Friday, June 29, 2012

Perusahaan dan Kemampuan Belajar


The only sustainable competitive advantage is to learn faster than your competitor

Saya akan bercerita sedikit tentang kata-kata dari Peter Senge, pengarang buku New York Best Seller of All Times, The Fifth Discipline. Tahun 1945, Amerika yang berhasil memenangkan perang Asia Pasifik melawan Jepang mengalami euphoria yang sangat besar. Semua orang bangga dan meyakini bahwa mereka adalah negara terhebat, polisi dunia, pahlawan kedamaian dan sebagainya. Tidak hanya itu, kemenangan perang juga membawa dampak hebat bagi dunia bisnis Amerika. Perusahaan-perusahaan Amerika mendominasi kekuatan ekonomi Internasional menggunakan teknologi selama perang untuk menciptakan inovasi dan produk baru. Industri otomotif berhasil menciptakan mobil secara massal; industry penerbangan dan elektronik meningkat secara tajam, aliran modal mengalir deras.  Industri otomotif Amerika menguasai dunia. Sebut saja General Motor, Boieng, Harley Davidson dan sederet perusahaan lainnya. Bukti keberhasilan itu dapat terlihat pada peningkatan Gross National Product (GNP). Tercatat GNP Amerika tahun 1940 hanya US$ 200.000. Angka tersebut meningkat secara cepat menjadi US$ 300.000 pada tahun 1950 dan mencapai US$ 500.000 pada tahun 1960. Masa itu adalah babak baru dalam ekonomi internasional, bahkan hingga kini dikenal sebagai The Golden Age of Capitalism.

Dilain pihak, Jepang yang kalah perang mengalami krisis ekonomi yang parah. Pengangguran tingkat tinggi, inflasi mencapai dua digit, industry vital hancur, bahkan industry agrikultur Jepang tidak bisa memenuhi syarat minimal keamanan pangan. Saat itu, Jepang adalah negara tertinggal dan Amerika menikmati masa keemasannya. Kala itu, tidak ada yang percaya bahwa Jepang mampu menang perang dari Amerika, bahkan hingga 100 tahun dari sekarang. Tapi saya punya gambar menarik dari cover majalah TIME, Mei 1971.



“Bagaimana mengatasi invasi bisnis jepang ?” Ya, Jepang memang kalah perang tetapi Jepang berhasil menang perang dalam bisnis. Isi artikel tersebut diantaranya tentang industry dan produk Jepang yang membanjiri Amerika. Akio Morita, CEO Sony “menginvasi” America dengan produk elektroniknya yang terkenal, Walkman. Industry otomotif Jepang seperti Honda, Toyota dan Suzuki juga sukses menggusur pasar General Motor dan Harley Davidson. Saya masih ingat iklan fenomenal Honda yang menggambarkan sekelompok preman mengendarai motor besar yang berisik, mengganggu dan terlihat sebagai penjahat yang kemudian dilanjutkan dengan seorang pemuda berpenampilan rapi, terpelajar, sopan dengan potongan rambut belah samping sedang mengendarai motor Honda yang ringkas, dan pastinya tidak berisik. Iklan ini begitu berhasil sehingga membuat Harley Davidson yang terkenal dengan motor besarnya hampir bangkrut.

Bagaimana Jepang bisa mengalahkan dunia bisnis Amerika hanya dalam waktu kurang dari 30 tahun? Jawabannya ialah kata-kata Peter Senge yang disampaikan di atas. Jepang belajar lebih cepat dari Amerika. Semudah itu. Bukan modal yang berlimpah, teknologi, atau bahkan pengalaman yang membuat Amerika kalah tetapi karena Amerika tidak bisa mengalahkan kemampuan Jepang belajar dan menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Hukum itu akan terus berlaku, bahkan untuk Jepang sekalipun. Jika anda melihat harga saham Toyota saat ini, akan banyak warna merah dan tanda negatif disana. Toyota dalam beberapa tahun belakangan mengalami kerugian. Siapa sekarang yang menjadi sorotan karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi ? Asia, khususnya China dan Korea Selatan. Lihat saja bagaimana cepatnya Asia menjadi raksasa ekonomi baru. Samsung misalnya. Perusahaan yang mulai dari produsen alat listrik tersebut kini salah satu pesaing terbesar Apple dalam bisnis handheld dan tab. Atau BYD, produsen otomotif yang tiba-tiba muncul dalam 10 Most Innovative Company tahun 2010 dengan mobil elektriknya.

Siapa yang kenal BYD hingga beberapa tahun lalu ? Hanya segelintir orang. Bahkan hingga kini pun di Indonesia, BYD masih belum banyak dikenal. Sebagian besar klien kami, umumnya bertanya-tanya perusahaan apa BYD itu dan heran mengapa mereka bisa begitu fenomenal sehingga masuk dalam kategori 10 Most Innovative Company tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Business Week. Seingat saya, hanya petinggi Djarum yang tahu secara jelas siapa itu BYD, bahkan mereka sudah pernah datang ke pabriknya langsung di China. Sejarah BYD dimulai dari sebuah perusahaan kecil yang mengerjakan baterai untuk pabrik besar lainnya seperti Samsung dan Nokia. Baterai yang dibuat oleh BYD begitu efisien sehingga pesanan meningkat dengan pesat. Keberhasilan ini membuat BYD memutuskan untuk mengembangkan bisnis yang berfokus pada baterai dan mulai mensuplai baterai untuk peralatan dengan kapasitas yang lebih besar seperti server dan mobil elektrik. Merasa yakin dengan kemampuannya, BYD menjelma menjadi perusahaan yang tidak hanya memproduksi baterai tetapi memproduksi mobil menggunakan baterai mereka sendiri.

Ok, mobil elektrik mungkin belum fenomenal bagi anda. Banyak yang sudah memproduksinya. Apa kelebihan mobil BYD ? Berikut video ketika BYD E6 diperkenalkan di Detroit Auto Show tahun 2009.


Kehadiran BYD di Detroit sendiri sudah merupakan kesuksesan. Ditempatkan di main floor, BYD menggusur tempat yang biasanya disediakan bagi produsen mobil ternama seperti Ferrari. Fakta menarik lainnya menurut sumber di video tersebut ialah efisiensi BYD. Dengan hanya sekali charge selama 10 menit, E6 bisa menempuh jarak 250 mile. Anda tahu seberapa jauh 250 mile itu ? 400 km atau setara jarak antara Jakarta ke Semarang ! Dilain pihak saingannya General Motor “hanya” sanggup menempuh  40 mile (70 km) untuk sekali charge. Itupun dengan waktu charge selama 45 menit. Belum lagi akselerasinya. Klaim yang disebutkan di webnya menyatakan bahwa E6 mampu mencapai 100 km/jam hanya dalam 8 detik !

Perusahaan-perusahaan tersebut menjadi pemenang karena mereka berhasil beradaptasi dengan kebutuhan pasar dan sekali lagi, karena mereka belajar lebih cepat dari pesaingnya. Jika kita berbicara tentang kemampuan belajar perusahaan, maka sesungguhnya kita harus menyoroti manusia (people) sebagai komponen utamanya. Tanpa SDM yang berkualitas, proses belajar bagi perusahaan hanya akan slogan dan inisiatif belaka. Mengelola proses belajar pun bukan hal yang mudah. Banyak perusahaan yang terlalu berfokus pada peningkatan kemampuan SDM dengan melakukan training, baik inhouse maupun external training. Pendekatan ini tidak salah, tetapi tidak cukup untuk memenangkan persaingan karena perusahaan tentu memiliki keterbatasan untuk melakukan training. Fokus sebaiknya tidak hanya ditujukan pada akusisi pengetahuan tetapi juga menggunakan secara maksimal pengetahuan yang sudah ada. Saya menulis artikel tersendiri tentang ini disini.

Perusahaan perlu memberikan perhatian pada penciptaan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Inisiatif ini memiliki dampak yang luas. DImulai dari mengumpulkan dan mengembangkan talent yang memiliki passion untuk terus belajar (people), menyediakan sistem yang memungkinkan komunitas pembelajar tumbuh dan berkembang (process), menggunakan teknologi sebagai media percepatan inovasi (technology), menyaring dan memfokuskan inovasi yang dihasilkan oleh komunitas untuk kemudian menindaklanjuti inovasi menjadi nilai tambah bagi perusahaan. Inilah framework sederhana penciptaan organisasi pembelajar (learning organization). Saya bisa menerangkan framework dengan sederet konsep dan gambar rumit lainnya, tetapi komponen utama yang harus menjadi fokus ketika membangun organisasi pembelajar sesungguhnya hanya tiga, yaitu people, process, technology. Sisanya adalah turunan dari ketiga komponen tersebut.

Framework ini pula yang menjadi panduan kami di KMPlus ketika membantu banyak perusahaan untuk mentransformasikan dirinya menjadi organisasi pembelajar. Tentu saja framework yang digunakan pada aplikasinya tidak sesederhana itu. Simplifikasi komponen ini kami lakukan mengingat sebagian perusahaan sudah menerapkan banyak metode dan pendekatan sehingga memberikan metode yang sama sekali baru adalah hal tabu bagi kami. Tujuan utamanya ialah untuk membantu perusahaan, bukan memberikan kerumitan baru bagi mereka dengan membuat tools baru yang membutuhkan adaptasi lagi. Fokus kami ialah menggunakan sumberdaya yang sudah tersedia di perusahaan (maximazing available resources), menselaraskan kembali dengan tujuan dan kebutuhan bisnis (aligning and sharpening with business needs) serta melakukan penciptaan dan peningkatan nilai tambah (creating and leveraging value).    


Di artikel lainnya kita akan “bermain” lebih banyak dengan tiga komponen ini, membahas aplikasi dan penggunaannya serta paling penting, memberikan nilai tambah.

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...