Apa model bisnis yang telah mengubah dunia ? Kolaborasi adalah jawabannya. Carl Wiess, pengarang buku The Collaborative Imperative, juga salah seorang Vice President Cisco, mengatakan bahwa saat ini kita sedang dalam persimpangan perubahan cara berbisnis. Persimpangan yang disebut Era Kolaborasi. Dulu semua bisnis berfokus pada penguasaan seluruh rantai produksi, mulai dari pra produksi (bahan baku, bagian peralatan, mesin, bahan tambahan), proses produksi itu sendiri (teknologi, efisiensi, mesin, pabrik) hingga ke pasca produksi (penjualan, logistik, gudang, customer service). Konglomerasi. Itulah model bisnis yang dipercayai oleh banyak dari entrepreneur dunia. Dan sayangnya, pada beberapa kasus juga mengantarkan pada penurunan bisnis itu sendiri.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi ? Para analis dan pakar menyebutkan
bahwa fokus yang terbagi sebagai alasannya. Ketika sebuah bisnis mengambil alih
industri dari hulu hingga hilir maka yang dibutuhkan bukan sekedar modal dan
dana segar, tetapi juga kemampuan untuk menjalankan bisnis tersebut secara
maksimal. Ada banyak komponen dari bisnis yang ketika diakusisi tidak dapat
begitu saja diintegrasikan dengan bisnis inti. Organisasi akan bertambah besar,
manajemen akan lebih mengedepankan birokrasi, pengambilan keputusan akan lebih
lama dan pengetahuan yang dibutuhkan juga bertambah banyak. Faktor-faktor
tersebut pada akhirnya membuat energi dan fokus perusahaan inti menjadi terbagi
sehingga yang terjadi ialah kemampuan adaptasi terhadap perubahan kebutuhan
pelanggan berkurang. Pada akhirnya, skala bisnis memang membesar tetapi
penguasaan pasar akan menurun.
Alasan lainnya ialah karena pola pikir bahwa perusahaan dan bisnis
adalah pusat dari kegiatan bisnis. Dulu ketika informasi masih barang berharga
dan pelanggan hanya mendapatkan sedikit pilihan, perusahaan dengan bisnis
konglomerasi cukup memberikan pasokan produk utama sebanyak-banyaknya. Saat
itu, informasi adalah barang ekslusif yang hanya dimiliki oleh beberapa orang.
Dulu ketika saya kecil, merek sabun mandi yang ada hanya Lifebuoy dan Cussons Imperial
Leather. Pasta gigi hanya Pepsodent. Air mineral hanya Aqua. Tinggal pilih yang
biasa dipakai dan saya pulang dengan gembira. Kini saya harus pusing tujuh
keliling mencari sabun mandi saja. Satu merek bisa punya berbagai model. Ada
yang parfum Jeruk, Apel, Strawberry. Ada yang untuk keluarga, untuk pria aktif
atau yang bisa melembutkan kulit. Ada yang menggunakan bahan sintesis, ada pula
yang dari bahan alami. Sudah nyaman dengan satu jenis sabun, tiba-tiba
produknya tidak ditemukan lagi. Dan saya mulai mencari lagi sabun mandi yang
cocok. Mengulang lagi mencoba untuk kemudian harus berganti lagi tidak lama
kemudian.
Itu hanya dari memilih merek. Cara membeli pun bisa berbeda. Barang
elektronik misalnya. Dulu kita harus mengelilingi satu kompleks Glodok untuk
mencari jenis kabel atau amplifier yang berbeda-beda. Kini cukup buka saja
situs online seperti Kaskus, Toko bagus.com atau Bhinneka.com untuk mencari
kebutuhan kita. Semua ada disana. Tinggal pilih jenis apa, konfirmasi barang,
bayar via e-banking dan tunggu dengan manis di rumah. Kurir akan mengantarkan
keesokan harinya. Mau tahu kualitas barangnya ? Baca saja rekomendasi dan
review yang bertebaran di internet. Atau tanya pada forum yang selalu antusias
menjawab. Salah satu klien kami bahkan bercerita pengalamannya membeli audio di
salah satu toko di Orchad Road, Singapura. Ketika ditanya produk mana yang
cocok untuk home theater miliknya,
penjaga toko malah menyuruhnya mencari di internet. Bukannya sombong atau tidak
mau membantu, tetapi penjaga toko tidak tahu kebutuhan detail klien kami.
Apakah dia suka audio untuk musik akustik, rock, hip hop atau pop. Ternyata ada
perbedaan setting dan amplifier untuk jenis musik berbeda Dari pada salah
memberikan rekomendasi, lebih baik pelanggan sendiri yang menentukan mana yang
terbaik buat mereka.
Pelanggan ialah kata kuncinya. Dulu kita dipaksa membeli satu produk
karena hanya produk itulah yang tersedia di pasaran. Kini pelanggan memiliki
akses dan pilihan yang beragam. Muncullah pelanggan-pelanggan dengan kebutuhan
spesial dan khusus. Dalam marketing, ini yang disebut sebagai niche market. Kelompok pelanggan yang
rela membayar lebih banyak untuk ekslusifitas dan spesialisasi produk. Tapi
apakah pelanggan di niche market mau
membayar produk karena ekslusifitasnya ? Sebenarnya bukan karena itu. Mereka
mau mengeluarkan uang lebih banyak karena ada nilai tambah yang tidak
didapatkan dari produk biasa. Nilai tambah adalah alasan pelanggan membeli
produk. Mengapa Anda membeli BlackBerry dan bukan BlueBerry, tiruannya dari
China ? Ada yang menjawab karena push up
email-nya, BlackBerry Messanger-nya atau sekedar gaya saja. Apapun itu,
kita memilih membayar lebih mahal untuk BlackBerry karena ada nilai tambah bagi
yang menguntungkan. Nilai tambah adalah margin harga yang akan ditolerir oleh
pelanggan dan dari margin tersebut bisnis mendapatkan keuntungan. Penciptaan nilai tambah adalah inti dari semua strategi bisnis yang dilaksanakan perusahaan.
Penciptaan nilai tambah ini yang juga menjadi alasan mengapa
konglomerasi sulit bertahan. Tidak perlu contoh bisnis milyaran untuk
menggambarkan kesulitan yang Anda hadapi jika tetap memilih konglomerasi.
Bayangkan jika Anda seorang pemilik rumah makan Padang dan Anda memilih untuk
melakukan semua sendiri. Untuk membuat ayam sayur saja Anda memutuskan pergi ke
peternakan, memilih ayam hidup, memotong, membersihkan, mengukus dan
membumbuinya. Anda juga harus mencari pergi ke pasar untuk mendapatkan bumbu
yang puluhan jumlahnya, mengolah bumbu tersebut, mencampurnya dengan ayam.
Kemudian kembali ke dapur restoran, memasak dan memastikan bumbu sudah sesuai.
Selesai ? Belum. Anda masih harus menyiapkan restoran untuk pelanggan. Lantai
harus dipel, piring harus dicuci, pelanggan harus disapa hingga menghitung uang
kembalian di meja kasir dan menyiapkan uang untuk belanja keesokan harinya. Itu
baru untuk satu ayam sayur. Belum untuk rendang, ikan bakar, ayam pop, cumi
isi, dan deretan menu lainnya.
Apa yang terjadi ? karena Anda sudah terlalu lelah keliling kota dan
mengolah masakan, Anda melupakan nilai tambah yang paling penting. Hubungan
dengan pelanggan. Karena fokus mencari ayam yang terbaik dan bumbu yang paling
pas, Anda lupa memberikan senyum yang tulus, bertanya pendapat pelanggan tentang
rasa makanan, atau sekedar menemani mengobrol dan berterima kasih ketika mereka
selesai makan. Padahal, bagi beberapa orang kedekatan dan keramahan dari
pemilik adalah faktor utama mereka tetap datang. Saya sangat terkesan dengan
salah satu warung tenda di Semarang yang pemiliknya selalu menyapa pelanggan
dengan nama mereka, menyiapkan menu sesuai kesukaan tanpa diminta dan mengantar
kami hingga mobil. Itulah nilai tambah yang membuat warung tendanya terus
kebanjiran pengunjung.
Itulah mengapa banyak organisasi bisnis mulai melepaskan bagian-bagian
yang tidak begitu penting dan fokus pada memberikan nilai tambah melalui bisnis
utamanya. Indosat salah satunya. Baru-baru ini mereka menjual 2.500 tower ke
Tower Bersama Infrastructur Group agar bisa fokus pada layanan inti nirkabel. Contoh
lainnya Seven Eleven dan banyak restoran lainnya yang menyerahkan tanggung
jawab mengurus toilet dan kebersihan pada ISS. Atau bagian SDM yang menyerahkan
urusan KM dan training pada konsultan seperti perusahaan kami. Anda tidak
bisa bekerja dan berbisnis sendiri. Anda membutuhkan orang lain. Anda harus
berkolaborasi
Kolaborasi dalam Menjalankan
Bisnis
Perubahan bisnis, pada akhirnya berdampak juga pada bagaimana bisnis dan
seluruh komponennya bekerja. Termasuk bagaimana pekerjaan diselesaikan dan
pastinya bagaimana nilai tambah dihasilkan. Fokus bisnis tidak lagi menciptakan
Superman, Wonder Woman atau sejenisnya. Team
work adalah bahasa lain kolaborasi di tingkat pelaksanaan pekerjaan. Kompetensi
bukan lagi difokuskan pada keahlian sertifikasi atau kecerdasan individu.
Rekrutmen tidak lagi fokus pada tingginya IPK atau prestasi tetapi pada
kemampuan untuk bekerja sama dalam tim dan menciptakan hal-hal baru yang tidak
dapat Anda lakukan sendirian.
Yang menarik ialah kolaborasi tidak sama dengan mengumpulkan karyawan
dalam divisi tertentu, memberikan data yang dapat diakses oleh semua orang, menentukan
tujuan bersama, dan menciptakan inovasi, ide, nilai tambah secara bersama-sama.
Kolaborasi yang sebenarnya bukan seperti itu. Kolaborasi membutuhkan
orang-orang terbaik, dengan tingkat pengetahuan setara, keunikan dan
kapabilitas yang unik serta memiliki fungsi dan peranan yang mendukung satu
sama lain. Ketika bekerja dalam tim, kita sering mengatakan bahwa kepentingan
bersama diatas kepentingan pribadi. Setiap orang harus menerima perlakuan dan
penghargaan yang sama.
Kolaborasi bukan berarti membantu yang lemah untuk mengatasi
kekurangannya atau memperlakukan sama semua orang. Sekali lagi, itu bukan
kolaborasi. Itu sosialisme. Kolaborasi seharusnya fokus pada pencapaian hal-hal
besar yang tidak dapat dilakukan oleh satu orang. Steve Jobs dalam salah satu
wawancaranya mengatakan “Successful collaboration
involves competent individuals who have the right skill sets and attitude”. Fokusnya jelas. Bukan pada mengumpulkan
karyawan, memberi job description
yang rinci atau mengerjakan project bersama-sama tetapi pada pemilihan individu dengan
kompetensi dan sikap yang dapat menciptakan nilai tambah.
Kesalahan pemahaman terhadap kolaborasi juga terjadi pada pendapat bahwa
kolaborasi tidak membutuhkan pemimpin (leader).
Kita terkadang percaya bahwa untuk meningkatkan ide, inovasi dan kolaborasi,
keadaan tanpa pemimpin lebih baik daripada adanya pemimpin. Pada kenyataannya,
yang terjadi adalah sebaliknya. Tim tanpa pemimpin cenderung tidak memiliki
arah dan tidak bisa berpikir secara strategis untuk memecahkan masalah.
Kolaborasi tidak akan berguna bagi Anda dan bisnis yang dijalankan
kecuali kolaborsi tersebut berjalan dengan benar, dilakukan oleh individu yang
kompeten serta fokus pada penciptaan nilai tambah. Pernyataan ini menyisakan
pertanyaan besar lainnya. Bagaimana menciptakan kolaborasi yang fokus pada
nilai tambah ? Kata kuncinya ialah komunitas. Lets save it for next upcoming article.
0 comments:
Post a Comment