Satria (bukan nama sebenarnya) adalah seorang karyawan perusahaan
multinasional yang sudah tiga tahun bekerja dengan jabatan saat ini sebagai
seorang Assistant RnD Manager. Dalam pekerjaannya, Satria bertanggung jawab
mendesain bisnis baru dan mengujinya dalam skala kecil. Sebagai karyawan di
Jakarta, Satria memiliki satu permasalahan yang kerap mengganggunya.
Dia tinggal di daerah Bogor yang membutuhkan banyak tenaga untuk sekedar
pulang pergi kantor-rumah. Jam masuk kantor yang dimulai pukul 08.00 membuat
Satria harus berangkat pukul 05.00 dari rumahnya menuju stasiun Bogor untuk
kemudian menunggu kereta, berdesakan dengan ribuan karyawan lainnya selama 2,5
jam dan tiba di stasiun Sudirman jam 07.30. Belum selesai, Satria harus naik
ojek langganannya menuju kantor yang jalurnya macet di pagi hari. Pukul 07.50,
Satria tiba di lobby kantor untuk kemudian berburu waktu mengejar absen. Jika
beruntung, Satria akan tepat waktu dan jika tidak maka dia harus berlapang dada
membuat catatan mengapa dia terlambat pagi itu.
Sudah selesai? Sayangnya belum. Pulang kerja adalah peperangan lain yang
harus dihadapinya. Selesai dengan pekerjaan kantor, tepat pukul 17.00, Satria
sudah antri di depan mesin absen untuk bergegas mengejar bus menuju Stasiun
Sudirman. Targetnya adalah kereta jam 17.45 yang sudah berjubel dengan orang.
Setelah 2,5 jam perjalanan (yang kadang juga bertambah jika ada kerusakan
sistem) serta satu kaki berpijak karena penuhnya kereta, Satria tiba di rumah
jam 21.00 malam. Beristirahat di kasur untuk kemudian mengulang lagi aktivitas
yang sama esok harinya.
Familiar dengan cerita diatas? Satria dan ribuan orang lainnya adalah
model karyawan dengan jabatan menengah dan bawah yang ada di Jakarta. Semua
energi mereka sudah terkuras untuk mencapai tempat kerja dan tentu saja
menyelesaikan tugas rutinnya. Maka ketika ada inisiatif KM yang Anda
perkenalkan, mereka adalah pihak-pihak yang mungkin saja menolak terlibat.
Alasannya tentu saja adalah waktu. “Saya tidak punya waktu untuk ikut
CoP karena harus mengejar kereta” atau “Saya tidak bisa membuat materi sebagai
pembicara karena tidak sempat menyiapkan bahan di malam hari”. Tentu saja
mereka tidak sempat. Saya pun akan mengatakan hal yang sama jika menjadi
Satria.
Hambatan-hambatan seperti ini yang terkadang menjadi penentu antara
sukses atau tidaknya sebuah inisiatif KM. Anda mungkin bisa membuat aktivitas
yang mampu memotivasi Satria dan rekan-rekannya tetapi selama hambatan ini
tidak dikurangi, Satria akan tetap kesulitan mengikuti aktivitas KM.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita membantu Satria dan karyawan lainnya
mengatasi hambatan tersebut. Untuk menjawab itu, saya ingin menunjukkan sebuah
penelitian yang dilakukan Fraunhofer Institute tentang hambatan yang
menghalangi seseorang terlibat inisiatif KM. Berikut 10 jawaban tertinggi
berdasarkan peringkat :
1.
Kurangnya
Waktu
2.
Kurangnya
kesadaran terhadap pentingnya KM
3.
Kurangnya
kesadaran terhadap pentingnya pengetahuan
4.
Pengetahuan
adalah kekuatan
5.
Kurangnya sistem
penghargaan
6.
Kurangnya
transparansi
7.
Spesialisasi
8.
Struktur
sistem IT KM yang tidak tepat
9.
Tidak
terorganisasinya sharing pengetahuan
10.
Budaya
perusahaan yang tidak mendukung
Fakta yang menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa dua
pilihan pertama (kurangnya waktu dan kurangnya kesadaran terhadap pentingnya
KM) dipilih oleh hampir 70 % responden dan jawaban ke 3 hingga 10 hanya dipilih
oleh 30 % responden. Dapat disimpulkan bahwa dua pilihan pertama tersebut
merupakan hambatan utama dalam inisiatif KM.
Saya tertarik untuk membahas 3 besar hambatan dalam KM dan bagaimana
kita dapat mengatasinya.
Hambatan 1 : Kurangnya waktu
Tidak ada waktu selalu jadi alasan utama ketika kita ingin menghindari
suatu aktivitas. Well, memang benar
kita tidak punya waktu untuk melakukan semua aktivitas. Tetapi pertanyaannya
kenapa kita selalu punya waktu untuk makan dan minum, tapi tidak untuk KM ?
Jawabannya pasti karena kita butuh makan dan minum. Tanpa makan dan minum kita
tidak bisa hidup sedangkan tanpa KM kita masih bisa bernafas. Dan itulah alasan
dari semua jawaban mengapa kita tidak punya waktu. Masalah sebenarnya bukan
karena kita tidak punya waktu tetapi kita tidak menjadikan aktivitas tersebut
sebagai prioritas.
Penempatan prioritas aktivitas sangat tergantung dari cara kita
menganggap seberapa penting aktivitas tersebut. Anda mungkin saja melewatkan
pesanan belanja dari istri tetapi Anda tidak mungkin melewatkan pesanan
tersebut jika istri Anda mengancam akan kabur dari rumah kalau Anda tidak
membelikan pesanan belanja bulanannya. Ekstrim memang, tetapi contoh itu juga
berlaku bagi kehidupan professional Anda.
Anda pasti memilih meeting
bulanan daripada mengobrol lama-lama di kafe kantor atau merelakan waktu libur
dan kerja lembur demi mengerjakan tender yang akan di submit hari Senin. Hal yang sama terjadi ketika Anda dikejar deadline report dan ada undangan untuk
mengikuti CoP siang hari. Anda pasti memilih report dibanding CoP, terlepas dari semua manfaat jangka panjangnya
untuk karier Anda.
Bagaimana kita mengatasi ini? Kurangnya prioritas terhadap KM memang
selalu menjadi masalah yang sulit dipecahkan. Di satu sisi, perusahaan dan Anda
menyadari bahwa secara jangka panjang KM adalah kunci sukses keberhasilan
sedangkan di sisi lain, tuntutan pekerjaan adalah sebuah keharusan. Disinilah
komitmen dan dukungan manajemen berperan penting. Prioritas pekerjaan
bagaimanapun juga adalah tanggung jawab manajemen dan atasan. Jika sejak awal,
KM tidak dijadikan sebuah prioritas oleh manajemen, maka selamanya karyawan
tidak akan punya waktu untuk mengikuti inisiatif KM.
Beberapa klien kami sangat menyadari hal ini dan mereka membuat
terobosan yang patut dipuji. Salah satu bank swasta terbesar di Indonesia
memberikan kelonggaran bagi karyawannya untuk melaksanakan aktivitas KM berupa
CoP dengan menggunakan waktu kerja. Tentu saja waktunya dibatasi dan diatur,
yaitu 1 jam maksimal menggunakan waktu kerja dengan pilihan pagi hari, setelah
makan siang atau sore hari sebelum jam pulang. Strategi lainnya ialah dengan
menggabungkan aktivitas KM bersama dengan proses kerja (embedded process) seperti yang dilakukan salah satu retailer
terbesar.
Meningkatkan prioritas di level karyawan juga dapat dicapai dengan
menentukan tujuan dan manfaat yang jelas untuk setiap aktivitas. Dengan cara
ini, karyawan dan anggota organisasi dapat melihat dan menilai apakah aktivitas
KM tersebut memang mereka butuhkan atau tidak. Ketika manfaat tersebut diterima
oleh anggota organisasi maka mereka akan menyisakan sedikit waktu bahkan jika
perlu diluar waktu kerja untuk mengikuti CoP.
Salah satu contoh suksesnya adalah Project
Management Club yang ada di salah satu operator terbesar Indonesia.
Anggotanya rela mengikuti sesi diskusi yang diadakan jam 7 malam setiap hari
Rabu karena merasakan manfaat dalam proses mengambil sertifikasi PMP (Project Management Professional) yang
terkenal sulit.
Hambatan 2 : Kurangnya kesadaran
terhadap pentingnya KM
Harus diakui bahwa KM adalah “barang baru” di lingkungan bisnis
Indonesia. Walaupun istilah dan aplikasinya sudah dimulai sejak puluhan tahun
lalu, tetapi iklim bisnis Indonesia yang lebih banyak bergerak dibidang
pekerjaan rutin dan tidak membutuhkan banyak intelektual, membuat inisiatif KM
baru benar-benar berjalan beberapa tahun terakhir.
Walaupun sudah berjalan di beberapa perusahaan, anggota organisasi
sendiri belum banyak memahami bahwa KM adalah bagian dari pekerjaan mereka. Hal
ini bisa dilihat sebagai fakta yang baik ataupun buruk. Dianggap baik jika
kegiatan KM seperti knowledge sharing,
peer assist, dan aktivitas lainnya sudah dilakukan tanpa disadari oleh
anggota organisasi. Artinya, aktivitas mengalirkan pengetahuan tersebut sudah
secara langsung termasuk dalam aktivitas rutin pekerjaan dan memberikan nilai
yang tinggi bagi organisasi.
Tetapi menjadi buruk ketika aktivitas mengalirkan pengetahuan tidak
berjalan atau walaupun sudah berjalan tapi masih belum memberikan dampak
terhadap kinerja organisasi. Keadaan yang juga perlu diwaspadai adalah ketika
aktivitas mengalirkan pengetahuan hanya dianggap sebagai tugas wajib mingguan
yang hanya dikerjakan, demi mengejar pemenuhan KPI misalnya.
Metode yang banyak digunakan untuk mengatasi hambatan ini adalah dengan
“memaksa” anggota organisasi dengan sejumlah target pelaksanaan aktivitas KM.
Bahkan beberapa organisasi menggunakan jumlah pelaksanaan CoP sebagai KPI tim.
Banyak pakar KM yang menolak metode ini. Alasan mereka adalah karena secara
jangka panjang, kualitas pengetahuan yang di sharing dan dokumen pengetahuan yang dihasilkan tidak akan bagus
karena cenderung mengejar kuantitas.
Saya sendiri berpendapat bahwa metode paksaan ini bukanlah barang haram
yang tidak boleh sama sekali dilakukan tetapi juga bukan metode yang menjadi
pilihan pertama. Pertama kali ketika memulai inisiatif KM, sangat penting bagi KMers untuk menciptakan awareness atau kesadaran akan manfaat
KM. Awareness atau kesadaran
terkadang menjadi hal yang diremehkan. Kita seringkali beranggapan dengan
ancaman KPI atau peraturan perusahaan sudah cukup untuk menciptakan awareness.
Untuk jangka panjang, pendekatan ini mungkin berhasil. Tetapi tidak untuk
jangka panjang.
Pentingnya awareness juga
menjadi fokus dalam pemilihan unit kerja yang akan dijadikan pilot project implementasi KM. Pilihlah
tim atau unit kerja yang memang memiliki budaya sharing dan teamwork yang
tinggi dimana keberhasilan mereka dapat dilihat dan diakui oleh seluruh
organisasi. Perkenalkan inisiatif KM dan bangkitkan kesadaran akan pentingnya
KM, laksanakan beberapa aktivitas KM seperti sharing dan CoP. Jangan lupa kembangkan insentif non fisik, dan
fisik jika perlu, bagi individu yang berkontribusi signifikan. Jika aktivitas
KM tersebut diterima dan sudah memberikan efek terhadap peningkatan kinerja
maka sebarkanlah kesuksesan (success
stories) tersebut ke seluruh organisasi. Success stories akan membuat anggota organisasi lain tertarik dan
mulai menyadari manfaat KM. Selanjutnya, Anda dapat memperluas area percontohan
yang dilakukan hingga seluruh organisasi melaksanakan KM.
Jika metode pilot project dan success stories ini tetap tidak
berhasil, maka barulah metode paksaan dapat Anda coba. Tetapi sekali lagi,
metode paksaan adalah jalan terakhir yang Anda pilih. Itupun dengan semua
kontrol dan filter yang ketat terhadap kualitas sharing dan dokumen yang dihasilkan.
Hambatan 3 : Kurangnya kesadaran
terhadap pentingnya pengetahuan
Kurangnya kesadaran terhadap pentingnya pengetahuan dapat dilihat dari
dua sisi, pertama ialah anggota organisasi kurang memiliki kesadaran bahwa
pengetahuan merupakan kunci sukses karier dan pelaksanaan pekerjaan mereka.
Kedua adalah anggota organisasi tidak menyadari bahwa pengetahuan dan
pengalaman yang mereka miliki berharga bagi anggota organisasi lainnya.
Sisi pertama merupakan keadaan yang cukup buruk bagi organisasi.
Pengetahuan, seperti yang kita bahas di artikel-artikel awal, adalah kunci
kesuksesan bagi organisasi dan individunya. Tanpa pengetahuan yang advance dan innovative, organisasi sangat rentan terhadap ancaman dari
pesaingnya. Kesadaran terhadap pentingnya pengetahuan merupakan dasar dari
semua inisiatif KM. Tanpa kesadaran ini, KM akan mati dan menghabiskan anggaran
organisasi.
Hal ini pula yang mendasari kami sebagai konsultan KM selalu berusaha
memulai inisiatif KM dengan memberikan workshop
tentang pengetahuan dan peranan KM dalam meningkatkan pengetahuan tersebut.
Anda pun dapat melakukan hal yang sama dengan menyusun kampanye dan aktivitas
yang bertujuan meningkatkan kesadaran KM di organisasi. Metode yang paling
banyak dilakukan tentu saja adalah workshop
dan menciptakan KM Agents yang akan
menyebarkan pentingnya pengetahuan keseluruh organisasi hingga level karyawan
operasional. Saya membahas tentang KM Agents di artikel terpisah. Cara lainnya
adalah dengan membuat kampanye berupa acara-acara kreatif yang menunjukkan
bagaimana pengetahuan bisa memberikan perbedaan sangat besar bagi organisasi
dan individu.
Apapun inisiatif dan aktivitasnya,
hasil akhirnya haruslah berupa “rasa lapar” terhadap pengetahuan yang muncul
dari masing-masing anggota organisasi.
Sisi lain dari kurangnya kesadaran akan pengetahuan adalah anggota
organisasi memandang remeh pengetahuan yang mereka miliki. Kita sering kali
menganggap pengetahuan, pengalaman bertahun-tahun atau keahlian yang terus
diasah adalah hal yang biasa-biasa saja.
Contoh paling jelas adalah salah satu klien kami. Beliau adalah salah
seorang pelopor industri KPR di perbankan Indonesia. Ketika akan memasuki masa
pensiun, beliau diminta untuk membuat buku yang materinya adalah pengalaman dan
wisdom selama menangani bisnis KPR.
Awalnya beliau berkata, “Ah, pengetahuan saya kan hanya segini saja. Bisnis KPR
juga hanya itu-itu saja. Tidak ada yang benar-benar baru”. Tetapi ketika kami
mulai membantu beliau menuliskan pengetahuan dan wisdom nya dalam bentuk buku, kami dan tim internal klien menemukan
banyak sekali advance dan innovative knowledge yang berpotensi
dikembangkan sebagai bisnis baru. Bayangkan jika beliau tidak menuliskan
pengetahuan dan wisdom nya, berapa banyak
potensi bisnis yang hilang?
Alasan mengapa banyak dari kita meremehkan pengetahuan yang dimiliki
adalah karena kita salah menilai keunikan pengetahuan tersebut. Kita cenderung
menganggap bahwa pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki hanya terjadi pada
kita dan tidak pada orang lain. Pada kenyataannya, orang lain juga mengalami
masalah yang sama, kasus yang sama, dan kebutuhan atas solusi yang sama.
Bagaimana mengatasi hambatan ini? Anda dapat memulainya dengan
menciptakan sistem yang memungkinkan para pemilik pengetahuan mengetahui
seberapa besar pengetahuan mereka berguna bagi orang lain. Dengan memberikan
informasi bahwa pengetahuan tersebut berguna, mereka akan termotivasi untuk
terlibat lebih banyak lagi dalam aktivitas sharing pengetahuan yang secara
tidak langung memberikan kepercayaan diri bagi pemilik pengetahuan lainnya
untuk ikut membagikan pengetahuan mereka.
Sistem KM berbasis IT sangat berguna dalam kasus ini. Jumlah tanggapan
dan komentar akan memberikan bukti konkrit kebutuhan pihak lain terhadap
pengetahuan yang dimiliki. Jika Anda belum memiliki sistem KM berbasis IT,
metode success stories dan testimonial lagi-lagi cara yang sangat
tepat untuk kasus ini.
Cara lain yang juga menarik diterapkan ialah dengan menggunakan knowledge intermediate, yaitu
individu-individu yang secara khusus bekerja sama dengan para ahli atau SME
untuk mendokumentasikan pengetahuan yang dimiliki oleh SME tersebut. Seperti
kita tahu, SME pada umumnya adalah individu dengan jabatan dan senioritas yang
cukup tinggi di organisasinya. Mereka seringkali tidak memiliki waktu untuk
menuliskan atau membagikan pengetahuannya. Disinilah peranan knowledge intermediate muncul. Mereka
mengubah pengetahuan yang ada di kepala SME (tacit knowledge) menjadi dokumen pengetahuan (explicit knowledge) yang dapat digunakan kapan saja. Proses ini
juga lebih dikenal sebagai knowledge
harvesting. Beberapa klien kami bahkan secara serius melakukan knowledge harvesting bagi karyawannya
yang akan memasuki masa pensiun.
Final Note
Motivasi dan hambatan adalah faktor yang selalu ada, baik dalam KM
ataupun aktivitas bisnis lainnya. Anda tidak dapat menghindarinya tetapi bukan
berarti tidak dapat dikendalikan. Maksimalkan motivasi sebagai faktor pendorong
serta pastikan hambatan yang muncul tidak menjadi alasan anggota organisasi
menolak ikut terlibat dalam KM.
Tidak semua orang memandang dunia seperti kita memandangnya.
Tantangannya bukanlah menciptakan sistem atau aktivitas yang memaksa mereka
memandang dunia dengan kacamata kita tetapi pada bagaimana menciptakan
kesadaran dan ketertarikan terhadap ide dan pandangan tersebut. Hanya dengan
ini, kita bisa melakukan apa yang disebut oleh Jokowi, Walikota DKI Jakarta
sebagai, memanusiakan manusia.
0 comments:
Post a Comment