Malam itu anda duduk di meja makan keluarga bersama Ayah dan Ibu, serta
Kakak dan Adik yang sudah lama tidak bertemu. Tiga tahun lamanya anda berkarier
di Jakarta dan setelah sekian lama, semua keluarga bisa berkumpul di rumah
tempat anda dibesarkan selama puluhan tahun. Makan malam itu adalah ayam bumbu
nanas, salah satu resep andalan Ibu. Tidak lupa sayur bening dan gorengan tempe
yang selalu dirindukan. Belum lagi ikan bakar yang masih segar dari pasar di
dekat rumah. Sebagai penutup, ada es cendol buatan tetangga yang anda tahu
terkenal sangat nikmat. Ibu anda mempersiapkan itu semua demi anak-anaknya yang
pulang di liburan panjangnya.
Anda, yang sudah kekenyangan menyantap hidangan rumah itu, tanpa
bermaksud buruk, kemudian berkata. “Ibu, terima kasih ya atas makanannya.
Berapa aku harus bayar untuk semua makanan ini ? Apakah 300 ribu cukup ? Oh,
maaf. Kalau dibandingkan dengan harga makanan di Jakarta seharusnya aku memberi
Ibu 400 ribu untuk semua ini. Ini benar-benar makanan terenak yang pernah aku
makan selama di Jakarta”.
Semua terdiam. Adegan selanjutnya ialah bencana. Adik anda melotot
tajam. Ibu langsung kebelakang sambil menangis sedangkan kakak anda marah
sambil mengumpat dan menyebut anda tidak tahu diri, kurang ajar, sombong dan cacian
lainnya. Malam reuni keluarga itu pun berubah menjadi pertengkaran sengit.
Apa yang salah dari cerita diatas ? Atau saya perjelas, apa yang salah
dari kata-kata anda ? Bukankah anda berniat baik untuk membalas budi Ibu yang
sudah memberikan hidangan terbaik ? Jangan salah, anda adalah anak tahu diri
yang selalu ingat pada kebaikan dan jasa orang tua. Anda tidak mungkin membalas
kebaikan Ibu dengan membelikannya makanan atau membuatkannya masakan yang sama
(karena anda memang tidak jago memasak). Di sisi lain, anda adalah seorang
professional yang sukses di Jakarta dengan gaji yang jauh lebih dari cukup,
lalu apa yang salah dengan membalas itu dengan uang ?
Pertama saya ingin meluruskan, apa yang anda lakukan adalah salah. That’s clearly not a best way to express
your gratitude toward mother :). Pertanyaannya adalah, mengapa Ibu anda
marah ? Untuk menjawabnya, mari kita ubah sedikit akhir dari cerita ini.
Anda, yang sudah kekenyangan menyantap hidangan rumah itu kemudian
berkata, “Ibu, terima kasih atas makan malamnya ya. Ini benar-benar makanan
yang paling enak, bahkan dibandingkan dengan semua yang pernah aku makan
sebelumnya”. Dan anda berhenti disitu. Tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya
tersenyum tulus. Apa reaksi Ibu anda ? Saya jamin, pastilah beliau akan tersipu
malu dan bahagia karena anaknya menghargai masakan yang sudah disiapkan dari
pagi. Seluruh lelah dan waktu yang digunakan seakan tidak terasa lagi. Makan
malam itu pun berakhir bahagia.
Apa yang menarik dari kedua ending tersebut ? Jika kita melihat dari
persepektif biaya, maka tindakan yang dilakukan Ibu adalah aneh. Dia sudah
bekerja, memasak dan membeli bahan dengan uangnya sendiri untuk kemudian
diberikan secara gratis. Anehnya, ketika anda sebagai anak yang tahu diri
menawarkan sejumlah uang untuk mengganti usaha yang sudah dilakukan oleh Ibu,
justru seluruh keluarga menuding anda tidak tahu diri. Ini aneh. Bukankah justru
tidak tahu diri itu adalah ketika anda makan di restoran dan pergi tanpa bayar
? Jika anda membayar makanan yang anda makan kepada orang lain, mengapa tidak
melakukan hal yang sama dengan Ibu anda, orang yang paling anda hormati ?
Saya tahu anda pasti menjawab “Karena beliau adalah Ibu, bukan orang
lain” Dan benar, itulah kata kunci yang akan memulai artikel tentang mengapa
uang, pada beberapa kasus, justru menghambat usaha anda mengenalkan KM di
organisasi.
Norma Sosial vs Norma Pasar
Kita hidup di dunia yang unik dengan dua jenis norma yang berbeda dan
bertentangan. Dan Ariely dalam bukunya Predictably
Irrational, menyebutkan bahwa kita hidup di dua dunia yang berbeda, satu
dunia mendasarkan tindakan pada norma sosial (social norms) dan dunia lainnya menggunakan norma pasar (market norms).
Di satu sisi, kita hidup di dunia yang selalu memperhitungkan semua hal.
Mulai dari baju yang kita pakai, makanan yang dimakan, bahkan fasilitas untuk
menggunakan WC umum. Dunia tersebut adalah dunia dengan norma pasar. Tempat
dimana seluruh aktivitas dan bantuan yang kita dapatkan dari orang lain
diperhitungkan dalam bentuk mata uang. Beberapa orang menggambarkan norma pasar
ini dalam kalimat, there is no such
things called free lunch. Tidak ada makan siang yang gratis. Di dunia ini,
kita tidak hanya harus membayar atas jasa yang diberikan orang lain tetapi juga
mengharapkan bayaran atas bantuan yang kita berikan.
Di lain pihak, kita juga hidup di dunia yang berdasarkan norma social.
Dunia yang didasarkan pada kebaikan, tolong menolong, persahabatan, hubungan
orang tua-anak dan sebagainya. Mudahnya ini adalah ketika anda meminta bantuan
untuk memindahkan sofa, menahan pintu untuk orang dibelakang, menyebrangkan
nenek tua, atau menyumbang bagi pembangunan masjid. Tidak hanya itu, norma
social bisa juga berupa pengakuan dari orang lain, kebebasan untuk berekspresi
dan kebutuhan untuk aktualisasi diri. Tiga bentuk terakhir ini yang akan banyak
berhubungan dengan inti dari artikel ini. Norma social adalah keadaan alami
kita. Bagian dari kebutuhan kita akan kehidupan social dan komunitas. Sesuatu
yang kita lakukan bukan karena uang tetapi murni atas keinginan pribadi.
Kedua norma tersebut, dalam kehidupan sehari-hari terkadang sulit
dilihat dan dibedakan. Perbedaannya juga sangat tergantung kepada kehidupan
social dan kebiasaan yang berlaku. Panti jompo misalnya. Di negara barat
seperti Amerika, memasukkan orang tua ke panti jompo adalah tindakan yang biasa
dan dianggap benar. Hal ini karena mereka memandang bahwa orang tua akan lebih
senang mengobrol dengan orang tua lainnya dimana mereka bisa menikmati masa
tuanya dengan nyaman. Tetapi jika hal yang sama dilakukan di negara ini,
pastilah kita dianggap sebagai anak durhaka. Bahkan sebisa mungkin orang tua
tinggal dengan anaknya sebagai balas budi. Ibu saya, bahkan hingga saat ini
terus meminta nenek kami untuk tinggal di Jakarta daripada di rumah beliau di
desa.
Fenomena menarik lainnya dari norma social dan norma pasar adalah
bagaimana kedua norma tersebut bereaksi terhadap penghargaan, dalam hal ini
uang. Di norma pasar, dimana semua dihubungkan dengan nilai uang, memberikan
sesuatu, atau sebaliknya menerima sesuatu dan tidak memberikan balasan dalam
bentuk imbalan (uang), adalah sebuah kejahatan. Tetapi, jika kita menggunakan
norma social, maka membayar atau mengganti bantuan dari orang lain dengan uang
justru adalah sebuah kejahatan (dalam hal ini diartikan sebagai tindakan tidak
terpuji).
Cerita makan malam diatas adalah contoh mudahnya. Reaksi Ibu anda yang
menangis ketika anda menawarkan uang adalah wajar karena makan malam tersebut
disiapkan oleh Ibu yang mencintai dan rindu pada anaknya. Masakan Ibu adalah
bentuk cinta pada anda. Seperti yang sudah kita bahas, cinta adalah norma
social. Akan tetapi, kejadian yang berbeda jika Ibu anda adalah orang lain.
Sebutlah, seorang wanita yang memiliki rumah makan bergaya rumahan yang banyak
di Jakarta. Seseorang yang tidak pernah anda kenal sebelumnya. Apa yang terjadi
ketika anda makan dan pergi begitu saja tanpa membayar, hanya mengucapkan
terima kasih yang tulus ?
Poin yang ingin saya tekankan ialah seluruh tindakan atau inisiatif yang
didasari atas norma social akan dianggap berharga jika anda tidak memberikan
uang atau imbalan. Sebaliknya, jika anda memutuskan untuk menghargai tindakan
tersebut dengan uang maka pihak lain akan menganggap tindakan tersebut sebagai tidak sopan. Lain
halnya jika tindakan tersebut dilihat dari sudut pandang norma pasar. Jika anda
tidak memberikan imbalan (uang) maka anda dianggap sebagai tidak tahu diri.
Ok, enough with “short” briefing. Penjelasan tentang norma social dan norma
pasar tersebut sangat erat kaitannya dengan inisiatif KM di organisasi. Sebagai
sebuah inisiatif, KM pada awalnya dimulai dengan pendekatan norma pasar. Semua
diperhitungkan dan dinilai. Dokumen dibuat dan dicatat. Kesuksesan KM dilihat
dari banyaknya akses ke dokumen di KM Portal. Penghargaan diberikan pada
individu yang paling banyak memberikan kontribusi dan tentu saja, penghargaan
tersebut seringkali berupa uang.
Bahkan hingga saat ini, beberapa perusahaan yang menjadi klien kami
masih menggunakan pendekatan ini. Salah satu klien kami membuat apa yang
disebut sebagai K-Point atau Knowledge Point, dimana seseorang akan diberikan
nilai atau poin tertentu atas kontribusinya dalam inisiatif KM. Nilai poin bisa
berbeda-beda tergantung tingkat kontribusinya. Misalnya sebagai pembicara maka
poinnya 10, jika menjadi penulis newsletter
atau dokumen pengetahuan nilainya 7 dan seterusnya. Poin-poin ini kemudian bisa
dikumpulkan dan pada akhir tahun dapat ditukarkan menjadi hadiah atau imbalan.
Bentuknya dibuat bermacam macam agar menarik seperti voucher, liburan atau
bonus tahunan tambahan.
Tetapi, pada kenyataannya, usaha untuk memberikan uang dan imbalan ini
justru tidak selalu berhasil. Kami menemukan bahwa ketika uang dijadikan
sebagai imbalan atas partisipasi, karyawan justru berpendapat bahwa imbalan
yang diterima tidak sesuai dengan tindakan atau partisipasi yang diberikan.
Fenomena ini sebenarnya bisa dijelaskan dengan norma social dan norma
pasar yang kita bahas sebelumnya. Menurut Dan Ariely, ketika sebuah tindakan
dilihat dari norma pasar maka tindakan tersebut cenderung untuk dihubungkan
dengan berapa seharusnya tindakan tersebut dibalas (dalam bentuk uang). Ini
menyebabkan karyawan menganggap apa yang mereka kerjakan dengan memberikan
kontribusi haruslah dibayar dengan nilai yang sesuai. Tentu saja karena nilai
imbalan dari perusahaan tidak terlalu besar, karyawan pada akhirnya menjadi
malas mengikuti kegiatan KM.
Ini mengapa salah satu praktisi KM dunia, David Gurteen dalam workshop Knowledge Café nya selalu
menekankan bahwa penggunaan uang sebagai imbalan dalam mengenalkan KM adalah
kesalahan fatal. Uang, bahkan dalam nilai paling kecil, dapat mengubah sebuah
tindakan yang awalnya dianggap sebagai bentuk norma social, menjadi norma
pasar. Ketika tindakan tersebut dianggap norma pasar, maka yang terjadi
setelahnya adalah kita mulai menghitung dan membandingkan harga yang seharusnya
kita dapatkan atas tindakan tersebut.
Lalu apa solusi yang bisa kita lakukan ? Jawabannya tentu saja mengenalkan
KM sebagai inisiatif yang mengacu kepada norma social. Dasar pemikiran tersebut
adalah salah satu dari sekian banyak alasan terbentuknya apa yang disebut
sebagai KM Social atau KM 2.0. Inisiatif KM tidak lagi dipandang sebagai sebuah
aktivitas yang bertujuan untuk memperlakukan pengetahuan sebagai sebuah bentuk
yang bisa dihitung atau dinilai menggunakan angka. Pengetahuan di KM Social
dipandang sebagai sebuah pengetahuan yang ada di kepala manusia (tacit knowledge) dan bukan sebagai
dokumen atau sistem saja (explicit
knowledge).
KM Social mendasarkan pendekatannya pada pentingnya peranan manusia dan
bagaimana manusia sebagai pemilik pengetahuan mengalirkan pengetahuan tersebut.
Ketika cara pandang ini berubah, maka dampaknya ialah pendekatan yang digunakan
juga berubah. Uang dan nilai berganti menjadi pengakuan dan kebanggaan. Membuat
sistem dan prosedur berubah menjadi membangun lingkungan dan budaya belajar.
Tentu saja, dalam level yang lebih rendah seperti aktivitas kampanye KM
juga akan berubah. Karyawan yang menjadi pembicara dalam sesi CoP
dipublikasikan di seluruh organisasi dan mendapatkan pengakuan atas
kompetensinya. Kepala Divisi memberikan pujian khusus bagi karyawan yang paling
produktif membuat dokumen pengetahuan dalam periode tertentu. Bentuk lainnya berupa
pemberian title informal atas kontribusi di KM oleh CEO.
Salah satu bentuk penghargaan yang menarik untuk ditiru adalah cara
Frank Leistner, Chief Knowledge Officer SAS Institute yang menggunakan badge atau lencana sebagai apresiasi
ketika seseorang atau tim berkontribusi dengan kriteria tertentu dalam
inisiatif KM. Penggunaan badge ini
memberikan individu atau tim kepuasan dalam bentuk fisik dan bukti atas
kontribusinya, tanpa menghubungkannya dengan norma pasar. Badge dibuat sangat ekslusif sehingga untuk mendapatkannya, kontribusi
yang diberikan haruslah sangat berarti. Yang paling penting, pemberian badge juga didukung dengan aktivitas
lain untuk menciptakan efek berharga dan terhormat bagi yang mendapatkannya.
Khusus untuk pemberian badge ini, sebenarnya banyak organisasi yang juga
mencoba menirunya. Bahkan mengubahnya menjadi bentuk yang lebih menarik seperti
perlombaan atau awards. Tetapi pada
kenyataannya, banyak juga yang gagal. Menurut saya, kesalahannya bukanlah pada
metode atau badge yang diberikan,
tetapi pada bagaimana menciptakan bentuk penghargaan yang sesuai dengan motivasi atau keinginan calon penerima badge tersebut. Saya akan membahas aspek
motivasi ini dalam tulisan lainnya.
Sebagai penutup, apa yang bisa kita simpulkan dari norma pasar dan norma
social ini ? Menurut saya, kegagalan dari sebuah ide atau inisiatif, yang dalam
hal ini adalah penggunaan uang sebagai imbalan, bukanlah terletak pada cara
yang digunakan, tetapi lebih kepada bagaimana cara kita dan orang lain yang
kita tuju memandang ide atau inisiatif tersebut. Seperti yang kita sama-sama
lihat, tujuannya bukanlah memberikan uang, tetapi bagaimana menempatkan imbalan
tersebut dalam bentuk yang sesuai.
Pelajaran lainnya tentu saja tentang bagaimana kita memandang,
mengenalkan dan mesukseskan KM di organisasi. Ketika anda berhasil mengenalkan
KM sebagai sebuah inisiatif yang mengikuti norma social, maka karyawan akan
berfokus pada pencapaian individu berupa kepuasan pribadi, dan bukan uang. Dengan
pendekatan ini keuntungan yang didapatkan selain menurunnya dana kampanye
inisiatif KM, adalah timbulnya tingkat loyalitas yang tinggi dari karyawan.
Sama seperti Ibu anda yang diceritakan di awal. Bahkan tanpa diminta pun beliau
akan menyajikan makanan terbaik, bahkan tanpa imbalan uang sekalipun. Karena bagi
beliau, kegembiraan anaknya yang sudah lama tidak pulang adalah harga yang
tidak ternilai.
0 comments:
Post a Comment