalan. Kabar Mambo ? Well, you could search it by yourself at Google.

Inilah sedikit bukti bagaimana kolaborasi berkembang pesat melalui komunitas. Indendent programmer yang memiliki passion untuk saling berbagi dan meningkatkan kompetensi berkumpul melalui komunitas Joomla dan menciptakan karya yang bukan hanya sebuah CMS biasa, tetapi  masterpiece yang bahkan dapat mengalahkan CMS komersial lainnya. Komunitas memberikan media bagi programmer dengan visi dan tujuan bersama untuk mengembangkan CMS yang powerfull, mudah digunakan, kesempatan personalisasi dan tentunya gratis. Mereka memberikan code programming yang awalnya menjadi hak ekslusif, untuk digunakan dan dikembangkan bersama. Kerelaan untuk melepas apa yang awalnya dianggap sebagai kekuatan tersebut pada akhirnya menarik programmer-programmer jenius lainnya untuk bergabung dan mengembangkan source code tersebut menjadi lebih sempurna. Independent programmer sadar, sehebat apapun mereka, sekompleks apapun source code yang dikembangkan, tetap tidak akan mengalahkan kekuatan komunitas.

Malcom Gladwell dalam bukunya Outliers, menjelaskan dasar pemikiran programmer dan juga penganut konsep kolaborasi lainnya. 10.000 jam atau setara 8-10 tahun adalah waktu yang dibutuhkan untuk menjadi master dalam suatu bidang. Banyaknya waktu yang dibutuhkan tersebut tidak memungkinkan bagi sebagian besar dari kita untuk menjadi master untuk semua bidang. Walaupun memang ada beberapa individu yang sangat cerdas dapat menguasai beberapa keahlian dan dengan waktu yang lebih cepat dari Hukum 10.000 jam-nya Gladwell, tetapi mereka tetap memiliki keterbatasan. Entah itu waktu, tenaga, sumberdaya dan sebagainya. Tidak ada satupun manusia yang memiliki waktu lebih dari 24 jam dalam seharinya kan ? Bahkan seorang Albert Einstein membutuhkan bantuan ilmuan Inggris, untuk membuktikan teorinya. Sebelum dibuktikan oleh ilmuan Inggris, teori relativitas E=mc2 milik Einstein hanyalah teori impian yang tidak dilirik siapapun.

Apa yang menjadikan komunitas sebagai media kolaborasi yang efektif ? Penghargaan adalah jawabannya. Siapapun itu, pada level apapun, atau profesi apapun, membutuhkan pengakuan dan penghargaan atas karyanya. Tanpa adanya pengakuan dan penghargaan tersebut, ide, inovasi dan karya seseorang biasanya tidak akan terjadi terus menerus dan hanya level yang biasa saja. Penghargaan bisa berwujud banyak hal. Mulai dari yang paling mudah dihitung seperti uang hingga yang paling dasar seperti pengakuan dari sesama, hak istimewa, ataupun sekedar tepukan bangga di pundak. Ada teori menarik tentang bentuk penghargaan ini, yaitu Teori Kebutuhan Manusia dari Abraham H. Maslow.

Secara singkat teori tersebut mengatakan bahwa manusia memiliki 7 tingkatan kebutuhan, dimana kebutuhan paling bawah ialah kebutuhan fisologis seperti makanan, istirahat, dan pastinya kebutuhan pemenuhan ekonomi. Kebutuhan tersebut didapat salah satunya dari berapa besar uang dan materi yang kita terima. Lalu bagaimana dengan tahapan lainnya? Berikut tingkatan tersebut secara berurutan dari tahap 2 ke tahap 7. Kebutuhan terhadap rasa aman; kebutuhan sosial; kebutuhan akan harga diri; kebutuhan intelektual; kebutuhan estetis dan paling atas kebutuhan atas aktualisasi diri. 

Keenam kebutuhan tersebut seluruhnya adalah kebutuhan yang tidak dapat dicapai dengan uang atau materi semata. Kebutuhan yang berupa penghargaan dan pengakuan atas keberadaan kita sebagai manusia. Hanya jika kebutuhan tersebut terpenuhi, kita akan mendapatkan kepuasan dan tertantang untuk menjalani kehidupan. Komunitas dengan pendekatan social dan informal memberikan kita penghargaan atas apa yang kita hasilkan dan bagikan kepada orang lain. Di komunitas, anda tidak dilihat sebanyak apa mobil yang dimiliki, setinggi apa jabatan bahkan umur juga tidak banyak berpengaruh. Anda dipandang dan dihargai dari seberapa besar kontribusi pada komunitas, seberapa besar anda dapat membantu anggota komunitas mengembangkan pengetahuannya dan seberapa pengetahuan terhadap fokus komunitas tersebut. Melalui komunitas, kita akan mendapatkan kesempatan bersosialisasi dengan individu lain yang memiliki minat sama, kebanggaan dari karya yang kita buat, kesempatan untuk terus belajar, serta aktualisasi diri atas semua pencapaian yang kita hasilkan. Komunitas memberikan kita ruang untuk terus berkarya dengan memenuhi kebutuhan utama manusia.

Banyak kegagalan komunitas berawal dari kurang jelasnya penghargaan bagi anggotanya. Bisa berupa aturan yang tidak jelas, bentuk penghargaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan,  penghargaan yang tidak diakui oleh seluruh komunitas atau penghargaan yang tidak langsung diberikan. Faktor-faktor ini yang bisa menyebabkan anggota komunitas tidak mendapatkan kebutuhan atas penghargaan yang mereka butuhkan dan berdampak pada gagalnya kolaborasi dalam komunitas. 

Penghargaan juga bukan satu-satunya resep manjur terhadap keberhasilan komunitas. Masalah yang sering muncul ialah anggota komunitas yang tidak mau berbagi, malu untuk tampil, malas untuk berkumpul atau terlalu egois dan terlalu mendominasi. Alasan tersebut muncul karena kurangnya kepercayaan dalam komunitas. Kepercayaan (trust) adalah faktor utama dalam komunitas. Bagaimana anda bisa berbagi ide dan pengalaman yang merupakan nilai tambah anda jika anda tidak yakin orang yang anda bagi ilmu tidak akan menyalahgunakan pengetahuan tersebut ? Trust is bandwith of communication (and also for community). Kita akan bahas ini lebih lanjut di artikel lainnya.

Mengapa bisnis memerlukan komunitas dan kolaborasi ?
Pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan melihat kembali alasan suatu bisnis bisa terus berjalan dan tumbuh. Bisnis hanya bisa berkembang jika dan hanya jika memberikan nilai tambah bagi pelanggannya. Jika berbicara nilai tambah maka kita tidak bisa melepaskan diri dari peranan individu yang ada di bisnis tersebut. Nilai tambah hanya bisa dihasilkan oleh sumber daya manusia, bukan oleh aset, kantor, sistem ataupun fasilitas. Individu tersebut adalah aset terpenting bagi bisnis dan hanya dengan memberdayakan individu tersebut bisnis bisa terus menghasilkan nilai tambah dan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage). Individu tersebut menjadi berbeda dari individu lainnya karena tingkat pengetahuan yang dimilikinya dan passion-nya untuk terus mengembangkan pengetahuannya. Merekalah yang biasa disebut sebagai knowledge worker (pekerja pengetahuan).

Knowledge worker saja tidak cukup untuk menghasilkan inovasi yang berkelanjutan. Pada tulisan sebelumnya, saya membahas bagaimana kolaborasi seharusnya berjalan, yaitu dengan fokus pada pencapaian hal-hal besar yang tidak dapat dilakukan oleh satu orang. Kolaborasi bukan berarti membantu yang lemah untuk mengatasi kekurangannya atau memperlakukan sama semua orang. Kolaborasi dan penciptaan inovasi hanya dapat dilakukan jika tingkat pengetahuan anggotanya setara atau minimal mendekati. Akan tetapi pada kenyataannya, bisnis tidak selalu seperti itu. Ada banyak keterbatasan sehingga tingkat pengetahuan individunya berbeda-beda antara satu sama lainnya. Pasti ada Superman dan Wonder Woman yang menonjol dibanding individu lainnya. Ini menjadi masalah ketika dikaitkan dengan kelangsungan bisnis.

Satu cabang atau divisi yang berhasil tidak akan banyak berarti jika 99 cabang lainnya berprestasi biasa saja. Hanya dengan menciptakan cabang-cabang berprestasi lainnya bisnis bisa terus tumbuh dan berkembang. Inilah alasan pertama mengapa bisnis memerlukan komunitas untuk berkolaborasi. Komunitas membantu knowledge worker untuk meningkatkan kompetensi melalui kolaborasi dan saling berbagi pengetahuan (knowledge sharing). Pengalaman keberhasilan di bagikan ke komunitas sehingga bisa diterapkan oleh knowledge worker lainnya. Kegagalan diambil pelajarannya sehingga tidak terulang lagi di masa depan. Pengetahuan yang sudah dikuasai disosialisasi dan disebarkan sehingga tidak terjadi pengulangan pekerjaan (reinventing the wheel).   

Komunitas pada akhirnya bertujuan untuk menyediakan tempat bagi para knowledge worker berkolaborasi dan menciptakan inovasi. Beberapa bisnis telah memiliki keunggulan dalam tingkat pengetahuan knowledge worker-nya yang merata. Bagi bisnis yang sudah siap seperti ini, maka komunitas berguna sebagai media kolaborasi yang sesungguhnya, yaitu penciptaan inovasi yang tidak dapat dilakukan oleh satu bidang atau satu kompetensi. Sama seperti Joomla. CMS yang fleksibel, memiliki bermacam fungsi dan dukungan dokumentasi yang mudah dimengerti hanya bisa diciptakan oleh sekumpulan programmer dari berbagai disiplin ilmu dan latar belakang dengan pengetahuan yang setara.     

Pertanyaannya sekarang bertambah. Komunitas seperti apa yang harus dikembangkan ? Bagaimana mengaitkan komunitas dengan kebutuhan organisasi ? Bagaimana memastikan pengetahuan yang di sharing dalam komunitas adalah pengetahuan yang memang dibutuhkan oleh organisasi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan saya bahas di artikel selanjutnya. 

Friday, September 14, 2012

Kolaborasi : Nilai tambah dan Pengaruhnya pada Bisnis



Apa model bisnis yang telah mengubah dunia ? Kolaborasi adalah jawabannya. Carl Wiess, pengarang buku The Collaborative Imperative, juga salah seorang Vice President Cisco, mengatakan bahwa saat ini kita sedang dalam persimpangan perubahan cara berbisnis. Persimpangan yang disebut Era Kolaborasi. Dulu semua bisnis berfokus pada penguasaan seluruh rantai produksi, mulai dari pra produksi (bahan baku, bagian peralatan, mesin, bahan tambahan), proses produksi itu sendiri (teknologi, efisiensi, mesin, pabrik) hingga ke pasca produksi (penjualan, logistik, gudang, customer service). Konglomerasi. Itulah model bisnis yang dipercayai oleh banyak dari entrepreneur dunia. Dan sayangnya, pada beberapa kasus juga mengantarkan pada penurunan bisnis itu sendiri.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi ? Para analis dan pakar menyebutkan bahwa fokus yang terbagi sebagai alasannya. Ketika sebuah bisnis mengambil alih industri dari hulu hingga hilir maka yang dibutuhkan bukan sekedar modal dan dana segar, tetapi juga kemampuan untuk menjalankan bisnis tersebut secara maksimal. Ada banyak komponen dari bisnis yang ketika diakusisi tidak dapat begitu saja diintegrasikan dengan bisnis inti. Organisasi akan bertambah besar, manajemen akan lebih mengedepankan birokrasi, pengambilan keputusan akan lebih lama dan pengetahuan yang dibutuhkan juga bertambah banyak. Faktor-faktor tersebut pada akhirnya membuat energi dan fokus perusahaan inti menjadi terbagi sehingga yang terjadi ialah kemampuan adaptasi terhadap perubahan kebutuhan pelanggan berkurang. Pada akhirnya, skala bisnis memang membesar tetapi penguasaan pasar akan menurun.

Alasan lainnya ialah karena pola pikir bahwa perusahaan dan bisnis adalah pusat dari kegiatan bisnis. Dulu ketika informasi masih barang berharga dan pelanggan hanya mendapatkan sedikit pilihan, perusahaan dengan bisnis konglomerasi cukup memberikan pasokan produk utama sebanyak-banyaknya. Saat itu, informasi adalah barang ekslusif yang hanya dimiliki oleh beberapa orang. Dulu ketika saya kecil, merek sabun mandi yang ada hanya Lifebuoy dan Cussons Imperial Leather. Pasta gigi hanya Pepsodent. Air mineral hanya Aqua. Tinggal pilih yang biasa dipakai dan saya pulang dengan gembira. Kini saya harus pusing tujuh keliling mencari sabun mandi saja. Satu merek bisa punya berbagai model. Ada yang parfum Jeruk, Apel, Strawberry. Ada yang untuk keluarga, untuk pria aktif atau yang bisa melembutkan kulit. Ada yang menggunakan bahan sintesis, ada pula yang dari bahan alami. Sudah nyaman dengan satu jenis sabun, tiba-tiba produknya tidak ditemukan lagi. Dan saya mulai mencari lagi sabun mandi yang cocok. Mengulang lagi mencoba untuk kemudian harus berganti lagi tidak lama kemudian.

Itu hanya dari memilih merek. Cara membeli pun bisa berbeda. Barang elektronik misalnya. Dulu kita harus mengelilingi satu kompleks Glodok untuk mencari jenis kabel atau amplifier yang berbeda-beda. Kini cukup buka saja situs online seperti Kaskus, Toko bagus.com atau Bhinneka.com untuk mencari kebutuhan kita. Semua ada disana. Tinggal pilih jenis apa, konfirmasi barang, bayar via e-banking dan tunggu dengan manis di rumah. Kurir akan mengantarkan keesokan harinya. Mau tahu kualitas barangnya ? Baca saja rekomendasi dan review yang bertebaran di internet. Atau tanya pada forum yang selalu antusias menjawab. Salah satu klien kami bahkan bercerita pengalamannya membeli audio di salah satu toko di Orchad Road, Singapura. Ketika ditanya produk mana yang cocok untuk home theater miliknya, penjaga toko malah menyuruhnya mencari di internet. Bukannya sombong atau tidak mau membantu, tetapi penjaga toko tidak tahu kebutuhan detail klien kami. Apakah dia suka audio untuk musik akustik, rock, hip hop atau pop. Ternyata ada perbedaan setting dan amplifier untuk jenis musik berbeda Dari pada salah memberikan rekomendasi, lebih baik pelanggan sendiri yang menentukan mana yang terbaik buat mereka.

Pelanggan ialah kata kuncinya. Dulu kita dipaksa membeli satu produk karena hanya produk itulah yang tersedia di pasaran. Kini pelanggan memiliki akses dan pilihan yang beragam. Muncullah pelanggan-pelanggan dengan kebutuhan spesial dan khusus. Dalam marketing, ini yang disebut sebagai niche market. Kelompok pelanggan yang rela membayar lebih banyak untuk ekslusifitas dan spesialisasi produk. Tapi apakah pelanggan di niche market mau membayar produk karena ekslusifitasnya ? Sebenarnya bukan karena itu. Mereka mau mengeluarkan uang lebih banyak karena ada nilai tambah yang tidak didapatkan dari produk biasa. Nilai tambah adalah alasan pelanggan membeli produk. Mengapa Anda membeli BlackBerry dan bukan BlueBerry, tiruannya dari China ? Ada yang menjawab karena push up email-nya, BlackBerry Messanger-nya atau sekedar gaya saja. Apapun itu, kita memilih membayar lebih mahal untuk BlackBerry karena ada nilai tambah bagi yang menguntungkan. Nilai tambah adalah margin harga yang akan ditolerir oleh pelanggan dan dari margin tersebut bisnis mendapatkan keuntungan. Penciptaan nilai tambah adalah inti dari semua strategi bisnis yang dilaksanakan perusahaan.

Penciptaan nilai tambah ini yang juga menjadi alasan mengapa konglomerasi sulit bertahan. Tidak perlu contoh bisnis milyaran untuk menggambarkan kesulitan yang Anda hadapi jika tetap memilih konglomerasi. Bayangkan jika Anda seorang pemilik rumah makan Padang dan Anda memilih untuk melakukan semua sendiri. Untuk membuat ayam sayur saja Anda memutuskan pergi ke peternakan, memilih ayam hidup, memotong, membersihkan, mengukus dan membumbuinya. Anda juga harus mencari pergi ke pasar untuk mendapatkan bumbu yang puluhan jumlahnya, mengolah bumbu tersebut, mencampurnya dengan ayam. Kemudian kembali ke dapur restoran, memasak dan memastikan bumbu sudah sesuai. Selesai ? Belum. Anda masih harus menyiapkan restoran untuk pelanggan. Lantai harus dipel, piring harus dicuci, pelanggan harus disapa hingga menghitung uang kembalian di meja kasir dan menyiapkan uang untuk belanja keesokan harinya. Itu baru untuk satu ayam sayur. Belum untuk rendang, ikan bakar, ayam pop, cumi isi, dan deretan menu lainnya.

Apa yang terjadi ? karena Anda sudah terlalu lelah keliling kota dan mengolah masakan, Anda melupakan nilai tambah yang paling penting. Hubungan dengan pelanggan. Karena fokus mencari ayam yang terbaik dan bumbu yang paling pas, Anda lupa memberikan senyum yang tulus, bertanya pendapat pelanggan tentang rasa makanan, atau sekedar menemani mengobrol dan berterima kasih ketika mereka selesai makan. Padahal, bagi beberapa orang kedekatan dan keramahan dari pemilik adalah faktor utama mereka tetap datang. Saya sangat terkesan dengan salah satu warung tenda di Semarang yang pemiliknya selalu menyapa pelanggan dengan nama mereka, menyiapkan menu sesuai kesukaan tanpa diminta dan mengantar kami hingga mobil. Itulah nilai tambah yang membuat warung tendanya terus kebanjiran pengunjung.

Itulah mengapa banyak organisasi bisnis mulai melepaskan bagian-bagian yang tidak begitu penting dan fokus pada memberikan nilai tambah melalui bisnis utamanya. Indosat salah satunya. Baru-baru ini mereka menjual 2.500 tower ke Tower Bersama Infrastructur Group agar bisa fokus pada layanan inti nirkabel. Contoh lainnya Seven Eleven dan banyak restoran lainnya yang menyerahkan tanggung jawab mengurus toilet dan kebersihan pada ISS. Atau bagian SDM yang menyerahkan urusan KM dan training pada konsultan seperti perusahaan kami. Anda tidak bisa bekerja dan berbisnis sendiri. Anda membutuhkan orang lain. Anda harus berkolaborasi

Kolaborasi dalam Menjalankan Bisnis
Perubahan bisnis, pada akhirnya berdampak juga pada bagaimana bisnis dan seluruh komponennya bekerja. Termasuk bagaimana pekerjaan diselesaikan dan pastinya bagaimana nilai tambah dihasilkan. Fokus bisnis tidak lagi menciptakan Superman, Wonder Woman atau sejenisnya. Team work adalah bahasa lain kolaborasi di tingkat pelaksanaan pekerjaan. Kompetensi bukan lagi difokuskan pada keahlian sertifikasi atau kecerdasan individu. Rekrutmen tidak lagi fokus pada tingginya IPK atau prestasi tetapi pada kemampuan untuk bekerja sama dalam tim dan menciptakan hal-hal baru yang tidak dapat Anda lakukan sendirian.

Yang menarik ialah kolaborasi tidak sama dengan mengumpulkan karyawan dalam divisi tertentu, memberikan data yang dapat diakses oleh semua orang, menentukan tujuan bersama, dan menciptakan inovasi, ide, nilai tambah secara bersama-sama. Kolaborasi yang sebenarnya bukan seperti itu. Kolaborasi membutuhkan orang-orang terbaik, dengan tingkat pengetahuan setara, keunikan dan kapabilitas yang unik serta memiliki fungsi dan peranan yang mendukung satu sama lain. Ketika bekerja dalam tim, kita sering mengatakan bahwa kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi. Setiap orang harus menerima perlakuan dan penghargaan yang sama.

Kolaborasi bukan berarti membantu yang lemah untuk mengatasi kekurangannya atau memperlakukan sama semua orang. Sekali lagi, itu bukan kolaborasi. Itu sosialisme. Kolaborasi seharusnya fokus pada pencapaian hal-hal besar yang tidak dapat dilakukan oleh satu orang. Steve Jobs dalam salah satu wawancaranya mengatakan “Successful collaboration involves competent individuals who have the right skill sets and attitude”. Fokusnya jelas. Bukan pada mengumpulkan karyawan, memberi job description yang rinci atau mengerjakan project bersama-sama  tetapi pada pemilihan individu dengan kompetensi dan sikap yang dapat menciptakan nilai tambah.   

Kesalahan pemahaman terhadap kolaborasi juga terjadi pada pendapat bahwa kolaborasi tidak membutuhkan pemimpin (leader). Kita terkadang percaya bahwa untuk meningkatkan ide, inovasi dan kolaborasi, keadaan tanpa pemimpin lebih baik daripada adanya pemimpin. Pada kenyataannya, yang terjadi adalah sebaliknya. Tim tanpa pemimpin cenderung tidak memiliki arah dan tidak bisa berpikir secara strategis untuk memecahkan masalah.

Kolaborasi tidak akan berguna bagi Anda dan bisnis yang dijalankan kecuali kolaborsi tersebut berjalan dengan benar, dilakukan oleh individu yang kompeten serta fokus pada penciptaan nilai tambah. Pernyataan ini menyisakan pertanyaan besar lainnya. Bagaimana menciptakan kolaborasi yang fokus pada nilai tambah ? Kata kuncinya ialah komunitas. Lets save it for next upcoming article.

Monday, September 10, 2012

Social Network Analysis : An Introduction



Di tulisan sebelumnya kita sudah membahas tentang apa itu social network, bentuknya dalam organisasi, serta bagaimana peranan social network dalam keseharian kita. Artikel ini akan lebih banyak mengungkap potensi social network dalam pekerjaan atau kehidupan sehari-hari serta konsep dasar dari Social network Analysis (SNA).

Social network secara singkat menggambarkan bagaimana hubungan dan interaksi berjalan antara individu di organisasi ataupun perusahaan. Interaksi tersebut dapat menjadi berbeda tergantung bagaimana kita memandangnya dan hasil yang ingin didapatkan. Contohnya ialah social network di sebuah unit kerja dan kehidupan pribadi kita.

Dari satu objek, kita bisa mendapatkan banyak sekali jenis social network. Social network di pekerjaan misalnya. Bentuk social network yang dihasilkan karena kebutuhan penyelesaian pekerjaan akan berbeda dengan social network yang dihasilkan dari penyebaran berita atau gossip. Perbedaaan ini terjadi karena alasan sederhana. Kita cenderung memilih dengan siapa akan berinteraksi. Rekan kerja yang kita butuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan bisa saja berbeda dengan rekan kerja yang kita anggap sahabat dan nyaman untuk bercerita. Begitupun ketika kita ingin bertanya hal teknis, diskusi ide, menyelesaikan tugas yang tertentu atau sharing pengetahuan. Kita, suka atau tidak suka, telah mengidentifikasi dan memilih dengan siapa akan berinteraksi dan untuk urusan apa. Sedikit menyebalkan memang, tetapi itulah nature manusia modern.

Sifat itulah yang mendasari Google membuat fitur Circle dalam aplikasi social medianya, Google Plus. Google sadar bahwa kita tidak ingin status “galau” yang kita tuliskan dibaca oleh bos atau klien. Begitupun kita tidak ingin posting motivasi atau terkait pekerjaan dikotori oleh beberapa teman yang tidak bisa menempatkan kata-kata pada tempatnya. Ya, walaupun tidak banyak dari kita yang menggunakan social media sebagai media branding personal tetapi tetap ada beberapa orang yang menggunakan social media sebagai tempat berkumpul dengan komunitas professional. LinkedIn contohnya. Social media ini lebih banyak ditujukan untuk professional atau entrepreneur yang hendak meluaskan jaringan pekerjaan dan peningkatan kompetensi. Contoh lainnya ialah beberapa perusahaan (korporasi atau personal) yang menggunakan Facebook sebagai media berhubungan dengan klien dan customer nya.

Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Terkadang kita menghindari berbicara terkait pekerjaan atau topik tertentu dengan beberapa orang. Entah karena perbedaan kebutuhan atau sekedar melupakan kerumitan dengan berdiskusi topik yang lebih ringan. Kita tidak berdiskusi bagaimana maintain client dengan pasangan atau berdiskusi tentang sepeda di komunitas motor. Kita melakukan ini. Sadar atau tidak. Suka atau tidak. Ini adalah hasil dari keteraturan dan keterbukaan informasi yang terkadang membuat kita berkumpul dengan individu yang memiliki kesukaan berbeda-beda.

Fakta yang menarik ialah ternyata dalam social network yang berbeda-beda tersebut sebenarnya ada pengetahuan, kesempatan, potensi dan kekuatan yang terkadang tidak kita sadari. Saya sering sekali mendapatkan kesempatan dan ilmu dari orang yang terkadang tidak disangka-sangka. Pekerjaan contohnya. Tawaran untuk bekerja sebagai konsultan saya dapatkan dari seorang teman yang secara kebetulan juga memiliki teman lain yang butuh pengganti dirinya sebagai konsultan di KMPlus. Semua terlihat kebetulan dan tidak direncanakan tetapi itulah kekuatan sebuah social network. Inilah potensi sebenarnya dari social network. Informasi dan pengetahuan sebenarnya kita dapatkan dari network itu sendiri. Bukan dari yang kita ketahui atau orang lain ketahui. No one knows everything, everyone knows something while all knowledge resides in humanity. Potensi yang besar tersebut hanya dapat terjadi jika social network saling berhubungan. Bayangkan jika saya tidak berdiskusi dengan teman saya tersebut dan dia juga tidak ngobrol via YM dengan teman SMUnya. Saya pasti masih terjebak dalam dunia marketing entah untuk berapa tahun lagi.

Kasus yang sama juga terjadi di organisasi formal dan terstruktur seperti perusahaan. Terkadang kita tidak menyadari bahwa orang yang terletak beberapa kubikal dari kita bisa jadi jalan keluar dari permasalahan pekerjaan yang sudah lama kita cari-cari. Sepele mungkin, tetapi jika berbicara dalam konteks perusahaan, keterlambatan penyelesaian masalah bisa berdampak pada kerugian bahkan kehilangan bisnis. Hal ini terjadi pada perusahaan tempat senior saya bekerja sebelumnya. Perusahaan tersebut adalah salah satu operator yang cukup ternama di Indonesia. Saat itu timnya sedang kebingungan mengatasi masalah interkoneksi jaringan yang berdampak pada voice call yang terus terputus. Masalah ini sudah sudah sedemikian rumit sehingga tim memutuskan meminta bantuan salah satu vendor. Sayangnya vendor juga tidak bisa banyak membantu tetapi mereka tahu siapa orang yang bisa menyelesaikan masalah tersebut. Anda tahu siapa orang tersebut ? Dia ada di perusahaan yang sama, lantai yang sama, hanya berbeda divisi, duduk tidak lebih 10 kubikal dari tim tersebut.

Hal serupa juga terjadi pada perusahaan sekelas Sempra Energy yang memiliki revenue mencapai 12 milyar USD. Pada satu titik, penjualan mereka menurun dan divisi marketing disalahkan karena tidak tercapainya target. Manajemen pun memutuskan pendekatan social network analysis sebagai salah satu alat untuk mengidentifikasi masalah. Mereka menemukan bahwa ternyata marketing yang selalu berhubungan dengan pelanggan kurang mampu memberikan penjelasan teknis dan problem solving yang dibutuhkan sehingga solusi pun tidak tepat dan pelanggan mulai berpindah. Marketing sebagai front liner diketahui terpisah dari para researcher dan programmer, pihak yang mengerti kebutuhan pelanggan dan solusinya secara menyeluruh. Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa researcher dan programmer sebagian besar terpisah dari social network untuk penyelesaian pekerjaan. Jika ada, hanya beberapa orang dengan jabatan tinggi yang terus menerus diakses oleh marketing dan divisi lainnya sehingga terjadi penyumbatan (bottleneck) informasi. Sebagai sebuah perusahaan yang menekankan pada solusi, hal ini adalah masalah besar. Manajemen pun melakukan beberapa langkah strategis diantaranya menguatkan kolaborasi antara marketing dan researcher serta programmer. Hasilnya, revenue kembali meningkat dan isolasi atas researcher dan programmer menurun.    

Network dalam Perspektif Social Network Analysis  
Bagaimana cara memanfaatkan network ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita sebaiknya mengetahui komponen network dalam social network analysis.


Network didefinisikan sebagai sekumpulan actor/nodes yang dihubungkan oleh ties/links. Actor/nodes adalah kita, individu yang terlibat dalam sebuah network dan ties/links adalah hubungan dan interaksi yang terjadi antara kita dengan individu lainnya dalam sebuah network (jaringan). Nodes juga dapat berupa departemen, stakeholder (customer, regulator, vendor), atau organisasi lain. Tergantung bagaimana kita hendak melakukan analisis. Ties (hubungan) juga berbeda-beda tergantung tujuan dan kebutuhan. Bisa berupa tugas, saran, keahlian, informasi strategis, prosedur, hingga kedekatan emosional (pertemanan atau percintaan).

Social Network Analysis (SNA) berpendapat bahwa hubungan antar nodes sesuatu yang penting. Fokus SNA untuk mengetahui actor/nodes yang terlibat dan bagaimana hubungan terjadi. Dengan siapa actor terhubung, seberapa kuat hubungan terjadi, seperti apa hubungan terjadi, apakah hubungan terjadi satu arah atau dua arah, bagamana hubungan difasilitasi, melalui media apa hubungan terjadi hingga ke aplikasi lainnya seperti siapa yang memiliki hubungan (ties) paling banyak, siapa yang terisolasi dalam networks, bagaimana jarak (gap) dan rentang (length) antar masing-masing nodes, dimana terjadi bottleneck, siapa yang menjadi key player dan sebagainya.   

Yang menarik dari SNA ialah kemampuannya menterjemahkan network dan dinamika didalamnya menjadi bentuk yang terukur dan dapat dipertanggung jawabkan.Hal tersebut karena ilmu dasar SNA adalah statistika. Jacob Levy Moreno pada awal tahun 1930 tercatat sebagai praktisi yang pertama kali menggunakan istilah social network analysis dalam papernya. Pada awalnya SNA adalah kumpulan data statistika yang diolah sedemikian rupa sehingga terlihat hubungan antara satu data dan lainnya. Kemudian berkembang menjadi cabang ilmu statistika baru yang disebut sebagai sociology statistic. Cabang ilmu yang tidak hanya mengedepankan data sebagai acuan tetapi menggunakan ilmu-ilmu social, khususnya psikologi dan sosiologi untuk melihat kaitan dan menginterpretasikan data tersebut.

Kemampuan SNA dalam memberikan bukti konkrit ini yang kemudian menarik banyak pihak untuk menggunakannya secara luas. Fleksibilitas SNA dalam menganalisis bentuk hubungan membuat aplikasi SNA digunakan tidak hanya di organisasi yang mencintai data seperti bisnis, tetapi juga pada dunia militer, kepolisian, pendidikan, counter terrorism, bahkan politik.

Data dasar SNA sebagian besar didapatkan dari hasil survey terhadap anggota network. Pertanyaan yang diberikan didesain untuk mengetahui bagaimana hubungan terjadi, dengan siapa hubungan dilakukan, seberapa besar kekuatan hubungan antara nodes/actor, hingga media yang digunakan. Aspek lainnya dapat digunakan tergantung kepada bagaimana hasil akhir yang ingin diketahui seperti bagaimana hubungan terjadi dalam penyebaran berita, penciptaan inovasi, penyelesaian pekerjaan, diskusi peningkatan kompetensi dan lainnya. Hasil survey kemudian dianalisis menggunakan tools dan perhitungan matematika. Tenang saja, tools yang ada tersedia gratis dan memiliki komunitas yang selalu siap membantu jika kita menemukan masalah. Saya akan membahas tools ini di artikel terpisah.

Kunci dari SNA sebenarnya bukan dari analisis tersebut tetapi dari bagaimana kita melihat dan mengambil kesimpulan dari hasil analisis. Disinilah aspek sosial dan pengetahuan terhadap karakteristik network berperan penting. Interpretasi yang didapatkan sangat tergantung pada bagaimana kita melihat data tersebut sebagai suatu kesatuan ataupun bagian-bagian terpisah. Pada akhirnya rekomendasi terhadap perbaikan untuk menjawab permasalahan awal adalah nilai tambah yang bisa memberikan perbedaan. Sejujurnya, sebagian besar praktisi SNA memiliki kekurangan dalam aspek interpretasi dan rekomendasi. Wajar saja mengingat praktisi SNA sebagian besar ialah akademisi yang kurang memahami bagaimana mengaplikasikan rekomendasi SNA agar memberikan nilai tambah. Ini juga mengapa SNA kemudian memiliki cabang baru yang lebih berfokus pada aplikasi di organisasi formal dan informal seperti bisnis, yaitu Organizational Network Analysis (ONA).

Cabang SNA inilah yang lebih banyak saya tekuni mengingat profesi saya sebagai konsultan dalam bidang Knowledge Management. Aplikasi ONA dalam KM lebih banyak untuk optimalisasi aliran pengetahuan dengan cara mengetahui hambatan dan isolasi pengetahuan, individu yang memiliki kompetensi (Subject Matter Experts) serta meningkatkan kolaborasi antara individu. Kita akan membahas aplikasi ONA dalam organisasi dan bisnis pada artikel selanjutnya.    



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...