Saturday, May 26, 2012

Knowledge Management dan Intangible Asset

Pertama kali saya bersinggungan dengan Knowledge Management (KM) ialah ketika bekerja di salah satu BUMN yang bergerak di bidang survey dan verifikasi. Ketika itu, saya dipanggil oleh bagian Risk Management untuk sharing tentang salah satu project yang sedang dikerjakan. Tim yang terdiri dari 4 orang senior, meminta saya untuk menerangkan garis besar project dalam suasana diskusi yang santai dan terbuka. Tidak mirip sama sekali dengan proses assessment risk management yang biasanya kaku dan tegang. Itulah Community of Practice (CoP) pertama saya. Dari sanalah saya mengenal istilah Knowledge Management. Tapi saat itu tujuan utama Knowledge Management belum banyak saya ketahui. Lewat bangku kuliah magister, saya baru mengerti tujuan utama Knowledge Management yaitu untuk peningkatan bisnis melalui pengelolaan pengetahuan yang sebagian besar ada di kepala pegawai menjadi pengetahuan milik perusahaan. Salah satunya melalui penyajian dalam bentuk dokumen (tacit to explicit) dan sharing antar Subject Matter Expert (tacit to tacit).

Jujur saja, ketika itu skeptisme langsung menyebar di kepala. Budaya perusahaan di Indonesia yang masih ortodoks, senioritas, serta menganggap pengetahuan sebagai power adalah salah satunya. Itupun yang terjadi ketika beberapa rekan kerja di kantor menolak memberikan detail project karena alasan takut ilmunya diambil dan akhirnya kehilangan posisi atau jabatan. Perasaan itulah yang terjadi di sebagian besar organisasi saat ini. Pengetahuan masih dianggap benda keramat yang harus dijaga sebaik mungkin. Budaya yang salah itu pun terbentuk akibat kondisi yang juga mendukung. Perusahaan sebagai wadah pegawai bersikap tidak bersahabat terhadap pengelolaan pengetahuan. Intangible asset masih belum dianggap hal yang penting untuk dipelihara. Keahlian pegawai belum dianggap sebagai nilai tambah yang perlu dilindungi dan dikembangkan. Kebanyakan organisasi lebih mementingkan nilai buku dan  tangible asset sebagai pertimbangan.

Pemikiran itu sebenarnya tidaklah salah. Bagaimanapun juga, bisnis bukan lembaga amal dimana uang adalah hal yang dapat dihamburkan begitu saja. Saya setuju dengan pendapat bahwa setiap uang yang dikeluarkan oleh perusahaan harus memberikan timbal balik dan diukur nilai kontribusinya. “There’s no such things called free lunch”.

Knowledge Management dengan pengelolaan intangible asset sayangnya kerap menjadi tersangka utama dalam proses menghamburkan uang tersebut. Alasannya simple, yaitu intangible asset sebagai objek utama Knowledge Management tidak bisa dihitung sebagai layaknya bangunan, laba rugi ataupun nilai buku lainnya (walaupun, sebenarnya ada metode pengukuran Return of Investment (ROI) dari Knowledge Management, tapi kita tidak akan membahas itu ditulisan ini. Anda bisa membaca tentang ROI Knowledge Management di sini).

Pertanyaannya apakah memang intangible asset tidak dibutuhkan untuk perusahaan ? Toh pada akhirnya tidak bisa dihitung dan dipertanggung jawabkan? Pendapat ini pun tidak bisa dibenarkan. Jika melihat lebih dalam, perusahaan sebagai unit bisnis bukan dihitung berapa besar bangunannya, berapa banyak mobil yang terparkir di garasinya atau seberapa luas pabriknya. Perusahaan akan dihitung besar jika neraca keuangannya positif. Pertanyaannya apakah neraca keuangan positif dihasilkan oleh gedung atau pabrik yang besar? Tentu saja bukan, karena gedung dan fasilitas merupakan komponen negatif di neraca. Perusahaan dianggap besar karena ada kontribusi positif dari sumberdaya yang ada di perusahaan tersebut. Perusahaan akan besar jika ada image yang baik akibat usaha yang secara terus menerus oleh karyawannya. Juga karena penjualan yang terus meningkat akibat dari inovasi yang sekali lagi dihasilkan oleh karyawan di perusahaan tersebut.

Contoh mudahnya ialah sebuah ruko berlantai 3. Jika ruko tersebut dijadikan toko kelontong, beberapa orang mungkin akan sekedar lewat karena tidak tertarik. Besaran uang yang berputar pun akan berkisar maksimal 300-500 juta perbulan. Tetapi jika ruko tiga lantai tersebut digunakan sebagai kantor sebuah bank terbesar di Indonesia lengkap dengan karyawannya yang memiliki kompetensi tinggi maka tiba-tiba saja ruko tersebut menjadi sorotan publik. Uang yang beredar di sana pun akan jauh melebihi angka ratusan juta. Miliar bahkan Triliun adalah jumlah yang sangat mungkin.

Inilah sisi lain intangible asset yang kerap terlupakan oleh perusahaan. Ruko tersebut menjadi berharga karena ada image dan karyawan berkompetensi yang selalu menjaga reputasi bank dengan sepenuh hati. Tanpa hal tersebut, maka ruko itu hanyalah bangunan kosong yang paling tinggi berharga ratusan juta rupiah. Sangat mudah melihat kontribusi intangible asset dalam perhitungan sederhana, khususnya bagi perusahaan yang sudah go public. Cukup kurangkan nilai buku perusahaan (fasilitas, asset nyata dan lainnya) dengan nilai saham di pasar. Berikut beberapa perusahaan yang saya sampaikan sebagai bahan pertimbangan :



Dari data tersebut, kontribusi intangible asset yang dimiliki oleh perusahaan bernilai hingga 5 kali nilai tangible asset nya. Beberapa perusahaan bahkan punya nilai intangible asset mencapai 10 kali lipat. Contoh yang paling menarik lainnya ialah penjualan Facebook baru-baru ini. Menurut data terakhir, nilai Facebook setara US$104 milyar. Jika diasumsikan dengan US$1 sebesar 10 ribu rupiah, maka Facebook akan seharga kira-kira Rp. 10.400 triliyun ! Jumlah yang sangat signifikan untuk sebuah perusahaan yang baru berdiri kurang dari 10 tahun. Jika melihat ke dalam negeri, fenomena tingginya intangible asset juga terjadi pada pembelian sebagian saham Kaskus, situs komunitas terbesar di Indonesia oleh anak perusahaan grup Djarum sebesar Rp. 1 triliun. Apakah yang dibeli oleh Djarum ialah kantor Kaskus yang hanya kontrakan atau servernya yang menampung data perbincangan penggunanya atau asset kaskus lainnya?? Bukan, yang dibeli oleh Djarum ialah sistem pengelolaan, penggunanya yang fanatik, reputasinya yang dikenal di seluruh Indonesia serta karyawannya yang bekerja dengan sepenuh hati untuk menjadikan Kaskus sebagai komunitas online paling besar di Indonesia.

Pada akhirnya, entah apapun posisi kita dan dimana pun kita berada, sudah seharusnya menaruh perhatian yang lebih besar pada intangible asset. Jika dikelola dengan baik maka intangible asset adalah titik kunci yang akan mengantarkan organisasi menjadi unggul di bidangnya. Pertanyaannya kini berubah menjadi bagaimana cara menggunakan intangible asset menjadi daya saing bagi perusahaan. Walaupun topic yang saya tulis ini tidak lagi baru bagi sebagian orang, tetapi sebagian besar organisasi yang berusaha mengelola intangible asset menjadi nilai tambah ternyata mengalami kegagalan. Disinilah, Knowledge Management mengambil peranan. Kesalahan sebenarnya bukan pada Knowledge Management atau intangible asset,  tetapi pada cara pandang dan aplikasinya. Knowledge Management dan bisnis seringkali dipandang sebagai dua mahluk yang berbeda, padahal Knowledge Management ada karena kebutuhan bisnis dan begitupun sebaliknya.

Kita akan banyak berdiskusi tentang ini ditulisan selanjutnya.

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...