Apa yang kita tahu tentang Knowledge Management ?

Binatang apa knowledge management itu? Satu hal yang pasti. KM menarik, menyenangkan, berbagi dan paling penting, memberikan nilai tambah.

Apa yang paling penting di organisasi?

Jika kita terlibat di organisasi, apa aset yang paling penting? Fasilitas, komputer, meja atau orang-orang yang berkompetensi di bidangnya? Temukan jawabannya disini

Apakah yang diatas selalu paling hebat?

Dalam organisasi formal yang terdapat atasan, rekan, dan bawahan, terkadang ada beberapa orang yang lebih banyak disukai dan dicari dibandingkan orang lain. Anehnya, orang itu tidak selalu atasan. Terkadang, dia hanya orang biasa. Network Analysis membantu kita mengidentifikasi mereka

Butuh referensi tentang Knowledge Management?

"Ilmu itu hanya milik Tuhan", kata seorang bijak. Jadi, kenapa harus menyimpannya untuk diri sendiri ? Lets share !

About Me

Ok, this section is not important. Tapi jika anda punya semangat dan ketertarikan yang besar dibidang KM, maka kita bisa lebih mengenal.

Monday, June 23, 2014

Menjual Knowledge Management tanpa Knowledge Management


Beberapa dari Anda mungkin tergelitik dengan judul artikel ini. Bagaimana mungkin menjual Knowledge Management tanpa Knowledge Management? Jawabannya bermula dari diskusi saya dan beberapa rekan KMers di salah satu mall di bundaran Sudirman.

"Istilah Knowledge Management sebaiknya dihilangkan saja kalau kita mau Knowledge Management dikenal dan di support oleh perusahaan". Kira-kira seperti itu pendapat rekan di tengah diskusi kami. "Alasannya karena Knowledge Management (KM) itu sendiri sangat tidak jelas. Internal organisasi cenderung bingung tentang istilah itu. Apa itu knowledge saja masih bingung, pengetahuan seperti apa? Kalau dari pengetahuan saja sudah bingung, bagaimana mau mengelolanya?" lanjutnya rekan saya.

Harus diakui, pendapat rekan KMers itu benar juga. Bahkan saya pun kadang sering sulit menjelaskan apa itu Knowledge Management. Saya lebih sering menggunakan contoh terganggunya bisnis karena hilangnya individu berpengalaman atau kesalahan yang terus berulang karena organisasi tidak belajar dari pengalamannya. Itu pun terkadang beberapa klien masih mengerenyitkan dahi. Mereka umumnya baru mengerti ketika saya mengambil contoh aktual dalam keseharian pekerjaan mereka. 

Masalahnya ialah, tidak semua orang mampu menjelaskan KM segamblang itu. Mengharapkan penjelasan KM dari istilah formal atau sains sama saja. Dijamin anggota organisasi pasti bertambah bingung. Kalau Anda berpikir ini terjadi hanya di Indonesia, maka Anda salah. Kesulitan yang sama juga saya dapatkan dari beberapa partner di Knoco Ltd. Bahkan Tom Young, salah satu founder Knoco Ltd. berkata bahwa istilah KM masih sulit diterima oleh beberapa organisasi yang berbasis di Eropa. So, its common problem.

Kesulitan pun tidak hanya berhenti dari menjelaskan apa itu KM. Ketika saya berhasil membangun pemahaman sederhana tentang KM ke klien, yang terjadi selanjutnya adalah pertanyaan tentang bagaimana bentuk konkrit dan aktivitas KM. Penjelasan yang saya sebutkan biasanya ialah tentang Community of Practice (CoP), knowledge sharing, dokumentasi pembelajaran serta beberapa IT sistem seperti forum atau Wiki. Klien pun akan kembali berkerut dahi. 

"Apa bedanya CoP atau knowledge sharing dengan meeting? Apa bedanya dokumentasi pembelajaran dengan pencatatan data di ISO? Apa bedanya KM portal dengan  fasilitas chat atau mailing list?" Pertanyaan dan respons tersebut kerap kali muncul dari diskusi kami. Saya pun akan menjelaskan dengan panjang lebar tentang KM. 

Tapi bukan itu masalahnya. Penjelasan KM dengan pendekatan yang saya lakukan sangat panjang dan membutuhkan pemahaman yang komprehensif. Lalu bagaimana dengan anggota internal organisasi yang ditugaskan untuk mengenalkan KM, padahal baru mendengar istilah KM beberapa hari saja? Atau KM agents yang hanya mendapat training tentang KM selama dua hari? Atau ketika berbicara dengan rekan kerja di tingkat operator yang sudah disibukkan dengan aktivitas hariannya? Tentu menjelaskan KM adalah tugas yang menyulitkan, kalau tidak bisa dibilang mengerikan.

Memang, KM bukan sesuatu yang bersifat praktikal atau gamblang seperti training dan meeting. KM berbicara di tingkat strategik sehingga butuh pemahaman lebih untuk mengerti KM secara lengkap. Tapi justru disinilah kelemahan KM. Karena terlalu strategik dan harus disesuaikan dengan budaya perusahaan, KM tidak memiliki bentuk pasti yang mudah dilihat. Akhirnya CoP pun disamakan dengan meeting, dokumen pembelajaran disamakan dengan notulen, KM berbasis IT disamakan dengan online forum dan chat. Ketika pemahaman ini yang tersampaikan, maka KM menjadi tidak menarik lagi.

Inilah yang kemudian menjadi alasan rekan KMers mengatakan istilah Knowledge Management sebaiknya tidak digunakan lagi. Menurutnya, lebih baik gunakan istilah yang lebih mudah dilihat bentuk aktivitasnya. Langsung saja pakai Community of Practice, After Action Review, knowledge retention, Corporate Wiki, online forum dan bentuk aktivitas KM lainnya. Dengan contoh yang real seperti itu, KM akan lebih mudah diterima. Setelah mereka mulai tertarik, maka mulailah menjelaskan bentuk KM yang lebih komprehensif.

Saran rekan tersebut sangat benar. Saat ini di Indonesia, KM sudah banyak dikenal di lingkungan organisasi maupun perusahaan berkat adanya MAKE Awards yang disponsori oleh Dunamis. Tetapi pemahaman tersebut hanya terbatas pada beberapa individu yang bertanggung jawab untuk KM. Sisanya, malah belum pernah mendengar istilah KM.

Pertanyaan lain yang menarik bagi saya ialah, apakah KM memang harus dikenal oleh semua orang. Setelah banyak berpikir, saya pribadi sependapat bahwa KM sebaiknya tidak dikenal sebagai KM. Alasannya selain karena KM sangat abstrak dan unik, ialah sifat KM yang strategik. Artinya, KM memang cukup dimengerti oleh bagian organisasi yang fokus pada aktivitas strategik, seperti Divisi Perencanaan Strategic, Business Development, serta Top Management Level. Anggota organisasi lain cukuplah tahu tentang mengapa mereka harus terus belajar dan bagaimana cara memanfaatkan pengalaman untuk membantu pekerjaannya. Dengan pendekatan ini, anggota organisasi dapat fokus pada melakukan aktivitas KM daripada mencerna definisi KM itu sendiri.

Hal yang sama juga berlaku bagi industri KM itu sendiri. Saat ini harus diakui KM memang sudah mulai dikenal, tapi penetrasinya masih rendah, jika dibandingkan dengan populasi industri itu sendiri. Hanya perusahaan yang sudah cukup besar dan memiliki sumberdaya memadai yang serius melihat KM sebagai prioritas. Sisanya masih berjuang untuk memenuhi target pencapaian masing-masing. KM? Nanti dulu.

Jika KM dikenalkan tidak dengan istilah KM, maka rendahnya tingkat penetrasi tersebut dapat ditingkatkan. KM seharusnya dikenalkan melalui aktivitas-aktivitasnya. CoP contohnya. Dalam bentuk yang paling sederhana, CoP sudah hadir dalam keseharian kita. Contohnya adalah  Kelompencapir yang dulu digalakkan oleh pemerintah Soeharto untuk meningkatkan produktivitas petani. Atau pertemuan ibu-ibu untuk membahas perkembangan anak yang biasa dilakukan oleh Posyandu. Saya sendiri beberapa waktu lalu dihubungi oleh salah satu mahasiswa dan pembaca blog ini yang menanyakan tentang aplikasi CoP di UKM. 

Ketika KM dikenalkan tidak lagi dengan istilah KM, mungkin saja ilmu KM akan lebih berkembang dan bermanfaat secara luas.

Bagaimana menurut Anda?    

Monday, April 28, 2014

Memulai dengan Assessment: Catatan implementasi dari KM Master


Setelah mengadakan public training KM Masterclass sebanyak dua kali, saya dan tim ITTC-Knoco Indonesia beberapa kali diundang oleh para KM Master (peserta training KM Masterclass) untuk melakukan kunjungan konsultasi (visit consulting). Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan saran serta review terhadap hasil inisiatif-inisiatif KM yang sudah dilakukan oleh para KM Master di perusahaannya.

Banyak hal menarik yang bisa didiskusikan dari kunjungan tersebut. KM Master yang menyampaikan hasil inisiatif KM, sebagian besar sudah melakukan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan implementasi KM, seperti Knowledge Sharing, Community of Practice, pembuatan portal, dan lainnya. 

Pada umumnya, kegiatan KM yang dilakukan di perusahaan-perusahaan tempat KM Master bernaung belum terpola secara baik. Bahkan beberapa diantaranya belum memiliki blueprint/roadmap dan value proposition yang jelas tentang bagaimana agar implementasi KM dapat selaras dengan proses bisnis dan membantu perusahaan mencapai tujuan bisnisnya.

Terlepas dari beragamnya tingkat kedewasaan (maturity level) dari masing-masing implementasi KM, semua KM Master setuju bahwa perusahaan perlu menilai diri sebelum melaksanakan aktifitas KM lainnya. Tujuannya ialah untuk mengetahui bagaimana kegiatan implementasi atau inisiatif KM yang sudah dilakukan di perusahaan, terutama untuk mengetahui apa yang sudah berjalan dan apa yang belum berjalan. 

Saran utama yang diberikan oleh kami ialah melakukan KM Assessment sebelum melangkah lebih jauh. Melalui KM Assessment, para KM Master dapat menilai kondisi perusahaan saat ini, sehingga dapat berfokus menguatkan komponen KM yang sudah baik serta melengkapi komponen yang belum ada.

Assessment dilakukan terhadap proses penyebaran pengetahuan (knowledge flow) dalam perusahaan dengan cara mengevaluasi 4 komponen utama aliran pengetahuan, yaitu Komunikasi, Dokumentasi, Pengelolaan dokumentasi, serta Akses dan Publikasi. Komponen lainnya ialah aspek Tata kelola (Governance) yang memastikan 4 komponen lainnya berjalan secara sistematis.

Data dan insight yang dibutuhkan untuk KM Assessment didapatkan dengan metode Interview dan Focus Group Discussion (FGD). Interview dilakukan terhadap top level management terutama untuk mengetahui: apa visi/harapan dengan adanya kegiatan KM (management expectation); hasil seperti apa yang diharapkan, bagaimana cara mengukurnya (performance management); serta dukungan/fasilitas seperti apa yang perlu diberikan agar kegiatan KM berjalan dengan baik (support).

Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengetahui sejauh apa pemahaman kesiapan karyawan dalam mengimplementasikan KM. Kegiatan FGD akan lebih efektif dan efisien jika pesertanya berasal dari lintas divisi dan tingkatan, karena hasil yang didapat akan lebih luas dan lebih dalam (wide and deep).

Hasil dari proses assessment kemudian diolah dan diberi ranking untuk memudahkan proses analisis lanjutan. KM Assessment juga akan memperlihatkan kesejangan (gap) dari 5 indikator utama antara keadaan yang terjadi saat ini terhadap apa yang seharusnya terjadi. Hasil ini juga dapat memperlihatkan kemungkinan resiko yang akan terjadi jika gap-gap yang ada tersebut tidak segera diminimalisir atau ditutupi.

Analisis adalah salah satu tahap penting dalam proses assessment. Hasil berupa gap tersebut kemudian dianalisis lagi untuk menentukan tindak lanjut, intervensi, prioritas dan aktivitas pendukungnya. Analisis juga dapat dilakukan untuk mengevaluasi framework lengkap KM yang sudah berjalan. Seperti kita tahu, salah satu kelemahan dari banyak inisiatif di perusahaan ialah tidak terintegrasi dengan aktifitas lain. Tanpa integrasi, manfaat KM akan sulit dirasakan dan cenderung tumpang tindih dengan aktifitas yang sudah ada.

Salah satu bentuk analisis ialah dengan melakukan perbandingan (benchmarking) dengan perusahaan lainnya. Benchmarking menjadi penting untuk melihat sejauh mana posisi perusahaan dibandingkan dengan perusahaan lainnya. Untuk analisis ini, KM Master umumnya meminta bantuan tim kami, ITTC-Knoco Indonesia. Langkah ini dilakukan mengingat kelengkapan database dan best practice implementasi KM dari perusahaan-perusahaan yang menjadi klien Knoco Internasional.

Kini, setelah serangkaian kunjungan dan diskusi, para KM Master siap membudayakan KM di perusahaan masing-masing. Semoga passion dan semangat mereka tetap terjaga dalam perjalanan menerapkan KM. Seperti quotes yang menjadi penutup training KM Masterclass, “This is just the beginning. Keeping them is the name of the game”

*ditulis bersama dengan Johan Mohammad

Tuesday, April 22, 2014

Teknologi dan Budaya: Insight dari Knoco KM Maturity Survey

Knowledge Management (KM) telah diakui oleh sebagian besar perusahaan dan organisasi terkemuka di Indonesia dan dunia sebagai salah satu inisiatif yang mendukung bisnis. Sebut saja British Petroleum (BP) yang sukses dengan learning loop-nya, Buckman Labs dengan percepatan research and development-nya. Atau contoh local seperti Pertamina dengan Continuos Improvement Program (CIP)-nya serta Unilever dengan Community of Practice-nya.

Tetapi, bukti kesuksesan tersebut tidak berhenti sampai disitu. Ada banyak pertanyaan yang kemudian muncul, khususnya bagi organisasi yang akan memulai atau telah melakukan implementasi KM. Bagaimana posisi KM di organisasi? Sudah sejauh mana berhasil diimplementasi? Bagaimana tingkat kedewasaan (maturity level) KM yang sudah berjalan? Apa saja yang menjadi lesson learned dari implementasi KM?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Knoco Ltd. telah melakukan survey awal tentang Tingkat Kedewasaan (Maturity Level) KM selama satu tahun terakhir. Survey ini menjadi awalan dari survey KM Global yang dilakukan selama bulan April (silahkan mengikuti survey tersebut disini).

Survey KM Maturity menilai implementasi dan tingkat kedewasaan KM di organisasi dalam skala 1-5 untuk 10 indikator KM, yaitu:

  • Learning Before 
  • Learning During
  • Learning After
  • Communities of practice (CoPs)
  • Ownership of Knowledge 
  • KM roles
  • KM technologies
  • Behavior and culture
  • Governance
  • Business alignment

Berikut ini ringkasan hasil survey dalam bentuk grafik:



Apa insight yang bisa didapat dari hasil agregat diatas?

  • Hampir seluruh region responden telah cukup maju dalam mengimplementasikan KM. Terlihat dari nilai rata-rata yang lebih dari 3. Hanya responden dari region Afrika Selatan (South Africa) yang secara rata-rata dibawah 3. 
  • Secara umum, nilai yang paling tinggi dari keseluruhan indikator adalah Technology. Hasil ini memperlihatkan kita bahwa Teknologi tidak lagi menjadi isu penting bagi sebagian besar responden survey. 
  • Indikator yang mendapat nilai tertinggi kedua adalah Culture and Behaviour (Budaya dan Kebiasaan). Hal ini menarik karena sejak dulu, budaya selalu menjadi kambing hitam dalam kegagalan implementasi KM. Pada kasus ini, hanya satu region responden (South Africa) yang menilai bahwa budaya dan kebiasaan masih menjadi isu serius (<2.5). 

Insight dari hasil survey ini menimbulkan pertanyaan menarik lainnya. Berdasarkan pengalaman kami membantu organisasi menerapkan KM, Teknologi dan Budaya biasanya merupakan hasil akhir dari keseluruhan proses implementasi KM. Jika Teknologi dan Budaya memiliki nilai tertinggi, apa inidikator yang menghambat implementasi KM? Berikut ini tiga indikator dengan nilai terendah:

  • KM Roles (Peran/Tugas). Kurang jelasnya tugas dan tanggung jawab pelaksanaan KM menjadi salah satu masalah klasik yang juga terekam dalam survey ini. KM harus memiliki kejelasan tugas dan tanggung jawab. Tanpa peran dan tanggung jawab, KM akan menjadi tanggung jawab bersama. Seperti yang kita tahu, “tugas bersama” sama saja halnya dengan “bukan tugas saya”. 
  • Business Alignment (Keselarasan dengan Bisnis). Tidak ada gunanya menerapkan KM jika tidak membantu bisnis. Kalimat itu yang selalu kami katakan kepada siapapun yang tertarik dengan inisiatif KM. Tanpa hubungan yang jelas dan terukur antara KM dengan tujuan bisnis, maka sebagus apapun strategi dan tools KM, organisasi tetap akan menganggapnya sebagai pemborosan. Pada akhirnya, tujuan KM adalah membantu bisnis. Jika tidak membantu bisnis, maka buat apa menerapkan KM? 
  • Governance (Tata Kelola). Indikator tata kelola menjadi indikator paling rendah dan memiliki gap cukup jauh dari indikator lainnya. Sebagian besar responden hanya memberi nilai 2 bagi organisasi mereka. Hal ini sudah diduga sebelumnya. Sebagian besar organisasi yang menerapkan KM memulai inisiatifnya dengan bentuk sederhana dan pilot project seperti Community of Practice, After Action Review atau Peer Assist. Setelah terbukti memberikan manfaat, baru diperluas menjadi aktivitas atau tools lainnya. Pendekatan ini memang terbukti paling efektif, tetapi banyak organisasi melupakan aspek tata kelola dalam tahapannya. Tata kelola memberikan kepastian sekaligus panduan yang jelas bagi terciptanya budaya KM dengan 3 aspek utamanya, yaitu harapan yang jelas, reward and performace management, serta dukungan dari organisasi. 

Pertanyaan lain yang mengemuka, apa yang harus dilakukan oleh organisasi untuk mengatasi masalah ini? Jawabannya akan bervariasi. Semua tergantung pada kondisi dan kebutuhan organisasi. Saran kami, lakukan KM Assessment terhadap kondisi organisasi saat ini, kemudian tindak lanjuti gap yang ditemukan. Dengan pendekatan ini, Anda akan lebih fokus dan efisien dalam menentukan langkah selanjutnya.

Tertarik lebih lanjut tentang best practice dan guiding principle implementasi KM? Silahkan intip artikel berikut ini: 7 Tips Sukses Implementasi KM

Friday, January 17, 2014

Kegilaan Organisasi: Mengapa kita selalu mengulang kesalahan


Salah satu quote terkenal dari Albert Einstein tentang kegilaan adalah “melakukan hal yang sama berulang kali dan mengharapkan hasil yang berbeda”. Pada kenyataannya, analisis tentang kinerja organisasi menunjukkan hasil yang berbeda. Organisasi, baik berorientasi profit maupun nirlaba selalu mengulang kesalahan mereka. Salah satu analisis menarik tentang pengulangan kesalahan ini dijelaskan oleh salah satu rekan kami di Knoco Internasional, Rupert Lescott melalui serangkaian artikel di blognya.

Analisis tersebut memperlihatkan bahwa organisasi selalu mengulang beberapa kesalahan yang dapat berdampak pada terganggunya kinerja. 

Jika mengacu pada quote Albert Einstein, muncul pertanyaan menarik. Apakah organisasi sudah “gila”? Atau ada faktor lain yang menyebabkan kesalahan terus berulang?

Faktor lain tersebut mungkin saja sesuai dengan paradigma yang disampaikan oleh Farnam Street dalam blognya, “Ini kasus yang berbeda”. Menurut artikel tersebut, frasa “ini kasus yang berbeda” mungkin kalimat paling merugikan yang pernah diucapkan (most costly words ever spoken).

Bagaimana bisa?

Kata tersebut secara tidak langsung membawa kita untuk mengambil kesimpulan bahwa kasus atau pengalaman yang sudah terjadi tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah kita. Ketika melihat studi kasus, pengalaman atau pelajaran dari kesalahan masa lalu, kita cenderung melihat perbedaan yang terjadi antara pengalaman dengan kebutuhan saat ini. Kita terlalu fokus pada perbedaan daripada mencari persamaan atau pelajaran dari kasus masa lalu.

Mengapa kita terlalu berfokus pada perbedaan? 

Salah satu alasannya adalah karena organisasi secara tidak langsung menganggap perbedaan lebih baik dari persamaan. Berbeda selalu identik dengan baru dan perubahan. Kepala Divisi akan menegur stafnya jika program yang diajukan itu-itu saja, Direktur akan protes jika target pendapatan hanya mengikuti tahun lalu serta banyak kasus lainnya. 

Dalam beberapa keadaan, perbedaan memang bagus. Tetapi apa gunanya melakukan hal yang berbeda jika kesalahan yang sudah pernah terjadi tidak pernah diperbaiki? Apa manfaatnya melakukan hal berbeda tetapi justru melupakan best practice yang sudah terbukti? 

Pada kenyataannya, hampir sebagian besar penyebab utama (root cause) dari permasalahan dan kesalahan yang dilakukan oleh organisasi tidak jauh berbeda. Yang menjadikannya terlihat berbeda ialah karena terkadang kita salah menilai penyebab utama masalah tersebut. Kita cenderung menilai penyebab masalah yang terlihat adalah penyebab utamanya. Padahal penyebab masalah tersebut mungkin saja hanya symptom, bukan sumber utamanya. 

Lalu apa yang harus dilakukan?

Daripada memulai segala sesuatu dengan hal yang berbeda dan membuat dari dasar, mulailah melihat lebih jauh pengalaman yang sudah ada. Tinggalkan paradigma “ini kasus yang berbeda” dan ganti dengan “ini kasus yang sama”. Lakukan analisis mendalam terhadap pengalaman dan kesalahan yang pernah terjadi sebelum memulai pekerjaan. Pastikan penyebab masalah yang sebenarnya. Setelah insight, best practice dan lesson learned didapatkan, maka barulah mulai merencanakan aktivitas Anda. 

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menemukan penyebab masalah utama ialah Root Cause Analysis (RCA). Ada beberapa teknik RCA tetapi yang paling umum dan aplikatif ialah metode “5 Whys (5 Mengapa). Aplikasinya ialah dengan cara menanyakan “Mengapa?” hingga didapatkan penyebab masalah utama yang dapat diperbaiki untuk meningkatkan performa. Berdasarkan pengalaman, proses ini mungkin dapat menyebabkan beberapa orang tidak nyaman. Tetapi seringkali ketidaknyamanan tersebut justru memberikan bukti bahwa masalah sebenarnya belum teridentifikasi.

Di Knoco, selain menggunakan RCA, kami mengubah paradigma “ini kasus yang berbeda” melalui Peer Assist. Melalui metode ini, setiap pekerjaan atau aktivitas strategis harus melakukan review dengan pekerjaan lain yang serupa dan pernah dilakukan sebelumnya. Tim atau individu yang akan memulai pekerjaan akan mengundang tim lain yang pernah melakukan pekerjaan serupa. Secara terbuka, tim yang sudah berpengalaman akan memberikan pengalaman dan pelajaran dari pekerjaan mereka. 

Jika Anda memulai dengan paradigma “ini kasus yang sama”, maka Anda akan menemukan fenomena baru. “ini pernah kita kerjakan sebelumnya”; “metode ini pernah kita gunakan di pekerjaan lainnya”; “kita pernah gagal menggunakan metode ini” serta fenomena persamaan lainnya. Ketika paradigma telah berubah, maka organisasi Anda juga akan terhindar dari kegilaan yang didefinisikan oleh Albert Einstein

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...