Tuesday, June 19, 2012

Lebih dalam dengan SECI : Starbucks dan VIA


Ketika berbicara tentang aliran pengetahuan (knowledge flow), maka kita tidak bisa melewatkan SECI. Istilah yang dikenalkan oleh Nonaka dan Takeuchi dalam bukunya “The Knowledge Creating Company : How Japanesse Company Creating The Dynamic of Innovation” adalah salah satu cara paling mudah untuk menjelaskan bagaimana pengetahuan mengalir dan lebih penting, bagaimana inovasi terjadi. SECI adalah singkatan dari Socialization Externalization Combination Internalization. Secara singkat pengetahuan dikategorikan menjadi dua, yaitu pengetahuan yang ada di kepala manusia (tacit) dan pengetahuan yang sudah di dokumentasikan (explicit). Aliran pengetahuan digambarkan bermula dari tacit yang disebarkan dari satu orang ke orang lain (Socialization) kemudian tacit yang sudah berpindah ke orang lain dituangkan dalam bentuk dokumen menjadi explicit (Externalization). Dokumen-dokumen pengetahuan dalam bentuk explicit tersebut kemudian dikumpulkan dan dikelola agar mudah diakses dan digunakan (Combination). Dokumen yang telah dikelola tersebut kemudian digunakan untuk menghasilkan pengetahuan baru dan inovasi bagi perusahaan (Internalization).
Penjelasan SECI yang paling sering digunakan ialah pada proses penciptaan alat pembuat roti dari Matsushita Electrical Industrial. Tim Research and Development (RnD) Matsushita dalam proses desain alat pembuat roti itu melakukan magang di Hotel Osaka, salah satu hotel di Jepang yang terkenal dengan rotinya. Setelah mempelajari bagaimana adonan roti dibuat dari Chef-nya langsung, tim RnD kemudian membuat alat yang dapat meniru cara pengadukan adonan roti Hotel Osaka. Setelah serangkaian kegagalan (as usual :) ), Matsushita berhasil menciptakan alat yang dapat meniru persis proses pengadonan roti Hotel Osaka. Dilengkapi dengan buku resep yang sudah disempurnakan, alat pembuat roti Matsushita menciptakan rekor baru dalam sejarah penjualan perusahaan. Ini adalah cerita yang paling sering kita dengar. Tapi saya ingin menjelaskan bagaimana SECI digunakan dalam studi kasus lainnya, yaitu pada Starbucks Coffee Company.

Tidak seperti yang banyak kita tahu, Starbucks pernah mengalami masa-masa terburuk dalam sejarahnya. November 2007, Starbucks mengeluarkan laporan keuangan tahunannya. Hasilnya menggembirakan. Pemasukan US$ 9,4 milyar, naik 21 persen dari tahun lalu dan pendapatan bersih hampir US$700 juta. Dari perspektif manapun, performa Starbucks fantastis. Tapi ada beberapa hal yang tidak terlihat di laporan keuangan tersebut seperti kunjungan pelanggan yang menurun, tergerusnya pangsa pasar oleh pesaing serta marjin laba yang menyusut. Indikasi-indikasi yang berhasil dilihat oleh Wall Street dan dinyatakan dalam salah satu artikelnya : “At Starbucks, Too Many, Too Quick ?”. Keadaan ini sebenarnya merupakan akibat dari beberapa keputusan strategis Starbucks yang terlalu cepat dan tidak fokus. Dengan mengedepankan pertumbuhan gerai, kualitas kopi dan Starbucks Experience semakin dilupakan. Lini bisnis yang semakin melebar hingga masuk ke dunia rekaman dan perfilman juga dianggap biang keladi dari kemunduran Starbucks.

Sebelum semua terlambat, owner sekaligus mantan ceo Starbucks, Howard Schultz, memutuskan kembali menjabat. Langkah yang didukung oleh sebagian besar pemegang saham ini, tetap tidak dapat menghindari efek domino dari manajemen sebelumnya. Saham Starbucks turun 42 persen di tahun 2007, angka comps (perbandingan penjualan hari itu  dengan hari yang sama tahun sebelumnya) pertama kali muncul negatif, pendapatan turun 28 persen pada pertengahan 2008, penutupan hampir 600 gerai, serta yang paling menyakitkan, pemecatan 12.000 karyawan Starbucks di seluruh dunia.  

Manajemen Starbucks dibawah pimpinan Howard Schultz tentu tidak diam begitu saja. Mereka menciptakan banyak efisiensi dan inovasi untuk mendukung kebangkitan Starbucks. Mulai dari fokus membenahi Starbucks Experience, melatih ulang seluruh barista dalam membuat espresso, menerapkan lean, hingga meluncurkan produk baru. Salah satu inovasi yang menarik ialah VIA. Kopi instan ala Starbucks. Mengapa VIA menjadi menarik ? Jawabannya adalah kata instan itu sendiri. Bagi perusahaan sekelas Starbucks yang menjual kualitas kopi terbaik, instan adalah kata-kata yang menakutkan. FYI, tidak seperti kita yang sudah terbiasa meminum kopi instan, pecinta kopi menganggap kopi instan adalah bentuk paling buruk dalam sejarah panjang kopi. Bahan baku yang menggunakan biji kopi kualitas rendah serta proses pengolahan ekstraksi air dan pengeringan secara cepat menghilangkan sebagian besar cita rasa, senyawa aromatik, dan kandungan lainnya yang membuat kopi menjadi unik. Membandingkan kopi Starbucks dengan kopi instan sama saja dengan membandingkan Wine Italia dengan Bir. Ferrari dengan mobil Cina. Ducati dengan motor bebek. Hotel bintang lima dengan kamar kelas melati. No offense here. Tapi itulah kenyataannya. Dan ide gila itu pun tidak akan pernah terlintas di kepala Howard Schultz hingga seorang pakar biologi sel yang suka naik gunung mencobanya.   

Tahun 1989. Saat itu, Starbucks baru merintis karier sebagai jaringan kopi yang kelak akan dikenal dengan Starbucks Experience-nya. Kopi terbaik yang dikumpulkan dari seluruh dunia, dipilih dengan cermat untuk mendapatkan konsistensi kualitas, dipanggang dengan kecermatan hingga hitungan detik, disajikan dalam keadaan segar; keramahan serta customer engagement yang kental menghasilkan secangkir kopi dalam bentuk yang sempurna.

Don Valencia, seorang Amerika keturunan Italia membawa kopi segar Starbucks yang diolah dalam bentuk serbuk ke gerai pertama Starbucks di Pike Place. Cukup ditambahkan air panas dan siap disajikan. Itulah prototype kopi instan pertama Starbucks. Keberhasilan Don Valencia dalam menyajikan kopi Starbucks dalam bentuk instan kemudian menjadi pengetahuan yang diberikan kepada barista di gerai Pike Place. Pengetahuan tersebut kemudian berpindah ke Dave Olsen, salah seorang senior manager dan secara cepat mengalir lagi ke ceo sekaligus owner Starbucks saat itu, Howard Schultz. Inilah bentuk Socialization awal dari kopi instan ala Starbucks.

Ide “gila” ini kemudian ditindaklanjuti oleh Howard Schultz. Don Valencia secara resmi bergabung dengan Starbucks pada tahun 1993 dan secara fokus menangani pengembangan kopi instan ala Starbucks ini. Metode yang diperkenalkan oleh Don Valencia berbeda dari proses pembuatan kopi instan pada umumnya. Dia menggunakan penelitiannya di bidang sel manusia untuk mengikat senyawa dan kandungan kopi hingga dapat mempertahankan keunikannya. Beberapa tahun kemudian, Don Valencia mengajak salah seorang koleganya, Urano “Uri” Robinson, seorang ahli farmasi. Bersama Uri, Don Valencia fokus pada standardisasi prosedur, metode pemilihan kopi, dan desain alat. Inilah tahapan kedua, Externalization.

Walaupun kopi yang dibuat dengan metode Don Valencia sudah jauh lebih baik dari metode kopi instan lainnya, tetapi kualitasnya belum layak untuk disajikan dalam lini produk Starbucks. Tim RnD yang dipimpin langsung oleh Don Valencia pun mulai melakukan serangkaian tes dengan berbagai parameter. Biji kopi, cara pemanggangan, lama proses pembuatan serbuk, coating, desain alat, hingga pengetesan rasa oleh coffee master Starbucks. Data hasil percobaan itu dikumpulkan, dianalisa, dicari kekurangan, dan di uji coba lagi. Analisis trial inilah bentuk proses Combination.

Pada akhirnya, setelah serangkaian uji coba dan analisis data, didapatkanlah kopi instan ala Starbucks. Kopi instan sempurna yang bahkan tidak dapat dibedakan dengan kopi segar Starbucks lainnya. Kopi yang dapat dengan tepat menggabungkan kompleksitas cita rasa dan kemudahan kehidupan modern. Kopi ini dinamakan VIA, yang artinya jalan dalam bahasa Italia dan singkatan dari Valencia untuk menghormati Don Valencia yang meninggal sebelum kopi instan itu sempurna. VIA adalah bentuk akhir dari Internalization.

Apa yang menarik dari sebuah kopi instan bernama VIA ? Menurut saya bukan hanya dari cerita keberhasilan inovasi Starbucks yang mirip dengan alat pembuat roti Matsushita, tetapi juga proses dan pencapaian selama penciptaan inovasi tersebut. Fakta menarik pertama ialah bagaimana proses SECI dapat membantu konsistensi penciptaan inovasi. Dengan eksternalisasi yang dilakukan secara konsisten, pengembangan VIA dapat terus berjalan walaupun orang-orang pentingnya sudah tidak ada. Don Valencia pensiun dari Starbucks pada tahun 1999 dan pengembangan JAWS, nama sandi awal VIA, tetap berjalan. Uri dan timnya tetap dapat melanjutkan visi awal Don Valencia. Jika saja tim RnD Statbucks hanya berfokus pada pencapaian inovasi dan tidak berfokus pada eksternalisasi pengetahuan, maka pengembangan VIA pun akan berjalan ditempat, bahkan terhenti ketika pencetus idenya pensiun.

Fakta menarik kedua adalah inovasi-inovasi yang dihasilkan dari prototype awal VIA. Nama sandi awal VIA adalah JAWS yang merupakan singkatan dari Just Add Water and Stir (cukup tambahkan air dan aduk). JAWS adalah komponen utama dalam produk fenomenal Starbucks, Frappucino. Sebagai sebuah produk, Frappucino memiliki semua kategori produk sukses. Idenya yang sama sekali baru, rasa yang disukai, bahan baku yang murah serta waktu penyiapan yang cepat menjadikan Frappucino sebagai minuman es paling disukai oleh pelanggan Starbucks dan tentunya menguntungkan. Hal ini menunjukkan bahwa SECI bukanlah proses kaku yang harus mengikuti alur proses sederhana. Justru pada aplikasinya sangat dinamis dan bisa berubah-ubah tergantung kebutuhan bisnis. Perubahan fokus dari JAWS menjadi BBCB (nama resmi bahan utama Frappucino) adalah buktinya.     

Pada akhirnya, VIA dan Starbucks telah mengajarkan kita bahwa SECI dan inovasi tidak terjadi dalam satu malam. Tahun peluncuran VIA adalah 2009. Hampir 20 tahun sejak ide gila itu dicoba oleh Don Valencia ! Waktu yang sangat lama untuk sebuah kopi instan. Jika Howard memutuskan pengembangan kopi instan ala Starbucks dihentikan ditengah jalan, maka VIA tidak akan pernah ada. Pelajaran paling berharga dari Starbucks, Matsushita dan perusahaan besar lainnya adalah SECI dan inovasi merupakan sebuah hasil dari proses yang konsisten, fokus dan terstruktur. Tanpa itu semua, inovasi hanya akan berujung pada “good idea”. A little more persistence, a little more effort, and what seemed hopeless failure may turn to glorious success.



Note : Data dan cerita didapatkan buku fenomenal Howard Schultz, Onward : Bagaimana Starbucks Bertahan Hidup dan Bangkit Kembali tanpa Kehilangan Jiwanya. Salah satu buku yang jadi favorit saya. Buku tersedia di Gramedia (semoga ada karyawan Gramedia yang mau memberikan kupon buat saya untuk promosi ini :) )

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...