Wednesday, December 26, 2012

Imbalan Uang dalam Inisiatif KM : Baik atau Buruk ?



Malam itu anda duduk di meja makan keluarga bersama Ayah dan Ibu, serta Kakak dan Adik yang sudah lama tidak bertemu. Tiga tahun lamanya anda berkarier di Jakarta dan setelah sekian lama, semua keluarga bisa berkumpul di rumah tempat anda dibesarkan selama puluhan tahun. Makan malam itu adalah ayam bumbu nanas, salah satu resep andalan Ibu. Tidak lupa sayur bening dan gorengan tempe yang selalu dirindukan. Belum lagi ikan bakar yang masih segar dari pasar di dekat rumah. Sebagai penutup, ada es cendol buatan tetangga yang anda tahu terkenal sangat nikmat. Ibu anda mempersiapkan itu semua demi anak-anaknya yang pulang di liburan panjangnya.

Anda, yang sudah kekenyangan menyantap hidangan rumah itu, tanpa bermaksud buruk, kemudian berkata. “Ibu, terima kasih ya atas makanannya. Berapa aku harus bayar untuk semua makanan ini ? Apakah 300 ribu cukup ? Oh, maaf. Kalau dibandingkan dengan harga makanan di Jakarta seharusnya aku memberi Ibu 400 ribu untuk semua ini. Ini benar-benar makanan terenak yang pernah aku makan selama di Jakarta”.

Semua terdiam. Adegan selanjutnya ialah bencana. Adik anda melotot tajam. Ibu langsung kebelakang sambil menangis sedangkan kakak anda marah sambil mengumpat dan menyebut anda tidak tahu diri, kurang ajar, sombong dan cacian lainnya. Malam reuni keluarga itu pun berubah menjadi pertengkaran sengit.

Apa yang salah dari cerita diatas ? Atau saya perjelas, apa yang salah dari kata-kata anda ? Bukankah anda berniat baik untuk membalas budi Ibu yang sudah memberikan hidangan terbaik ? Jangan salah, anda adalah anak tahu diri yang selalu ingat pada kebaikan dan jasa orang tua. Anda tidak mungkin membalas kebaikan Ibu dengan membelikannya makanan atau membuatkannya masakan yang sama (karena anda memang tidak jago memasak). Di sisi lain, anda adalah seorang professional yang sukses di Jakarta dengan gaji yang jauh lebih dari cukup, lalu apa yang salah dengan membalas itu dengan uang ?

Pertama saya ingin meluruskan, apa yang anda lakukan adalah salah. That’s clearly not a best way to express your gratitude toward mother :). Pertanyaannya adalah, mengapa Ibu anda marah ? Untuk menjawabnya, mari kita ubah sedikit akhir dari cerita ini.

Anda, yang sudah kekenyangan menyantap hidangan rumah itu kemudian berkata, “Ibu, terima kasih atas makan malamnya ya. Ini benar-benar makanan yang paling enak, bahkan dibandingkan dengan semua yang pernah aku makan sebelumnya”. Dan anda berhenti disitu. Tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya tersenyum tulus. Apa reaksi Ibu anda ? Saya jamin, pastilah beliau akan tersipu malu dan bahagia karena anaknya menghargai masakan yang sudah disiapkan dari pagi. Seluruh lelah dan waktu yang digunakan seakan tidak terasa lagi. Makan malam itu pun berakhir bahagia.

Apa yang menarik dari kedua ending tersebut ? Jika kita melihat dari persepektif biaya, maka tindakan yang dilakukan Ibu adalah aneh. Dia sudah bekerja, memasak dan membeli bahan dengan uangnya sendiri untuk kemudian diberikan secara gratis. Anehnya, ketika anda sebagai anak yang tahu diri menawarkan sejumlah uang untuk mengganti usaha yang sudah dilakukan oleh Ibu, justru seluruh keluarga menuding anda tidak tahu diri. Ini aneh. Bukankah justru tidak tahu diri itu adalah ketika anda makan di restoran dan pergi tanpa bayar ? Jika anda membayar makanan yang anda makan kepada orang lain, mengapa tidak melakukan hal yang sama dengan Ibu anda, orang yang paling anda hormati ?

Saya tahu anda pasti menjawab “Karena beliau adalah Ibu, bukan orang lain” Dan benar, itulah kata kunci yang akan memulai artikel tentang mengapa uang, pada beberapa kasus, justru menghambat usaha anda mengenalkan KM di organisasi.

Norma Sosial vs Norma Pasar
Kita hidup di dunia yang unik dengan dua jenis norma yang berbeda dan bertentangan. Dan Ariely dalam bukunya Predictably Irrational, menyebutkan bahwa kita hidup di dua dunia yang berbeda, satu dunia mendasarkan tindakan pada norma sosial (social norms) dan dunia lainnya menggunakan norma pasar (market norms).

Di satu sisi, kita hidup di dunia yang selalu memperhitungkan semua hal. Mulai dari baju yang kita pakai, makanan yang dimakan, bahkan fasilitas untuk menggunakan WC umum. Dunia tersebut adalah dunia dengan norma pasar. Tempat dimana seluruh aktivitas dan bantuan yang kita dapatkan dari orang lain diperhitungkan dalam bentuk mata uang. Beberapa orang menggambarkan norma pasar ini dalam kalimat, there is no such things called free lunch. Tidak ada makan siang yang gratis. Di dunia ini, kita tidak hanya harus membayar atas jasa yang diberikan orang lain tetapi juga mengharapkan bayaran atas bantuan yang kita berikan.

Di lain pihak, kita juga hidup di dunia yang berdasarkan norma social. Dunia yang didasarkan pada kebaikan, tolong menolong, persahabatan, hubungan orang tua-anak dan sebagainya. Mudahnya ini adalah ketika anda meminta bantuan untuk memindahkan sofa, menahan pintu untuk orang dibelakang, menyebrangkan nenek tua, atau menyumbang bagi pembangunan masjid. Tidak hanya itu, norma social bisa juga berupa pengakuan dari orang lain, kebebasan untuk berekspresi dan kebutuhan untuk aktualisasi diri. Tiga bentuk terakhir ini yang akan banyak berhubungan dengan inti dari artikel ini. Norma social adalah keadaan alami kita. Bagian dari kebutuhan kita akan kehidupan social dan komunitas. Sesuatu yang kita lakukan bukan karena uang tetapi murni atas keinginan pribadi.

Kedua norma tersebut, dalam kehidupan sehari-hari terkadang sulit dilihat dan dibedakan. Perbedaannya juga sangat tergantung kepada kehidupan social dan kebiasaan yang berlaku. Panti jompo misalnya. Di negara barat seperti Amerika, memasukkan orang tua ke panti jompo adalah tindakan yang biasa dan dianggap benar. Hal ini karena mereka memandang bahwa orang tua akan lebih senang mengobrol dengan orang tua lainnya dimana mereka bisa menikmati masa tuanya dengan nyaman. Tetapi jika hal yang sama dilakukan di negara ini, pastilah kita dianggap sebagai anak durhaka. Bahkan sebisa mungkin orang tua tinggal dengan anaknya sebagai balas budi. Ibu saya, bahkan hingga saat ini terus meminta nenek kami untuk tinggal di Jakarta daripada di rumah beliau di desa.

Fenomena menarik lainnya dari norma social dan norma pasar adalah bagaimana kedua norma tersebut bereaksi terhadap penghargaan, dalam hal ini uang. Di norma pasar, dimana semua dihubungkan dengan nilai uang, memberikan sesuatu, atau sebaliknya menerima sesuatu dan tidak memberikan balasan dalam bentuk imbalan (uang), adalah sebuah kejahatan. Tetapi, jika kita menggunakan norma social, maka membayar atau mengganti bantuan dari orang lain dengan uang justru adalah sebuah kejahatan (dalam hal ini diartikan sebagai tindakan tidak terpuji).

Cerita makan malam diatas adalah contoh mudahnya. Reaksi Ibu anda yang menangis ketika anda menawarkan uang adalah wajar karena makan malam tersebut disiapkan oleh Ibu yang mencintai dan rindu pada anaknya. Masakan Ibu adalah bentuk cinta pada anda. Seperti yang sudah kita bahas, cinta adalah norma social. Akan tetapi, kejadian yang berbeda jika Ibu anda adalah orang lain. Sebutlah, seorang wanita yang memiliki rumah makan bergaya rumahan yang banyak di Jakarta. Seseorang yang tidak pernah anda kenal sebelumnya. Apa yang terjadi ketika anda makan dan pergi begitu saja tanpa membayar, hanya mengucapkan terima kasih yang tulus ?

Poin yang ingin saya tekankan ialah seluruh tindakan atau inisiatif yang didasari atas norma social akan dianggap berharga jika anda tidak memberikan uang atau imbalan. Sebaliknya, jika anda memutuskan untuk menghargai tindakan tersebut dengan uang maka pihak lain akan menganggap  tindakan tersebut sebagai tidak sopan. Lain halnya jika tindakan tersebut dilihat dari sudut pandang norma pasar. Jika anda tidak memberikan imbalan (uang) maka anda dianggap sebagai tidak tahu diri.

Ok, enough with “short” briefing. Penjelasan tentang norma social dan norma pasar tersebut sangat erat kaitannya dengan inisiatif KM di organisasi. Sebagai sebuah inisiatif, KM pada awalnya dimulai dengan pendekatan norma pasar. Semua diperhitungkan dan dinilai. Dokumen dibuat dan dicatat. Kesuksesan KM dilihat dari banyaknya akses ke dokumen di KM Portal. Penghargaan diberikan pada individu yang paling banyak memberikan kontribusi dan tentu saja, penghargaan tersebut seringkali berupa uang.

Bahkan hingga saat ini, beberapa perusahaan yang menjadi klien kami masih menggunakan pendekatan ini. Salah satu klien kami membuat apa yang disebut sebagai K-Point atau Knowledge Point, dimana seseorang akan diberikan nilai atau poin tertentu atas kontribusinya dalam inisiatif KM. Nilai poin bisa berbeda-beda tergantung tingkat kontribusinya. Misalnya sebagai pembicara maka poinnya 10, jika menjadi penulis newsletter atau dokumen pengetahuan nilainya 7 dan seterusnya. Poin-poin ini kemudian bisa dikumpulkan dan pada akhir tahun dapat ditukarkan menjadi hadiah atau imbalan. Bentuknya dibuat bermacam macam agar menarik seperti voucher, liburan atau bonus tahunan tambahan.

Tetapi, pada kenyataannya, usaha untuk memberikan uang dan imbalan ini justru tidak selalu berhasil. Kami menemukan bahwa ketika uang dijadikan sebagai imbalan atas partisipasi, karyawan justru berpendapat bahwa imbalan yang diterima tidak sesuai dengan tindakan atau partisipasi yang diberikan.

Fenomena ini sebenarnya bisa dijelaskan dengan norma social dan norma pasar yang kita bahas sebelumnya. Menurut Dan Ariely, ketika sebuah tindakan dilihat dari norma pasar maka tindakan tersebut cenderung untuk dihubungkan dengan berapa seharusnya tindakan tersebut dibalas (dalam bentuk uang). Ini menyebabkan karyawan menganggap apa yang mereka kerjakan dengan memberikan kontribusi haruslah dibayar dengan nilai yang sesuai. Tentu saja karena nilai imbalan dari perusahaan tidak terlalu besar, karyawan pada akhirnya menjadi malas mengikuti kegiatan KM.

Ini mengapa salah satu praktisi KM dunia, David Gurteen dalam workshop Knowledge Café nya selalu menekankan bahwa penggunaan uang sebagai imbalan dalam mengenalkan KM adalah kesalahan fatal. Uang, bahkan dalam nilai paling kecil, dapat mengubah sebuah tindakan yang awalnya dianggap sebagai bentuk norma social, menjadi norma pasar. Ketika tindakan tersebut dianggap norma pasar, maka yang terjadi setelahnya adalah kita mulai menghitung dan membandingkan harga yang seharusnya kita dapatkan atas tindakan tersebut.

Lalu apa solusi yang bisa kita lakukan ? Jawabannya tentu saja mengenalkan KM sebagai inisiatif yang mengacu kepada norma social. Dasar pemikiran tersebut adalah salah satu dari sekian banyak alasan terbentuknya apa yang disebut sebagai KM Social atau KM 2.0. Inisiatif KM tidak lagi dipandang sebagai sebuah aktivitas yang bertujuan untuk memperlakukan pengetahuan sebagai sebuah bentuk yang bisa dihitung atau dinilai menggunakan angka. Pengetahuan di KM Social dipandang sebagai sebuah pengetahuan yang ada di kepala manusia (tacit knowledge) dan bukan sebagai dokumen atau sistem saja (explicit knowledge).

KM Social mendasarkan pendekatannya pada pentingnya peranan manusia dan bagaimana manusia sebagai pemilik pengetahuan mengalirkan pengetahuan tersebut. Ketika cara pandang ini berubah, maka dampaknya ialah pendekatan yang digunakan juga berubah. Uang dan nilai berganti menjadi pengakuan dan kebanggaan. Membuat sistem dan prosedur berubah menjadi membangun lingkungan dan budaya belajar.

Tentu saja, dalam level yang lebih rendah seperti aktivitas kampanye KM juga akan berubah. Karyawan yang menjadi pembicara dalam sesi CoP dipublikasikan di seluruh organisasi dan mendapatkan pengakuan atas kompetensinya. Kepala Divisi memberikan pujian khusus bagi karyawan yang paling produktif membuat dokumen pengetahuan dalam periode tertentu. Bentuk lainnya berupa pemberian title informal atas kontribusi di KM oleh CEO.

Salah satu bentuk penghargaan yang menarik untuk ditiru adalah cara Frank Leistner, Chief Knowledge Officer SAS Institute yang menggunakan badge atau lencana sebagai apresiasi ketika seseorang atau tim berkontribusi dengan kriteria tertentu dalam inisiatif KM. Penggunaan badge ini memberikan individu atau tim kepuasan dalam bentuk fisik dan bukti atas kontribusinya, tanpa menghubungkannya dengan norma pasar. Badge dibuat sangat ekslusif sehingga untuk mendapatkannya, kontribusi yang diberikan haruslah sangat berarti. Yang paling penting, pemberian badge juga didukung dengan aktivitas lain untuk menciptakan efek berharga dan terhormat bagi yang mendapatkannya.

Khusus untuk pemberian badge ini, sebenarnya banyak organisasi yang juga mencoba menirunya. Bahkan mengubahnya menjadi bentuk yang lebih menarik seperti perlombaan atau awards. Tetapi pada kenyataannya, banyak juga yang gagal. Menurut saya, kesalahannya bukanlah pada metode atau badge yang diberikan, tetapi pada bagaimana menciptakan bentuk penghargaan yang sesuai dengan motivasi atau keinginan calon penerima badge tersebut. Saya akan membahas aspek motivasi ini dalam tulisan lainnya.

Sebagai penutup, apa yang bisa kita simpulkan dari norma pasar dan norma social ini ? Menurut saya, kegagalan dari sebuah ide atau inisiatif, yang dalam hal ini adalah penggunaan uang sebagai imbalan, bukanlah terletak pada cara yang digunakan, tetapi lebih kepada bagaimana cara kita dan orang lain yang kita tuju memandang ide atau inisiatif tersebut. Seperti yang kita sama-sama lihat, tujuannya bukanlah memberikan uang, tetapi bagaimana menempatkan imbalan tersebut dalam bentuk yang sesuai.

Pelajaran lainnya tentu saja tentang bagaimana kita memandang, mengenalkan dan mesukseskan KM di organisasi. Ketika anda berhasil mengenalkan KM sebagai sebuah inisiatif yang mengikuti norma social, maka karyawan akan berfokus pada pencapaian individu berupa kepuasan pribadi, dan bukan uang. Dengan pendekatan ini keuntungan yang didapatkan selain menurunnya dana kampanye inisiatif KM, adalah timbulnya tingkat loyalitas yang tinggi dari karyawan. Sama seperti Ibu anda yang diceritakan di awal. Bahkan tanpa diminta pun beliau akan menyajikan makanan terbaik, bahkan tanpa imbalan uang sekalipun. Karena bagi beliau, kegembiraan anaknya yang sudah lama tidak pulang adalah harga yang tidak ternilai.      

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...